Pahlawan

1617 Kata
        Dimas mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya. Dia rutin lari sore di sekeliling taman kota untuk menjaga kekuatan ototnya. Terkadang, Dimas juga berkutat dengan samsak dari pagi sampai sore. Langit mulai mengguratkan senja yang sebentar lagi menyambut kedatangan sang malam. Dimas mempercepat larinya, namun saat di persimpangan jalan, dia melihat seorang gadis sedang melawan dua orang pria yang memakai penutup wajah. Satu orang menarik tangan gadis itu dan yang satunya mencoba mengambil sesuatu di lehernya.             Tanpa menunggu lagi, Dimas segera menuju ke sana dan menyerang dua orang itu hingga motor yang mereka tumpangi roboh. Dimas menarik tangan gadis itu dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Dua orang yang diduga preman itu, mencoba melawan Dimas dengan menendang dan memukul. Tapi sepertinya hal itu mudah saja dilawan Dimas karena dia memang ahlinya.             Preman itu mundur karena bukan tandingan Dimas. Mereka melesat menggunakan sepeda motornya. Suara seorang gadis yang terisak di belakangnya, membuat Dimas menoleh. Tampak gadis itu memegangi lehernya. Saat Dimas memicingkan matanya, ternyata di leher gadis itu ada sebuah liontin berbentuk love yang sangat indah. Sepertinya benda itu sangat berharga, karena gadis itu menangisinya.             “Lo nggak papa?”             “Aku nggak papa. Terima kasih,” ucapnya tulus. Namun pandanganya tidak mengarah pada Dimas, melainkan ke samping Dimas seakan yang diajak bicara ada di sana. Dimas menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah gadis itu, nihil tidak ada respon dari matanya.             “Maaf sebelumnya. Lo... buta?”             Gadis berlesung pipi itu tersenyum tipis setelah mengusap air matanya dan mengangguk. Senyum yang sangat manis sekali walau kecil kemungkinan disebut senyum karena sangat tipis. Baru pertama kali seumur hidupnya Dimas melihat senyum seperti itu.             Dimas baru melihat tongkat tergeletak di dekat kakinya. Ia mengambilnya dan menyerahkan pada gadis itu. “Jangan dijatohin lagi. Ntar gue nggak bisa ngambil buat lo,” kekehnya. Dimas mengambil kedua tangan gadis itu agar mempererat pegangannya pada tongkat.             “Terima kasih, Mas.” Ucapan gadis itu membuat Dimas tertawa. Dirinya tidak terlalu tua untuk dipanggil seperti itu. Namun belum sempat protes, gadis itu sudah berlalu.             “Tunggu!” cegah Dimas. “Gue anter ya.”             Gadis itu berhenti dan menengok ke belakang seolah melihat Dimas. “Ntar ngrepotin Mas.”             “Nggak sama sekali. Gue anter ya, takutnya hal tadi keulang lagi.”             Akhirnya gadis itu mengangguk. Dimas kemudian berlari ke arah tempat ia parkir mobil. Setelah sampai di belakang gadis itu, Dimas menuntunnya untuk masuk ke kursi penumpang. Sedangkan Dimas memutar menuju kursi pengemudi. “Lama ya?”             “Ndak kok Mas. Maaf kalau ngrepotin.”Lagi-lagi panggilan itu membuat Dimas ingin tertawa namun ia tahan kali ini.             “Lo sering jalan-jalan di taman sendirian?” tanya Dimas sembari memakai sealt belt. Kemudian menoleh lagi ke arah gadis itu yang kesusahan memakai sealt belt. Dimas tidak berani menawarkan pertolongan karena ia takut dianggap lancang.             Selepas mengaitkan sabuk pengaman, gadis itu melipat tongkatnya baru menjawab Dimas. “Dulu sering, sebelum nggak bisa lihat.”             “Kalau sekarang?”             “Baru sekali, Mas.”             “Sekali?” ulang Dimas. “Kenapa lo nekat ke sini? Bahaya ada di mana-nama. Maaf, orang jahat nggak mandang bulu kalau udah nekat. Dengan kondisi lo seperti ini, kejahatan rawan terjadi.”             “Iya Mas, besok bawa temen kok.” Senyumnya kembali terbit. Dimas menggelengkan kepalanya, jika seperti ini terus dia tidak akan melajukan mobilnya.             “Kalau boleh tau, nama lo siapa?”             “Nama panjang atau nama pendek?”             Jawaban gadis itu membuat membuat Dimas terkekeh. “Nama panjang dulu, terus kasih tau nama panggilannya.”             Gadis itu mengangguk dengan senyuman yang lagi-lagi menghipnotis Dimas. “Darena Prisilia. Mas bisa panggil aku, Rena.” *****             Asisten rumah tangga yang baru, buru-buru keluar saat bel berbunyi. Hendra mengganti asisten yang lama karena tidak mungkin mengurusi Rena dengan kondisi seperti itu. Apalagi setelah kecelakaan, Rena kehilangan penglihatannya. Membuat gadis itu butuh orang yang bisa mengurusnya 24 jam.             “Non Rena,” sambutnya.             “Mbak habis tidur ya,” tebak Rena dengan kekehannya. Mbak Lastri tersenyum sungkan. Ia sering ketiduran saat bekerja, Rena bahkan sudah hapal walau baru 6 bulan bersama Mbak Lastri.             “Iya nih Non. Nggak hilang-hilang kebiasaan ngantuknya. Tumben pulang malem Non. Tadi saya khawatir Non Rena nyasar.”             “Udah dianterin Mbak, nggak akan nyasar kok.”             Mbak Lastri seakan baru sadar kalau ada orang di samping Rena. “Siapa Non?” bisiknya di telinga Rena.             “Dia yang nolong Rena waktu ada orang mau jahatin Rena, Mbak. Kenalin Mas, ini Mbak Lastri, teman saya. Siapa tau cocok.”             Dimas menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ternyata Rena orang yang humble. Jelas-jelas Dimas tau dari pakaian yang dikenakan Mbak Lastri kalau dia adalah seorang asisten rumah tangga, tapi Rena menyebutnya teman. Plus acara cocok-cocokan segala.             “Makasih Den, sudah mengantarkan Non Rena pulang.”             “Sama-sama, Mbak.” Pandangan Dimas beralih pada Rena. “Gue pulang dulu ya, Rena. Semoga kita bisa ketemu lagi lain waktu.”             Seakan mengetahui apa yang Dimas lakukan, Rena ikut melambaikan tangannya. Senyum itu, tidak akan Dimas lupakan. Kali pertama hatinya berdetak sangat cepat hanya dengan melihat senyum seseorang.             Rena masuk rumah diikuti Mbak Lastri di belakangnya. Semenjak Rena mengalami kecelakaan itu dan tidak bisa melihat, kamarnya di pindah di bawah. Untuk berjaga-jaga agar ia tidak terjatuh karena harus menaiki tangga.             “Non, saya siapkan makan dulu ya.”             “Nggak usah Mbak, aku nggak laper. Nanti minum s**u aja.” Rena menggunakan tongkatnya untuk menemukan pintu kamar. Mbak Lastri hanya memantaunya, karena perintah dari Rena sendiri jika ia ingin mandiri. Dengan hati-hati Rena mencoba meraba-raba benda di sekitarnya dengan tongkat untuk sampai ke kasur.             Kamarnya kini berubah total, hanya ada tempat tidur, meja rias, sofa dan nakas di sebelah tempat tidur beserta lampu tidurnya. Tangan Rena meraba nakas di sebelah tempat tidurnya. Dia mendapatkan sebuah figura yang dulu Rena ketahui ada fotonya bersama mamanya. Rena sangat merindukan mamanya, ingin memeluk dan tidur di pangukannya. Sampai saat ini, Rena belum bisa mengunjungi mamanya di makam. Karena kecelakaan itu, Rena tidak diizinkan keluar terlalu jauh oleh papanya. Rena sendiri tidak bisa membantah, papanya selalu menempatkan mata-mata untuk mengawasinya. Untuk kejadian tadi, mungkin mata-mata itu tidak mengikutinya karena Rena menggunakan jaket dengan penutup kepala untuk bersembunyi.             Kehidupan Rena semakin menyedihkan. Hanya kegelapan yang bisa Rena lihat saat membuka matanya. Walau matahari memancarkan cahaya yang sangat terang, Rena tidak bisa melihatnya lagi. Tidak ada bedanya saat Rena menutup mata atau membuka matanya. Semua sama gelap. Seiring dengan kegelapan yang memenuhi hidupnya, Rena juga merasakan kekosongan pada hatinya. Papanya tidak lagi tinggal bersama Rena. Sekarang Rena ditemani kegelapan dan entah sampai kapan hal ini akan berakhir.             Ketukan pintu mengakhiri lamunan Rena. Dia segera mengembalikan figura itu ditempatnya. Tidak lama kemudian ada suara Mbak Lastri yang terdengar berbeda dari biasanya. “Non, ada Papa.”             Papa, orang itu menjadi penyebab utama kehancuran hidup Rena. Dan sekarang ia masih mau menemui Rena setelah apa yang terjadi. Terkadang Rena heran, kenapa orang yang dulu melindunginya dan akan berdiri paling depan saat ada orang yang ingin menyakitinya, sekarang menjadi orang yang paling jahat bagi Rena karena merenggut satu persatu kebahagiaannya. Ketika orang terdekat kita yang melakukan itu, rasanya berkali-kali lebih menyakitkan.             “Rena mau tidur, ngantuk,” sahut Rena. Ia langsung bergelung di selimut untuk meyakinkan bahwa ia benar akan tidur.             Suara pintu berderit membuat Rena semakin menguatkan pegangannya pada selimut. Sungguh, Rena yakin sebentar lagi jika papanya mengajaknya bicara, pertahanannya akan runtuh.             “Rena, Papa mau bicara sama kamu.” Hendra mengelus rambut anaknya. Sebagai ayah, ia punya naluri seperti kebanyakan orang. Ia merasakan kesedihan yang begitu dalam pada anaknya. Tetapi kadang ia juga tidak bisa menahan amarahnya saat Rena membantah.             “Dua hari lagi kamu akan pindah ke Bandung. Di sana kamu bisa sekolah agar kamu tidak ketinggalan pelajaran saat ini. Mbak Lastri akan ikut bersama kamu.”             Mendengar hal itu membuat Rena terduduk. Ia tidak menyangka papanya akan setega ini. Setelah membiarkan Rena tinggal sendiri sekarang mau membuang Rena. “Apa nggak cukup dengan semua yang Rena alami sekarang? Kenapa Papa lebih milih wanita itu daripada Rena?”             “Rena cukup! Semua ini demi kebaikan kamu,” bentak papanya keras.             “Dengan mengasingkan anaknya sendiri? Mama dan aku nggak penting kan bagi Papa. Yang penting bagi Papa adalah wanita itu, iya kan Pa?” Rena memegangi dadanya yang terasa sesak. Rasanya bernapas sudah sangat sulit bagi Rena. Menjalani kehidupan yang berbeda itu tidak mudah. Hati mana yang sanggup menerima dengan lapang d**a dalam waktu sesingkat ini? Semuanya butuh waktu. Rena tidak akan menuntut agar ia bisa melihat kembali. Yang ia inginkan hanyalah dukungan dan kekuatan untuk bertahan.             “Setuju atau tidak, kamu akan tetap ke Bandung.” Hendra berdiri dan langsung keluar tanpa mendengarkan protes dari Rena lagi.             “Papa jahat!” Rena berteriak keras membuat Mbak Lastri masuk tergopoh-gopoh dan langsung memeluknya.             “Non yang sabar ya. Mbak akan menemani Non Rena.” Naluri Mbak Lastri sebagai seorang kakak muncul. Ia juga punya adik seumuran Rena jika sampai sekarang masih hidup.             “Rena nggak mau Mbak ke Bandung. Rena nggak mau jauh dari Mama, makam Mama di sini. Di sana nggak ada Lisa sama Juna yang mau jadi sahabat Rena.” Punggung Rena bergetar karena menangis.             “Mbak akan kasih tau sahabat Non Rena supaya mereka bisa tetap berkunjung ke rumah baru nanti.” Mbak Lastri mengusap-usap punggung Rena. Mencoba menguatkan sosok yang ia anggap sebagai adiknya sendiri.             Rena sedikit mengendurkan tangan Mbak Lastri yang masih memeluknya, ia mendongak seolah bisa menatap Mbak Lastri. “Apa orang buta seperti Rena hanya patut diberikan kesedihan? Rena juga ingin merasakan kebahagiaan Mbak. Setelah Mama meninggal, Rena buta. Apa itu tidak terlalu kejam?” Ia kembali menangis dan menunduk dalam seolah bertanya pada dirinya sendiri.             “Semua orang berhak bahagia Non Rena. Semua itu tergantung waktu. Seberat apapun ujian Non Rena saat ini, semua pasti akan terselesaikan. Akan ada kebahagiaan untuk Non Rena.”             Ada perasaan lega saat Mbak Lastri mengatakannya. Setidaknya Rena masih punya sahabat dan orang yang peduli padanya walau hanya sedikit. “Mbak, aku mau istirahat.”             Mbak Lastri mengerti dan keluar kamar majikannya. Rena kembali berbaring dan menyelimuti tubuhnya sampai d**a. Ia meraih figura lagi, mendekapnya seolah ia sedang memeluk mamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN