Dengan aura dingin yang menyeramkan. Juna berjalan menuju panggung. Para karyawan kembali menunduk takut. Hanya Methalia yang mampu bertahan dan tersenyum kepadanya.
Juna mendekati Methalia dan menyenggol bahunya dengan kasar. Methalia hanya bergeser dan berdiri di belakangnya.
"Aku harap kalian mengingat ini baik-baik. Jangan sampai melupakannya. Aku tidak suka kalian menundukkan kepala," ucap Juna sambil menatap tajam ke arah mereka. "Cepat angkat kepala kalian!" teriak Juna.
Para karyawan kaget dan langsung mengangkat kepala mereka dengan takut. Sedangkan Damar hanya menggelengkan kepalanya.
"Bagus," ucap Juna puas.
"Kalian harus memanggilku dengan sebutan, Bos," ucap Juna dan pergi meninggalkan panggung begitu saja.
Para karyawan yang ada di sana menatap heran kepergian Juna. Termasuk Methalia. Ia ingin sekali menyeret bos itu kembali ke atas panggung
Terus terang, Juna lelah jika berhadapan dengan ratusan karyawan. Ia memilih pergi ke ruangannya untuk beristirahat. Damar menghela nafasnya kasar dan menghampiri Methalia yang masih berdiri di panggung.
Damar meminta maaf kepada semua karyawan karena penyambutan yang kurang berkenan. Ia mengatakan kalau Juna adalah orang kepercayaannya yang akan menjadi pemimpin baru.
Para karyawan menerima keputusan Juna dengan lapang d**a. Meskipun bos baru mereka galak. Mereka akan tetap bertahan demi Damar.
Menurut mereka, Damar adalah sosok pemimpin yang tegas dan bijaksana. Ia tidak pernah menghukum karyawan yang melakukan kesalahan. Bahkan, ada yang terus terang meminjam uang perusahan. Beliau tetap berbaik hati menolongnya. Bagi mereka, Damar adalah panutan yang harus di contoh.
Setelah acara itu selesai, para karyawan langsung bubar menuju ke ruangan masing-masing. Sedangkan Methalia, Damar dan Sebastian masih berada di ruangan itu. Methalia menghampiri Damar yang sedang berjalan keluar ruangan.
"Tunggu dulu, Tuan!" teriak Metalia sambil berlari kecil ke arah Damar.
Damar berhenti dan berbalik arah. Ia menatap Methalia yang tengah berlari menghampirinya.
"Apakah Anda akan pergi dan tidak lagi berkunjung lagi ke perusahaan?" tanya Methalia.
Damar tersenyum dan berkata, "Aku memang menyerahkan kursi ke pimpinanku kepada Juna. Tapi, tidak sepenuhnya. Aku akan selalu memantau dari jauh."
Methalia mengangguk, " Apakah Tuan yakin dengan orang itu?"
Tentu saja aku percaya, karena dia adalah cucuku
Damar terpaksa berbohong, "Dia orang kepercayaanku. Jadi, kau tenang saja."
Methali tersenyum tulus menatap Damar. Hati Damar merasa bersalah ketika melihat senyumnya. Ia kemudian pamit dengan wajah sendu kepadanya dan pergi ke luar ruangan.
Maafkan aku, Thalia.
Methalia masih berdiri mematung memikirkan wajah Damar yang berubah ketika membicarakan Juna. Seperti ada sedikit rasa bersalah yang bersarang di hati Damar. Methalia terlalu peka mengenai perasaan orang lain di sekitarnya. Ia tahu, kalau dia menyembunyikan sesuatu darinya.
Damar selalu menceritakan permasalahannya kepada Methalia. Termasuk masalah dengan cucunya. Meski selalu menceritakan Juna, Damar tidak pernah menyebutkan namanya. Ia selalu menyebutnya dengan sebutan Barren kecil.
Setiap kali Damar bercerita, Methalia selalu menjadi pendengar yang baik. Kadang ia mengingat kebersamaan para anak panti di Panti Asuhan Pelita.
Ia bahkan selalu terbayang nasihat Bunda Linda. Apapun yang terjadi di dalam kehidupanmu, jalani dan nikmati. Buat hidupmu menjadi indah seindah pelangi yang berwarna-warni. Kita tidak tahu kapan Tuhan akan menjemput kita. Berbagi kebahagian bersama orang terdekatmu. Berikan cinta dan kasih sayang. Buatlah orang disekitarmu nyaman. Dengarkan keluh kisah mereka dan sambutlah dengan tangan terbuka.
Ketika mengingat nasihat Bunda Linda, Methalia semakin bersemangat untuk menjalani kehidupannya. Ia selalu berpikir positif terhadap hal apapun. Meski kadang pikiran negatif itu mulai muncul. Ia langsung menepisnya dengan cepat.
Methalia membuyarkan lamunannya dengan menepuk kedua pipinya.
"Jika aku berdiri di sini terus. Dan hanya memikirkan itu, pasti tidak akan ada habisnya," gumam Methalia sambil berjalan menuju keluar pintu.
Ia harus pergi ke ruangan Juna untuk memberikan jadwal hari ini.
Ruangan Juna
Juna berdiri di depan menatap langit yang sedang cerah. Ia memikirkan Methalia yang sudah di tunggunya sejak satu jam yang lalu. Juna sangat kesal karena keteledoran Methalia sebagai sekretaris. Menurutnya, dia adalah sekretaris yang tidak kompeten.
"Sialan! Kalau lima menit lagi dia tidak datang. Akan aku pastikan hukumannya jauh lebih berat," ucap Juna sambil mengepalkan tangan dengan kuat.
Tiba-tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu. Juna hanya diam dan menyeringai. Ia tahu, kalau yang mengetuk pintu itu adalah Methalia.
Cklik
Methalia masuk ke dalam ruangan dan menatap ruangan itu. Ada yang berbeda di dalam ruangan yang biasa ia datangi. Ruangan itu terkesan memiliki aura dingin menyeramkan. Ia bergidik ngeri ketakutan.
Ada cahaya. Tapi, tidak bercahaya. Ruangan ini seperti mati. Padahal kalau Tuan Damar berada di ruangan ini, suasananya tidak mencekam dan dingin. Bos yang aneh.
Methalia perlahan menghampiri Juna yang tengah berdiri di depan jendela.
"Maaf, Bos. Tadi saya ada urusan sedikit dengan Tuan Damar." ucap Methalia mencoba merusak keheningan yang ada di ruangan itu.
Juna membalikkan badan dan duduk di kursi kebesarannya. Ia tidak menjawab dan menoleh sedikitpun pada Methalia.
Methalia tidak menyerah begitu saja. Ia kembali bersuara agar Juna mau berkomunikasi dengannya.
"Panggil saya Thalia, Bos. Hari ini, Bos harus menandatangani berkas yang saya siapkan di meja."
Juna langsung mengambil berkas itu tanpa berkata apapun pada Methalia. Ia malah tersenyum devil.
Aku akan membuatmu berdiri disini selama beberapa jam.
Methalia menghela nafas kasar karena perkataannya tidak ditanggapi oleh Juna. Ia menatap langit ruangan sambil berdiri di samping Juna.
Sepertinya, bos membenciku.
Dua jam telah berlalu, kaki Methalia sudah mati rasa. Tapi, tak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Juna sangat senang melihat Methalia yang masih berdiri di sampingnya. Sesekali ia melirik Methalia yang masih bertahan berdiri.
Sampai kapan kau akan bertahan? Aku akan melihat ketangguhanmu, Thalia.
Sialan! Kakiku sudah tidak bisa diajak kompromi. Dia benar-benar menguji kesabaranku.
Mereka saling membatin satu sama lain. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun. Methalia mengepalkan tangannya kuat. Dirinya tidak tahan jika harus berdiri terus seperti ini. Apalagi, panggilan alam sudah berteriak untuk keluar.
"Sepertinya, saya harus pergi keluar sebentar, Bos," ucap Methalia sambil melirik Juna.
Juna menoleh, "Kau itu sekretarisku. Seharusnya, kau selalu berada di dekatku."
Akhirnya, bersuara juga tu orang. Aku kira, Bos kribo bisu.
"Bos, saya harus pergi ke kamar mandi. Terus terang saya ingin ke sana."
Juna menatap Methalia penuh selidik untuk mencari kebohongan di matanya. Ia mengernyitkan dahi dan berdiri di samping Methalia. Juna menyenggol kasar bahu Methalia sampai terjatuh di lantai.
Methalia mendengus kesal dan mencoba berdiri, "Apa yang Bos lakukan?"
"Hukuman untukmu. Karena kau berbohong padaku." Juna mendekati Methalia yang sedang kesusahan berdiri.
Seenaknya saja mengatakan aku berbohong. Padahal, aku memang ingin ke kamar mandi.
Methalia tidak terima. Setelah ia berdiri tegak, ia langsung menatap Juna dengan tatapan tajam.
"Dengar, Bos Juna yang terhormat. Saya tidak mengerti letak kesalahan saya. Tapi yang jelas. Saya tidak terima diperlakukan seperti ini," ucap Methalia sambil menunjuk ke arah Juna.
Ingin rasanya Juna tertawa melihat Methalia yang sedang melawan dirinya. Ia tidak menyangka kalau dia berani berkata seperti itu.
"Nyalimu besar juga. Kau hanya kucing kecil yang tidak berdaya, Thalia."
What! Kucing kecil. Woy! Namaku Methalia bukan kucing kecil. Seenaknya saja mengganti nama orang. Bos kribo menyebalkan....
Methalia menetralkan emosinya kala Juna berkata demikian. Ia harus sabar menghadapi orang seperti dia.
"Apakah Anda sedang bermimpi? Saya mempunyai badan persis seperti manusia pada umumnya. Dimana letak keberadaan kucing di tubuh saya?"
Masih berani menjawab rupanya. Cih, pintar bersilat lidah ternyata.
Mereka masih menatap satu sama lain dengan tajam. Tak ada yang mau mengalah. Sampai ada seseorang yang mengetuk pintu pun, keduanya masih bersitegang.
Juna semakin marah melihat Methalia yang menatap tajam kepadanya. Wajah merah menyala. Mata melotot. Darah mendidih. Hati panas. Emosinya menjadi satu menumpuk di ubun-ubun. Tangan Juna mengepal kuat. Ia sudah tidak tahan.
Sedangkan Methalia masih bertahan di posisinya. Ia tidak mau di tindas oleh Juna.
"Cih, gadis sepertimu seharusnya tidak bekerja di sini. Ini perusahaan elit. Kau hanya menjadi perusak mata saja," ucap Juna yang masih melotot tajam ke arah Methalia.
Methalia tak gentar menjawab, "Dari mana Anda bisa menyimpulkan hal seperti itu?"
"Kau adalah penyihir yang membuat semua orang bertekuk lutut di hadapanmu," ucap Juna mendekat ke arah Methalia dan berbisik, "Kau sama saja dengan gadis penjual diri. Seperti jalang yang menjajakan tubuhnya.
Deg
Baru kali ini, Methalia di hina sedemikian rupa. Ia adalah gadis baik-baik. Bukan jalang yang berkeliaran mencari mangsa di luar sana.
Meskipun begitu, Methalia tetap tersenyum dan mendorong tubuh Juna agar mundur ke belakang.
"Pikiran Anda yang dangkal itu sepertinya harus dicuci. Anda tidak punya bukti. Seenaknya saja menuduh saya seperti itu," ucap Methalia dengan penuh percaya diri.
Juna tidak bisa membalas pernyataan Methalia. Ia menatap Methalia lagi dengan pandangan menusuk.
Sementara itu, orang yang sedang mengetuk pintu itu masuk ke ruangan. Ia adalah Diana. Diana melihat kedua orang yang sedang diselimuti aura hitam yang pekat di sekitar tubuh mereka. Ia hanya bisa bergidik ngeri.
Sepertinya, aku salah momen. Bodoh kau Diana... mereka sangat menyeramkan. Apalagi Bos kribo. Kasihan Thalia. Sampai kapan dia akan bertahan memghadapi Bos garang itu?
Diana mundur perlahan ke belakang. Tanpa sengaja, ia menabrak pintu yang belum di tutupnya. Sehingga menimbulkan suara. Sontak kedua orang yang tengah bersitegang itu menoleh ke arah sumber suara.
Diana menelan salivanya gugup. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya mengeluarkan banyak keringat. Suara jantung ketakutan berdetak menggema di seluruh tubuhnya. Ia langsung menunduk menahan kegugupan dan ketakutan yang menguasai dirinya.
Juna menghampiri Diana yang tengah berdiri di depan pintu keluar. Ia semakin takut saat Juna mendekati dan menatapnya. Tangannya memegang berkas dengan erat. Bibirnya sampai bergetar.
Bodoh kau, Diana. Tak tahu situasi, batin Diana was-was.