Mereka saling memandang dalam diam. Marisa tidur di atas kasur dan Mario tidur di karpet di lantai. Mereka masih suami istri, tapi Mario tau diri. Dia enggan mendekati istrinya setelah apa yang dia lakukan pada Marisa di Bandung. Sekali lagi Mario mengingkari janjinya pada Marisa.
“Kamu tidak mau tahu kenapa aku meninggalkan kamu di Bandung?”tanya Mario memulai percakapan. Karena itu tujuan dia kemari. Untuk bicara pada Marisa.
Tapi Marisa menggeleng. Dia sudah tahu jawabannya dan kalau tentang Cecil, dia memilih tidak mau tahu.
“Itu karena …,”
“Stop! Kalau itu soal Cecil aku nggak mau dengar.” Marisa membalikkan tubuhnya.
Mario bangkit dari posisi berbaringnya di lantai dan mendekati ranjang tempat Marisa berbaring. Dia duduk di tepinya dan menyentuh pundak istrinya.
“Bukan hanya soal Cecil. Tapi juga soal Mama.”
Marisa tertarik dengan pembahasan Mario. Dia membalikkan tubuhnya. “Mama? Kenapa Mama?”
“Mamamu menemui mamaku.” Mario berhenti sejenak untuk mempelajari raut wajah istrinya. Dari perubahan wajahnya yang terlihat heran, Mario bisa menduga kalau Marisa tidak mengetahui kalau Mama Ratih menemui Mama Nani, ibunya.
“Mamamu menceritakan soal penyakitmu dan karena itulah aku pulang ke Bogor. Mama menuntut penjelasan segera.”
“Hanya karena itu? Kan bisa kamu bilang supaya Mama menunggu sampai pengobatan aku selesai.”
“Cecil mengadu sama Mama dan dia bilang mau menggugurkan kandungannya kalau aku nggak pulang.”
Marisa mendengkus dan tertawa sinis. “Dan sekali lagi kamu percaya gertakan kampungan kayak gitu. Sudah cukup. Aku nggak mau mendengar lagi.” Kembali Marisa membalikkan tubuhnya.
“Ini soal harga diri, Sa!” kata Mario mengguncang tubuh istrinya. “Mama nggak percaya kalau ada penyakit semacam itu. Kata Mama jangan sampai saudara pada tahu karena mereka akan berpikiran kalau aku itu lemah dan nggak sanggup jebol gawang punya kamu.”
Marisa nggak mau tahu. Dia capek dengan semua alasan Mario dan keluarganya.
“Sa …” Mario mengguncang bahu istrinya lembut. Merasa bakalan semalaman menghadapi tingkah menyebalkan suaminya, akhirnya Marisa bangun dari posisi tidurnya dan duduk dengan kaki tetap memanjang.
“Terus mau kamu apa? Kamu mau nikahin Cecil? Ya udah kamu nikahin saja dia,” kata Mario ketus.
“Kamu setuju?”
“Iya. Tapi ceraikan aku dulu,” katanya dingin.
“Sa … apa susah buat kita jalan bertiga?”
“Kamu masih nanya?” tanya Marisa setengah meledeknya. “Membagi prioritas kamu saja susah apalagi jalan bertiga. Kamu sadar, kan kalau selama ini waktu kamu lebih banyak buat Cecil ketimbang buat aku. Dan lagian, Cecil juga berharap kamu sama aku cerai. Aku berharap cerai, mama kamu sama mama aku juga berharap kita cerai. Apa lagi? Cuma kamu yang memaksa poligami. Untuk apa?”
“Karena aku masih sayang sama kamu, Sa. Aku cinta sama kamu!”
Marisa mendengkus. “Aku juga punya perasaan yang sama, tapi kondisi kita nggak memungkinkan! Ini!” Marisa menepuk dadaanya kuat. “Hati ini nggak kuat! Aku nggak sanggup kalau harus menghadapi kecemburuan Cecil dan terus menerus memberikan pengertian. Kamu pikir hati aku terbuat dari baja? Kalau aku terlihat mandiri bukan berarti aku bisa disakiti!”
Cukup. Pembicaraan ini sudah cukup dan tidak bisa diteruskan. Marisa lelah dan memilih membaringkan tubuhnya di kasur dengan memunggungi suaminya.
“Kamu nggak ingat gimana perjalanan kita dulu. Usaha aku mendapatkan kamu itu nggak mudah.”
‘Tapi mencampakkan aku begitu mudah.’
“Jangan karena satu kesalahan kamu melupakan perjuangan kita untuk bersama.”
‘Tapi kesalahan ini tak termaafkan!’
“Mengertilah dengan keadaanku sekarang, Sa. Kamu selalu bisa jadi teman bertukar pendapat yang paling bijak buatku.”
‘Tapi sekarang aku istrimu.’
Diam-diam air mata Marisa menetes. Sebenarnya dia tidak ingin menangis karena dia terlalu bahagia dengan kondisinya yang membaik. Bahkan sejak kedatangannya, Mario hanya sibuk mengatakan perasaannya tanpa sekali pun dia bertanya bagaimana perkembangan pengobatan Marisa. Saat ini Marisa seperti disudutkan lagi. Seolah suaminya itu bilang kalau semua ini tak akan terjadi kalau saja dia normal.
Terngiang lagi perkataan dokter di Bandung.
“Bu, apa kondisi Ibu ini karena kesalahan Ibu?”
Kalau dulu, dia akan menjawab ‘ya’. Semua penderitaan dan kesusahan yang dia dan Mario alami karena kesalahannya. Karena dia punya penyakit yang tidak dia inginkan. Tapi setelah mengetahui kalau dia menderita vaginismus, dia menyadari kalau ini bukan kesalahannya.
“Bukan. Ini bukan salah saya, Dok.”
“Ya, ini bukan salah Ibu. Karena tidak ada perempuan yang mau menderita vaginismus.”
Lalu dia teringat seorang perempuan yang menjalani perawatan dengannya. Perempuan itu bilang kalau dia pernah ingin mati saja dari pada memiliki penyakit seperti ini, tapi setelah mengetahui dan dijelaskan oleh dokter, dia memilih melakukan terapi dan ingin sembuh. Perempuan itu bukan cuma dibully keluarga, tapi suaminya sudah benar-benar menceraikan dia dengan tuduhan istri yang tidak berbakti pada suami.
Marisa tidak mau punya pikiran seperti perempuan itu. Hidupnya terlalu berharga untuk diakhiri dan dia nggak mau menyerah pada penyakitnya. Masih banyak yang ingin dia lakukan. Untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Kalau Mario sudah tidak bisa lagi sejalan dengannya, dia juga tidak mau memaksa.
Memikirkan perpisahan sudah membuat hati Marisa kembali teriris. Bohong kalau dia bilang sudah tidak mencintai Mario. Lelaki ini cinta pertamanya dan dia masih berharap kalau Mario mau memilih dia dan melupakan Cecil. Namun sepertinya itu tidak mungkin.
Sebulan mereka tidak saling kontak dan ketika bertemu, bukan keadaan dia yang Mario pedulikan.
“Sa ….” Mario seakan tidak pernah lelah untuk mengusik Marisa.
“Tidurlah, Yo. Aku capek. Besok kita ngobrol lagi.”
Mario menurut. Dia memilih merebahkan tubuhnya di belakang tubuh istrinya dan mendekap tubuh perempuan itu untuk merasai aroma tubuh yang dirindukannya.
Marisa memejamkan mata lebih rapat. Hangat embusan napas suaminya membuat amarahnya menurun dan seolah bisa menghapus kesalahan yang sudah diperbuat Mario.
=*=
“Apa? Jadi karena ini kamu datang menemui aku?”
“Sa … kamu masih istriku. Jadi kumohon dampingi aku, ya?”
Marisa memandang suaminya tak percaya. Sebulan ditinggalkan, semalaman playing victim, ternyata ini maksud Mario.
“Jadi kalau bukan karena ada family gathering kantor kamu, selamanya kamu nggak akan nemuin aku?”
“Bukan gitu, Sa. Itu … keadaannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Cecil ….”
“Stop! Aku nggak mau membahas perempuan itu. Cukup sudah mengetahui kalau dia sudah jadi orang ketiga di antara kita. Nggak ada lagi pembahasan soal Cecil kalau kita lagi berdua!”
“Jadi kamu mau nemenin aku, kan? Aku nggak mungkin bawa Ce-cil. Ini acara penting buat aku, Sa. Orang-orang kantor bakal bertanya kenapa kamu nggak ikut. Dan …. Pak Satrio dan istrinya itu suka sama kamu. Tolong, Sa. Ini penting banget buat aku. Namaku masuk daftar promosi dan aku nggak mau kehilangan kesempatan itu.”
Marisa nggak percaya. Dalam kondisi seperti ini dia masih harus memikirkan kepentingan suaminya. Sampai kapan, sih lelaki ini akan terus bersikap egois? Sekali saja … sekali lagi … Marisa ingin Mario memandang dirinya seperti dulu. Hanya dirinya! Tidak ada Cecil di antara mereka, tidak juga suara-suara Mama Nani dan saudaranya yang lain. Marisa ingin Mario memujanya seperti dulu. Hanya dia.©