Bab 1
"Aku sadar! Aku bukanlah perempuan yang menarik di matamu. Aku hitam! Aku jelek! Aku tak pandai berhias seperti teman-temanmu di kantor! Tapi aku mohon sama kamu! Tolong jangan bandingkan aku dengan mereka. Aku sadar, aku perempuan kampung! Miskin! Gaptek! Lebih cocok jadi pembantumu! Aku sadar, Mas! Tidak perlu kamu ingatkan aku berulang kali! Salahku apa? Aku mengurusmu! Mengurus anak-anak! Melayanimu! Kenapa itu tidak cukup di matamu? Apa salahku? Jika memang ada perempuan lain, tolong jangan kau cari kesalahanku, Mas! Aku punya hati juga punya perasaan," ucapku panjang lebar pada Mas Tama.
"Bukan seperti itu! Tapi aku ingin istri yang cantik dan berprofesi sebagai wanita karir! Bukan istri yang kucel selalu sibuk dengan pekerjaan rumah! Kamu bisa mencari pembantu! Aku ini seorang direktur Hany! Kamu harus bisa mengimbangi penampilanku supaya kamu tidak membuatku malu jika kuajak bertemu rekanku! Istri Reza sama sepertimu! Dia mengurus rumah tangga, tpi dia masih bisa menjaga penampilannya. Memanjakan mata suaminya. Tahu kamu tadi aku singgah ke rumah, Reza? Istrinya terlihat cantik! Sedangkan kamu! Coba lihat penampilan kamu! Daster dan daster terus! Rambut digelung! Udah kaya emak anak lima kamu diusia yang masih terbilang muda!" hardik Mas Tama panjang kali lebar.
"Kenapa sih! Kamu ini semenjak jadi direktur utama gaya hidupmu jadi menggila?! Ingat dulu waktu kamu cuma karyawan biasa dan bergaji 5 juta, rumah ngontrak tapi tidak banyak protes! Sekarang, dikit-dikit bandingin aku sama istri teman-temanmu! Kamu nikah aja sama mereka!" balasku tak kalah lantang.
"Susahnya cuma disuruh berpenampilan rapi aja ngajak berdebat! Heran. Uang yang aku kasih ke kamu kurang?"
"Aku hanya punya insting kesuksesanmu tidak akan lama karena keangkuhanmu!" Iya, aku lebih baik memiliki suami sederhana tapi tak banyak bergaya. Daripada suami kaya tapi bertingkah dan semena-mena. Lihat saja! Pasti dia akan hancur kalau tidak mau berubah. Mungkin aku jahat karena mendoakan suami agar kesuksesannya tidak bertahan lama. Tapi bagaimana lagi, aku muak dengan sikapnya yang selalu protes. Padahal daster yang kukenakan juga tidak jelek. Daster mahal yang kubeli di online. Wajahku tidak kucel, meski tanpa polesan make up, wajahku terlihat bersih dan cerah. Kenapa di mata Mas Tama aku ini selalu salah?
Namaku Hany, usiaku menginjak 25 tahun. Gadis desa yang kebetulan menikah dengan orang kota. Pendidikanku hanya lulusan SMP. Sedangkan suamiku sarjana. Mas Tama yang meyakinkan aku supaya mau menikah dengannya. Meski awalnya ragu, tapi karena dia pandai merayu aku pun mau dipersunting dengan mahar sederhana. Cukup dengan uang dua juta rupiah, Mas Tama bisa membuatku menjadi istrinya. Aku menjadi istri seorang mahasiswa semester akhir. Pernikahan berlangsung sederhana. Keluarga Mas Tama juga tidak hadir dengan alasan tidak punya uang. Orang tuaku memaklumi. Mereka mendukung keinginanku untuk menikah dengan Tama. Yang membuat Ayah serta Ibu merestui, yaitu karena melihat kegigihan Mas Tama. Dia kuliah di kotaku dengan biaya yang dia hasilkan sendiri dari hasil mengojek online. Sabtu Minggu dia kuliah, senen sampai Jumat ngojek.
Singkat cerita, akhirnya Mas Tama pun lulus kuliah dengan nilai yang cukup bagus. Dia memboyongku ke Jakarta. Sampai Jakarta, dia memperkenalkan aku pada keluarganya. Ipar cowok sangat ramah. Tapi, Ibu mertua dan ipar cewek terlihat sinis seperti tidak menyukaiku. Diajak salaman aja antara mau dan ogah. Tepatnya, ogah-ogahan. Karena perasaan tidak enak, kuutarkan pada Mas Tama, sehingga dia pun mengajakku mencari kontrakan. Allhamdullillah, setelah seharian mengitari kota Jakarta, kami mendapatkan kontrakan sepetak. Tinggallah kami di sana.
Mas Tama mulai mendapat pekerjaan. Karena kegigihan dan kejujuran serta prestasi yang dihasilkan, Mas Tama diangkat menjadi direktur perusahaan. Kebetulan pemilik perusahaan itu, anaknya masih kuliah. Sementara jabatan direktur dipercayakan pada Mas Tama. Semakin kesini keuangan semakin membaik. Dari rumah sepetak, kami bisa pindah ke rumah besar yang Mas Tama beli dari hasil gajinya.
Menginjak usia pernikahan 3 tahun, aku dikaruniai sepasang anak kembar. Akupun mulai menikmati moment menjadi seorang Ibu. Jadi dari awal aku memang tidak ada bakat untuk menjadi wanita karir. Tapi kalau bakat menjadi pembantu, aku lancar jaya. Menginjak usia pernikahan yang kelima, Mas Tama mulai memperotes penampilanku. Aku tidak tahu kenapa dia bisa seperti itu. Namun, instingku mengatakan Mas Tama tengah dekat dengan seseorang. Hanya saja aku tidak tahu karena belum mendapat bukti. Kerap kali aku mendengar, suami yang lembut bisa berubah kasar apabila memiliki wanita idaman lain.
"Setres kamu doain aku kaya gitu!" celetuk Mas Tama.
"Udah, Mas! Nggak usah kenceng-kenceng. Malu kedengaran Ibu kalau kita berantem. Ibu juga lagi sakit," ucapku meredakan amarah Mas Tama.
"Terserah kamu lah! Aku capek!" kesalnya seraya masuk ke kamar.
Ibu berencana tinggal di sini untuk sementara waktu karena dia harus rawat jalan. Kasihan kalau harus di kampung sendirian karena sedang sakit.
"Han, kamu berantem sama, Tama?" tanya Ibu menghampiri.
"Nggak kok, Bu. Mas Tama cuma protes sama penampilan, Hany. Iya, Hany terlalu sibuk mengurus rumah dan anak-anak jadi kurang memperhatikan penampilan," jawabku sambil mengajak Ibu duduk di sofa ruang tamu.
"Ada benernya ucapan suamimu, Han! Baiknya cari pembantu. Biar kamu bisa manjain mata suamimu," ujar Ibu.
"Bukan seperti itu, Bu. Mas Tama kalau bayar pembantu sedikit pelit. Rumah sebesar ini melakukan banyak pekerjaan. Mana ada pembantu yang betah? Hany juga yang turun tangan. Belum lagi anak-anak rewel," ucapku masih membela diri.
"Sudah berapa kali rumah ini ganti pembantu, Bu. Paling betah juga sebulan dua bulan. Hany capek carinya sampai nanya ke tukang sampah siapa tahu ada yang mau kerja di kampungnya. Tetap aja betahnya sebulan dua bulan. Hany juga bingung," keluhku. Suamiku mana mau mengerti. Yang dia inginkan sekarang ini aku tampil cantik dan bekerja dengannya di kantor. Kadang aku bingung, mana bisa aku bekerja di kantor, pengalaman saja tak punya. Yang ada salah lagi karena menghambat pekerjaannya.
"Ya, udah. Istirahat yuk, Bu. Udah malam." Aku dan Ibu pun beranjak ke kamar masing-masing.
"Aku sedang mencari kesalahan istriku. Tadi udah mulai kepancing lagi. Lumayan berhasil." Terdengar bisik-bisik suara Mas Tama dari dalam.
'Oh, jadi dia sengaja.' Tapi dia berbicara dengan siapa? Dan untuk apa?
Krek!
Pintu kubuka. Mas Tama terkejut melihat kedatanganku.
"Kenapa, Mas? Kok kaget." Iseng aku bertanya.
"Oh, nggak apa-apa kok," jawabnya. Aku melangkah menuju cermin dan duduk di depan meja rias. Meski aku berucap jelek, hitam, kumel, kucel, saat emosi, sebenarnya aku hanya merendahkan diri supaya apa yang diucap Mas Tama, seolah aku merasakan. Padahal aku tidak seburuk itu. Bahkan jerawat pun enggan singgah di wajahku.
"Mas!" panggilku.
"Sebenarnya masalahmu sama aku itu apa? Aku merasa nggak kucel kok. Aku dapat melihat wajahku di cermin, aku cantik. Apa karena aku suka memakai daster? Itu juga hanya di rumah. Sedangkan jika ada acara kantor, aku memakai pakaian rapi dan memanggil tukang rias. Menurutku, aku tidak membuatmu malu. Sikap kamu berubah banget akhir-akhir ini. Dulu kamu selalu memujiku cantik. Kenapa sekarang sebaliknya?" tanyaku pada Mas Tama. Setelah aku membersihkan wajah dengan toner, aku menghampiri Mas Tama.
"Aku ingin, kamu berpenampilan seperti wanita karir. Aku ingin, kamu menjadi wanita karir," jawabnya membuatku terkejut.
"Itu nggak mungkin, Mas. Aku nggak ada pengalaman," tolakku. "Lagipula anak-anak sama siapa?" Aku kembali bertanya dengan nada pelan supaya tidak terpancing emosi.
"Anak-anak titip sama Ibu. Kita kasih uang aja buat imbal balik," ucap Mas Tama dengan enteng. Aku masih mencoba menahan emosi. Dia pikir Ibuku pembantu. Mengurus anak yang masih balita itu susah dan repot apalagi sampai dua.
"Ibuku bukan pembantu, Mas. Aku tak mungkin membiarkan itu. Anak-anak sedang masa pertumbuhan dan sangat aktif."
"Yayaya! Terserah kamu aja!" cetus Mas Tama lalu tidur membelakangi-ku.
Saat hendak memejamkan Mata, Mas Tama mengindap-indap keluar kamar.
"Mas! Mau kemana?" tanyaku heran.
"Ke pinggir kolam cari angin," ucapnya.
"Awas kecebur!" Aku masih berusaha menggoda meski dia sedikit kesal.
Akhir-akhir ini, ponselnya tidak pernah tergeletak. Kemanapun dia pergi, ponsel selalu berada di tangannya.
?????
Pagi ini seperti biasa, menyiapkan pakaian kerja suamiku, lalu menyiapkan sarapan di meja makan. Tak lama setelah Selesai semua, Mas Tama pun datang menghampiri di saat aku sedang menyendok sarapan untuk Ibu.
"Mas! Aku mau ambil sarapan buat, Ibu. Kamu sarapan sendiri ya?" ucapku seraya berlalu meninggalkan Mas Tama. Setelah aku selesai mengantar sarapan untuk Ibu, aku kembali menghampiri Mas Tama dan dia pun sudah tak ada. Saat aku berlari ke teras, Mobilnya pun tak ada. Ternyata Mas Tama sudah berangkat ke kantor.
*****
Seharian mengurus anak-anak begitu melelahkan. Membuatku tertidur sebelum kepulangan Mas Tama.
Namun, tak lama aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka dan suara koper dibanting.
"Mas! Kamu udah pulang?" ucapku langsung bangun dan memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku, Mas. Aku ketiduran," ucapku.
"Awas! Aku capek!" ucapnya seraya melepaskan tanganku dari pinggangnya.
Tanpa mandi, dia langsung berbaring. Kedua tangan dijadikan bantal dan matanya menerawang ke langit kamar. Terkadang dia menyunggingkan senyum. Seperti ada yang tengah ia pikirkan tapi aku tidak tahu. Malas banyak bertanya aku pun melanjutkan tidur.
****
Pagi inilah puncak kemarahannya terjadi.
Saat aku sedang duduk di meja makan menemani Ibu yang sedang sarapan, Mas Tama datang menanyakan Jasnya.
"Dimana Jasku yang berwarna coklat?" tanyanya menghampiriku di meja makan.
"Maaf, Mas. Aku lupa bilang. Jasnya bolong. Waktu sedang menyetrika, anak-anak nangis dan aku lupa mendirikan setrikanya," ucapku merasa tak enak.
"Kamu itu ceroboh banget sih! Apa aja nggak becus jadi istri!" Ibu yang mendengar kemarahan Mas Tama ikut bersuara.
"Sudah, Tama. Hany kan sudah minta maaf. Lagipula ini masalah kecil. Jangan dibesar-besarkan," ucap Ibu.
"Ibu jangan ikut campur ya! Masalah kecil? Ibu bilang? Bukan hanya Itu! Dia juga lupa tanggung jawab semenjak ada Ibu di rumah ini! Dia lebih mengutamakan Ibu dari pada suaminya sendiri!" bentak Mas Tama pada Ibu.
"Sudah, Mas. Cukup. Kasihan Ibu sedang sakit," ucapku.
"Bilang sama Ibumu jangan ikut campur lagi urusan rumah tangga kita, atau dia pergi dari rumah ini!" sentak Mas Tama.
"Saya ikut campur karena Hany itu anak saya, Tama!" imbuh Ibu membuat Mas Tama semakin marah. Akhirnya aku semakin tersudut. Itu memang tidak sebaiknya Ibu ucapkan.
"Kalau begitu, kamu harus memilih antara aku atau Ibu!"
"Mas! Mana mungkin aku harus memilih diantara kalian? Aku sayang kamu dan juga Ibu!" ucapku berharap Mas Tama akan merubah keputusannya.
"Kalau gitu biar aku yang pilih! Kutalak tiga kau sekarang!" Ucapan Mas Tama seperti petir yang menyambar. Kenapa begitu mudah dia menceraikan aku?
Ibu diam termenung sambil memegangi dadanya. Aku terus memohon hingga bersujud agar Mas Tama tak menceraikan aku. "Mas! Pikirkan lagi. Bagaimana nasib anak-anak." Aku terus memohon. Kupegangi kaki Mas Tama supaya tidak meninggalkan aku. Namun, iya menendangku hingga tersungkur.
"Mas!" teriakku.
Sebuah foto pernikahan aku dan dia, dia lemparkan di depan mukaku dan menginjaknya.
"Jangan mengemis! Cepat kemasi barang-barangmu dan kita kembali ke desa," ucap Ibu.
Dengan berat hati aku pun keluar dari rumah suamiku. Sebab apa dia berbuat seperti itu aku tak tahu. Yang pasti, dia bahkan tak menatapku yang pergi membawa kedua buah hati kami.
"Secepatnya akan kukirim surat cerai untukmu!" teriaknya selangkah setelah aku keluar dari rumah itu.