Tiga Belas

1289 Kata
❤❤❤ Vania menyelesaikan visit paginya lebih cepat dari biasanya. Sejak pukul 11.00 tadi, tugasnya telah selesai. Bahkan ia sudah sempat meneguk es jeruk sebelum akhirnya pergi ke ruangan Andrea. Vania mengetuk pintu kayu ruangan sang suami, namun setelah beberapa saat tidak juga ada sahutan. Akhirnya ia ingat jika ini masih jam kerja suaminya. Mau selesai secepat apapun, jika masih jam kerja, tidak mungkin Andrea kembali ke ruangannya. Pasti ia masih membaur dengan pasien-pasiennya. Mungkin hal itulah yang membuat Andrea menjadi dokter yang sangat terkenal dan panutan bagi banyak orang. Tak hilang akal, Vania pun mengeluarkan sebuah benda berbahan logam dari kantung pakaiannya. Ia terkekeh kecil setelah mendapat benda yang ia butuhkan itu. "Dia pikir aku cuma gandain satu aja kuncinya?" gumam wanita berambut panjang itu sambil memasang senyum evil. Vania menggunakan benda logam itu untuk membuka ruangan Andrea. Setelah terbuka, dengan santainya ia berjalan masuk kemudian duduk di sofa panjang yang terletak tak jauh dari pintu. Ia meluruskan kakinya setelah berhasil menyalakan AC ruangan. Dan perlahan, matanya pun terpejam. Beberapa saat kemudian... "Astaga! Kok dia bisa masuk?" Samar, namun masih dapat tertangkap indra pendengaran Vania. Wanita itu pun terusik dan mulai merenggangkan tubuhnya dengan mata yang masih terpejam karena rasa malas yang masih melanda. "Van," Vania masih dapat mendengarnya. Tapi sekali lagi, ia masih benar-benar malas membuka mata. Karena baru saja ia terjun ke dalam alam bawah sadarnya. "Vania, bangun!" "Jangan ganggu. Aku ngantuk banget beneran. Pesen online aja makan siangnya," ujar Vania dengan suara serak. Andrea berkacak pinggang, mulai kesal dengan kelakuan istrinya itu. "Aku mau ngomong," ujarnya tegas. "Ssstt.. jangan banyak omong! Nanti berisik," balas Vania yang masih belum mendapat kesadarannya. Andrea melotot dan benar-benar geram mendengar jawaban spontan istrinya. Wajahnya mulai memerah menahan amarah. 'Sabar, Ndre! Jangan sampai kelepasan!' gejolak batin pria itu. Masih dengan emosi yang membuncah, Andrea membanting pantatnya di sofa tepat samping Vania, hingga sofa yang diduduki Vania ikut bergerak. "Loh, kamu udah selesai kerjanya? Kok nggak bangunin aku?" Baru saja Andrea hendak mengalihkan perhatiannya dengan memesan makanan, namun kelakuan ajaib Vania kembali membuatnya melotot tak percaya. "Nggak bangunin kamu??" pertanyaan itu dijawab dengan anggukan polos Vania. "Pasti nggak tega ya? Aduh, nggak papa. Ck, jadi makin meleleh deh. Aku kan istri kamu. Lagian jam makan siang kita kan terbatas. Masak gara-gara aku ketiduran doang kamu nggak makan siang? Mana tega aku?" cerocos Vania. Andrea melongo mendengar ocehan istrinya hingga sempat terjadi keheningan sebelum akhirnya Vania kembali melanjutkan ocehannya, "Ayo cari makan! Aku nggak papa kok. Serius deh, jangan nggak tegaan gitu! Duh jadi enak," oceh Vania. Andrea menghela napas dan melepaskan belitan tangan Vania di lengannya. "Pertama, aku nggak ada rasa nggak enak nggak enaknya buat bangunin kamu," ujar Andrea pada akhirnya. "Terus-" "Ssstt.. tunggu sampai aku selesai ngomong!" potong Andrea cepat sebelum Vania kembali mengambil alih fokusnya. "Kedua, aku udah usaha bangunin kamu. Nggak cuma sekali. Tapi kamunya aja yang emang dasarnya kebo," "What?? Mana mung-" lagi, ucapan Vania sudah lebih dulu dipotong Andrea. "Dan ketiga, aku mau tanya. Bagaimana kamu bisa masuk ruangan aku?" Vania memutar bola matanya malas. Menurutnya semua yang dikatakan Andrea tidak terlalu penting dan hanya membuang-buang waktu makan siang mereka. "Udah, makan aja yuk! Udah lapar nih," ajak Vania sembari melilitkan kembali tangannya ke lengan Andrea. Dan lagi-lagi, Andrea melepaskannya. "Jawab dulu. Bagaimana kamu bisa masuk?" tanya Andrea. Vania berdecak lalu meraih benda logam yang tadi ia gunakan untuk membuka pintu ruangan Andrea. Andrea kembali mendelik melihat kunci ruangannya yang lagi-lagi ada di tangan istrinya. Seingatnya, kunci cadangan yang didapatkan Vania secara illegal telah ia sita beberapa hari lalu. "Kam.. kamu kok masih punya-" "Apa? Ini? Ya masak aku cuma gandain sebiji? Kan sepaket isi dua kalau gandain kunci," balas Vania santai. Andrea pun segera merebut kunci itu dari tangan Vania. Vania melepaskannya, tanpa ekspresi kehilangan sama sekali. Membuat perasaan Andrea menjadi tidak enak. "Nggak ngaruh. Aku kan gandainnya nggak cuma sepaket. Wlee.." Vania menunjukan dua kunci lain sembari menjulurkan lidahnya ke arah Andrea. Andrea menggeleng tidak menyangka dengan tindakan konyol istrinya, lalu kembali merebut dua kunci itu hingga Vania merengut kesal. Barulah Andrea bisa tersenyum cerah setelahnya. "Ya udah yuk, cari makan! Udah jam 12.15. Jangan buang-buang waktu!" ujar Andrea sembari bangkit, lalu berjalan mendahului Vania. Tanpa Andrea ketahui, Vania tersenyum misterius di balik punggungnya. 'Memang aku bilang kalau aku cuma gandain dua paket?' batin wanita itu. Vania pun segera menyusul langkah dompet berjalanannya itu, demi bisa makan siang enak tanpa mengeluarkan sepeserpun uangnya. Saat di lobby, langkah mereka dihentikan oleh sebuah suara yang membuat keduanya harus kembali berbalik badan. "Selamat siang, Dokter Andrea dan Dokter Vania," orang itu tersenyum lebar ketika melayangkan sapaanya untuk Vania. Andrea dapat menyadari hal itu. Ia menghela napas untuk menyurutkan panas di hatinya. Ia tidak ingin basa-basi terlalu lama dengan manusia satu itu. "Maaf, ada apa ya, Pak Haical? Kami sedang sedikit terburu-buru," ujar Andrea yang malas berbasa-basi dengan orang yang ada di hadapannya kini. "Oh.. iya. Begini, Dok. Saya hanya ingin meminta waktu Anda setelah jam makan siang. Mungkin hanya sepuluh sampai lima belas menit saja," terang Haical. "Ada masalah apa ya?" tanya Andrea. "Nanti saja saya jelaskan secara detail di ruangan saya," jawab Haical singkat. Andrea mengangguk paham. "Sama saya juga kan?" sambung Vania. Haical tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Vanua, "sayang sekali tidak, Dok," jawabnya. "Yah..." desah Vania kecewa. Andrea melirik sekilas ke arah istrinya yang kini memasang tampang memelas. "Baiklah. Nanti saya ke ruangan Anda. Kami permisi dulu," pamit Andrea lalu menggandeng tangan Vania keluar dari area rumah sakit. "Pak Haical mau ngomongin apa ya sama kamu? Kok main rahasia-rahasiaan ke aku?" bingung Vania. Andrea tak menanggapinya. Ia langsung duduk ketika sampai di tujuan mereka. "Mbak, soto betawinya satu, sama air putih," ujarnya malah sibuk memesan makanan untuk dirinya sendiri. "Eh, saya mau ayam krispi sama es jeruk ya, mbak," sambung Vania. Soal makanan, jangan sampai terlambat. "Baik, ditunggu sebentar ya!" balas pelayan itu selesai mencatat pesanan pasangan suami-istri itu. Andrea sibuk membaca koran yang disediakan rumah makan itu secara gratis. Meskipun sibuk bekerja, Andrea juga tidak mau menjadi orang yang kudet dengan berita di negaranya. "Mas, serius. Kenapa Pak Haical cuma mau ngomong sama kamu? Jangan-jangan dia suka-" "Kamu baru sadar kalau dia suka sama kamu?" potong Andrea cepat, ia tampak mulai tertarik dengan topik berbincangan Vania. "Eh, kok aku?" bungung Vania. Andrea memutar bola matanya malas. Ternyata dugaannya salah. Vania tetap saja tidak sadar dengan perhatian lebih pria bernama Haical itu. Andrea pun kembali memfokuskan pandangannya ke arah koran yang sempat ia baca. "Aku curiganya, jangan-jangan Pak Haical suka sama kamu?? Dia kan selama ini nggak pernah kelihatan gandeng cewek. Jangan-jangan dia gay??" Andrea melotot mendengar kesimpulan yang ditarik Vania yang hanya berlandaskan otaknya yang sedikit geser itu. Ingin sekali ia melakukan operasi besar untuk menggeser otak istrinya itu agar kembali ke tempat yang seharusnya. Mungkin ia harus memesan ruang operasi secepatnya setelah ini. "Van, minggu depan kamu ada free hari apa?" tanya Andrea santai. "Kenapa? Mau ngajak liburan?" tanya Vania dengan mata berbinar. "Operasi, yuk!" ajak Andrea. "Hah?" tentu saja Vania tidak paham dengan arah pembicaraan suaminya, "ada pasien anak yang kanker dan harus dioperasi minggu depan?" tanyanya polos. "Bukan anak-anak," ujar Andrea kemudian memberi sedikit jeda, "tapi kamu. Sepertinya otak kamu gesernya tambah parah," "Aaarrrggghh!" Andrea memekik keras ketika merasakan cubitan Vania di perutnya. Ia tahu, hak Vania untuk kesal padanya saat ini. Jadi ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Ia malah memasang senyuman setelah Vania menghentikan aksinya. "Kok senyum?" bingung Vania. "Kamu lucu kalau lagi mode banteng gitu," ejek Andrea yang membuat Vania menghela napas panjang. Sejak kapan suaminya jadi semenjengkelkan ini? ❤❤❤ Bersambung .... Vania itu pure kreatif. Efek terlalu cerdas sampe gandain kunci aja sampe seniat itu, haha ..... Itu btw Andrea minta diseruduk banteng? Jangan lupa kritik dan sarannya, ya? Biar semangat menulis itu timbul .... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN