7| Usaha Pertama

1228 Kata
Mereka tidur bersisian. Marisa memandangi suaminya, Mario pun demikian. Kalau saja bukan karena lelah, mungkin Marisa akan terjaga semalaman dan memandangi wajah tampan suaminya. Dia tahu esok pagi lelaki itu bukan lagi menjadi miliknya seorang. Mario harus pergi ke tempat di mana dia melakukan kesalahan. “Kenapa kita begini, Yo? Beberapa hari lalu semua masih baik-baik saja. Sejak kapan kamu selingkuh dari aku?” Marisa bertanya dengan sisa-sisa tangis yang tadi sempat tumpah di dadaa suaminya. “Aku—Apa kita harus membahas soal ini?” “Aku harus tahu sejak kapan kamu punya pikiran selingkuh! Dua tahun kita nikah, kenapa baru sekarang kamu melakukan ini? Kenapa nggak dari pertama saja kamu bilang nggak bisa menerima aku lalu kita bisa berpisah. Kenapa harus nunggu dua tahun?” Marisa nggak bisa menerima pengkhianatan suaminya. Di kepalanya berkelebat saat-saat pertama mereka masih bersama dan Mario bilang akan sabar menunggu. Karena dia mencintai Marisa lebih dari sekedar keinginan untuk melakukan hubungan badan. “Kamu tahu kalau Mama pengen kita cepet punya anak, kan?” “Jangan bikin alesan karena Mama. Yo, pernikahan kita baru dua tahun. Kenapa mesti terburu-buru? Orang lain juga banyak yang nikah bertahun bahkan puluhan tahun nggak punya anak tapi mereka masih tetap bersama. Nggak sampai selingkuh!” Omongan Marisa mulai mengeras. “Tapi memang karena Mama. Dia selalu mendesak dan saudara-saudara selalu menyangka kalau aku ini nggak normal.” “Alasan karena orang lain lagi.” Marisa nggak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dia membalikkan tubuhnya dan memunggungi suaminya. Matanya menatap dinding kosong di depannya. Sejujurnya, dia pun nggak ingin bercerai dari Mario. Dia masih butuh statusnya sebagai istri. Pernikahan mereka baru dua tahun dan mereka seharusnya sedang menikmati manisnya biduk pernikahan. Bukan malah mengalami saat-saat pahit seperti ini. Marisa merasakan kehangatan napas suaminya di tengkuknya. Tangan Mario kita melingkari perut ratanya. Mendapat perlakuan seperti ini, wanita itu kembali menangis. Hatinya masih mencintai lelaki ini teramat sangat. “Maafkan aku, Sa. Beribu kali aku minta maaf pun nggak akan pernah bisa mengembalikan kesalahan yang sudah aku buat. Tapi tolong … jangan pernah minta cerai dari aku. Kita akan cari jalan keluarnya, aku janji. Kamu juga nggak akan kehilangan hak kamu sebagai istri aku. Nggak akan ada yang berubah dari kita, Sa. Aku masih mencintai kamu seperti dulu.” Pelukan Mario semakin mengerat pada tubuh Marisa. Wanita itu menangis, tapi kali ini dalam diam. Dia mendesah pelan, mencoba memahami posisnya saat ini. Sebagai istri, dia nggak mau dimadu apa pun alasannya. Tapi sebagai istri juga, dia nggak bisa melakukan kewajibannya memberikan hak suami. Marisa berusaha menerima kenyataan ini dan kembali menyalahkan dirinya. Menyalahkan keadaannya. ‘Mungkin aku harus memberi kesempatan sama Mario. Aku masih sayang sama dia. Lagian kata dia hubungannya sama Cecil cuma soal anak. Artinya Mario nggak cinta banget sama Cecil. Mungkin dia bakalan ninggalin Cecil di tengah jalan. Aku yang mendapatkan Mario duluan, kenapa juga harus aku yang ngalah?’ Marisa tertidur dengan isi kepalanya yang penuh dengan pikiran-pikiran tentang Cecil yang akan ditinggalkan Mario. Saat ini dia nggak mau ngalah. Setelah dia sembuh, Marisa yakin bisa mendapatkan kembali Mario sepenuhnya. Yang harus dia lakukan sekarang adalah sembuh lalu hamil. =*= “Derajat empat,” kata dokter yang menangani masalah Marisa setelah dia memeriksa keadaan wanita itu. Lalu dokter pun menjelaskan apa yang dimaksud dengan derajat empat. “Derajat empat mengakibatkan kegagalan penetrasi. Nggak bisa penetrasi sama sekali. Bagi Bapak, mungkin terasa seperti menabrak dinding. Sebenarnya dinding itu adalah manifestasi dari kekakuan otot dinding-dinding v****a di atas, bawah, kiri dan kanan, sehingga penetrasi itu nggak bisa terjadi atau nggak memungkinkan untuk terjadi.” Mario terpekur mendengar penjelasan dokter. Tepat sekali apa yang dikatakan dokter. Seperti itulah yang dirasakannya ketika mencoba berhubungan dengan Marisa. “Jadi gimana sekarang, Dok?” tanya Marisa dengan suara cemas. Setelah mengetahui tentang penyakitnya, rasa ingin sembuhnya besar sekali. “Derajat empat dan lima harus melakukan dilatasi berbantu di rumah sakit. Kalau level satu sampai tiga bisa dilakukan mandiri.” “Saya harus menginap?” tanya Marisa. Dokter itu mengangguk. “Sebaiknya begitu.” Marisa paham kalau ini nggak akan mudah. Dia memandang Mario yang mendampinginya ke Bandung untuk berobat. Mendapatkan izin dari kantornya saja sudah sulit, belum lagi mendapatkan izin dari Cecil. Marisa bersyukur kalau Mario masih mau menemaninya ke Bandung dan berkonsultasi dengan dokter. Membuktikan kalau yang dia duga adalah benar. Setelah bilang akan mengatur jadwal menginap untuk proses penyembuhan lebih lanjut, mereka pun meninggalkan klinik tersebut dan langsung kembali ke Bogor. Ponsel Mario sudah berdering berkali-kali selama mereka bersama. Siapa lagi yang menelepon kalau bukan Cecil. “Kamu nggak mau ngangkat teleponnya? Aku nggak papa, kok.” Marisa merasa jengah dengan bunyi telepon yang sepertinya nggak akan berhenti kalau belum diangkat. “Kamu pasti bisa nebak apa maunya dia, kan? Jadi biarkan saja. Cuma aku nggak bisa pake mode silent atau getar kalau lagi nyetir gini. Takut aja kalau kantor yang nelepon.” Biasanya Mario menitipkan ponselnya pada Marisa kalau sedang menyetir. Tapi sekarang tidak lagi. Mario nggak khawatir kalau Marisa akan mengangkat telepon dari Cecil. Wanita itu nggak akan melakukannya. Mario sangat memahami istrinya, dia nggak akan mau terlibat konfrontasi lebih dalam dengan Cecil dan memilih menghindar. Mario hanya takut perasaan Marisa semakin terluka. Melihat nama Cecil terpampang di ponselnya pasti membuat hatinya sakit. Bagaimanapun juga, Cecil wanita lain yang sudah hadir di pernikahan mereka berdua. “Malam ini pulang ke mana?” tanya Marisa sambil lalu. Setelah kebersamaan mereka malam itu, Mario mulai mengatur jadwalnya. Dia mengunjungi Marisa dan Cecil bergantian. “Kalau aku pulang ke tempat Cecil nggak papa, ya. Sekalian mau nenangin dia dulu supaya aku juga punya waktu buat nemenin kamu ke Bandung lagi.” “Yakin mau nemenin aku berobat? Kalau kamu nggak mau biar aku minta Mama nemenin.” “Kamu kasih tahu Mama soal kita?” “Nggak detail sih. Aku nggak sekuat yang kamu lihat, Yo. Aku butuh orang lain buat menguatkan saat kamu nggak bisa diharapkan,” katanya lirih. Mario terdiam. Ibu mertuanya adalah salah seorang yang dia segani karena kebijakan dan kelembutan hatinya. Selama dia pacaran dengan Marisa, ibu mertuanya selalu memperlakukan dia seperti anak sendiri. Diterima menginap di rumahnya dan disediakan kamar khusus. Pulang ke rumah Marisa sama saja seperti pulang ke rumah sendiri. Mario tidak canggung lagi bergaul dengan keluarga Marisa. Mereka pergi berlibur bersama dan apa yang mamanya beri untuk Marisa pasti diberikan juga pada Mario. “Aku merasa malu sama Mama.” “Kamu bisa minta maaf langsung kalau nanti ketemu dia.” “Pasti akan aku lakukan. Tapi untuk sekarang, kamu jangan pergi sama Mama ke Bandung, ya. Aku suami kamu, sudah jadi kewajiban aku buat mendampingi kamu sampai sembuh.” “Itu pun kalau kamu dapat izin dari Cecil,” kata Marisa menyindir. Mario diam. Dia nggak bisa bohong kalau mendapatkan izin Cecil sulitnya bukan main. Sebenarnya Cecil nggak mengizinkan suaminya menemani Marisa ke Bandung. Mario nggak bilang Marisa sakit apa, tapi bagi Cecil kepergian mereka berdua cuma alasan saja agar Marisa punya waktu lebih banyak darinya untuk bersama Mario. Cecil takut kalau istri pertama Mario itu akan mempengaruhi suaminya untuk meninggalkannya. Alih-alih menjawab, Mario hanya mengulurkan tangan untuk meraih tangan Marisa dalam genggamannya. Dalam hatinya dia nggak menyangka kalau hubungan manis mereka akan menjadi rumit seperti ini. Tapi mendengar penjelasan dokter tadi membuat Mario nggak mau meninggalkan Marisa berobat sendirian. Dia ingin mendampingin istrinya sampai sembuh untuk menebus perasaan bersalah karena sudah mengkhianatinya.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN