“Yakin di sini salonnya, Ma?” tanya Irawan saat baru saja menghentikan mobilnya di salah satu kompleks ruko di daerah Rungkut.
“Iya bener kok, tuh sama kan namanya kayak yang di instagrem mama. Di-ma-ya salon and spa.” Hanami mengulurkan tangannya demi menunjukkan layar ponsel yang sedang menampilkan salah satu akun milik salon yang dimaksud. “Ini tempatnya, mama sudah janjian sama tantemu di sini.”
“Tante Yema? atau temen arisan sosialita itu?” tanya Irawan penasaran ketika melepas sabuk pengamannya.
“Ya tante Yema lah, Mama mana pernah sih ikutan arisan-arisan sok sosialita itu hambur-hamburin duit gak jelas itu, mas.” Hanami ikut melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, perempuan cantik itu keluar mobil begitu Irawan membukakan pintu di sebelah kirinya.
“Terima kasih banyak ya, Mas.” ucapnya pada sang putra yang selalu memperlakukannya bagai seorang ratu.
“Sami-sami kanjeng mama.” Tanpa sungkan Irawan merangkul pundak sang mama dan berjalan beriringan menuju salon yang dimaksud Hanami.
“Tantemu masih di jalan, Mas. Kena macet katanya.” seru Hanami setelah memeriksa layar ponselnya.
“Ya udah aku temenin Mama di sini sampe tante Yema dateng ya.” Irawan memilih duduk di sofa panjang di ruang tunggu salon tersebut.
Hanami mengangguk sekali lantas mengangkat ibu jarinya tanda setuju. “Ya wes mama ke resepsionis dulu, tadi udah booking soalnya.”
Bertepatan dengan beranjaknya sang mama ke bagian resepsionis, Irawan terpaku ketika melihat seorang gadis yang baru muncul dari dalam ruangan sebelah yang dipisahkan oleh sekat kaca dengan ruangan paling depan.
“Selamat siang ibu, ada yang bisa kami bantu?” suara lembut gadis itu menggoda Irawan untuk menajamkan pendengarannya.
Diam-diam Irawan mencuri pandang beberapa kali pada gadis berambut panjang yang tengah tersenyum ramah menyapa ibunya. Cantik. Binar matanya, rona pipinya, kedua alisnya dan yang paling menyita perhatian putra kedua Hanami itu adalah senyum manis di bibir kemerahan sang gadis.
“Iya, atas nama siapa Bu?” tanya gadis itu lagi pada Hanami.
“Hanami Dwisastri sama Yema Safitri.” jawab Hanami sembari menunjukkan layar ponselnya.
“Erica, tolong cek reservasi atas nama Bu Hanami sama Bu Yema ya.” perintah si gadis pada salah seorang resepsionis yang menghadap layar komputer.
Sengaja mencuri dengar, Irawan bahkan tanpa sadar sudah menggeser posisinya hingga duduk di ujung sofa agar lebih dekat lagi dengan sang mama yang tengah berbincang dengan gadis manis yang memakai blouse berwarna putih gading dengan banyak aksesories menyerupai mutiara di bagian lengan dan dadanya.
“Terima kasih mbak cantik,” ucap Hanami begitu menerima kartu pelanggan dengan logo salon ini. “Perkenalkan ya mbak, saya Hanami Dwisastro. Biasa dipanggil Bu Sastro.”
Masih menundukkan kepala sambil menekuri ponsel, Irawan tersenyum kecil mendengar percakapan ringan antara sang mama dengan gadis yang entah kenapa berhasil mengganggu konsentrasi Irawan. Padahal pria itu tadi tengah memeriksa email yang dikirimkan asistennya, tapi sekarang niatnya entah lenyap kemana sejak ia mendengar suara renyah si gadis salon ini.
“Salam kenal ya Bu Sastro. Saya Fawnia Afsheen, pemilik Dimaya Salon and Spa.” jawab si gadis yang ternyata adalah pemilik dari salon baru ini.
Aaah … ternyata namanya Fawnia, Fawnia siapa tadi? Fawnia Asin? gumam Irawan dalam hati. Pria tegap itu tak berani mengangkat kepalanya terang-terangan untuk memperhatikan si pemilik salon yang dengan telaten dan ramah menyambut pelanggannya.
“Siang,” suara perempuan lain yang tak asing terjaring telinga Irawan. “duuh Mbak Hana, maaf telat ya. Macet banget tadi di jalan, nggak tau ada acara apa tadi, rame banget.” ternyata Yema. Adik sepupu Adiyatma Dwisastro yang menjadi teman dekat Hanami.
“Nggak apa-apa Yema, kami juga baru dateng kok. Ini barusan sudah aku confirm ke mbaknya.” Hanami menunjuk Fawnia yang mengangguk ramah.
“Ya sudah yuk langsung treatment, cocok banget kita ngobrol sambil rebahan pas udara panas gini, Mbak.” ajak Yema.
“Eeh, sek ya. Aku suruh mas Awan balik dulu biar gak bosen nungguin kita nyalon gini.” Hanami berjalan pelan mendekati Irawan yang masih berpura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal sedari tadi ia fokus pada pembicaraan sang mama yang ternyata menarik untuk ia simak.
“Mas, kamu pulang atau balik ke kantor duluan nggak apa-apa. Nanti kalau sudah selesai, mama hubungi lagi ya.” Hanami menepuk pelan pundak Irawan.
“Nggak apa-apa, Ma. Aku di sini aja, sekalian hmm … sekalian ngadem.” jawab Irawan sesaat setelah menemukan alasan yang tepat.
“Yakin?” tanya Hanami sedikit sangsi, mengingat betapa giatnya putranya ini dalam bekerja. Karena jarang sekali ia melihat Irawan membuang waktu untuk duduk-duduk santai seperti itu.
“Ealah ada mas Awan toh ternyata,” Yema yang berbalik baru menyadari keberadaan keponakannya. “Sehat kamu nak?”
Irawan berdiri lantas mendekat untuk mengecup punggung tangan Yema, tantenya. “Alhamdulillah sehat tante.” jawab Irawan lalu memeluk pelan sang tante.
“Tambah ganteng aja sih balik dari Batam.” puji Yema tersenyum lebar.
“Tante bisa aja.”
“Lho serius kok, kamu udah punya pacar atau belum, Mas?” usik Yema penasaran.
“Belum tante, belum ketemu jodohnya.” Irawan melirik sekilas ke arah pemilik salon yang tengah menekuri layar tabletnya di sebelah Hanami.
“Duuh, emane talah (*sayang sekali). Kalau tante punya anak perempuan, pasti udah tak jadiin menantu kamu, Mas.” ujar Yema lantas tergelak. “Sayang, anaknya tante cuma satu, duda pula.” imbuh perempuan paruh baya dengan kerudung biru tua itu.
“Sstt … kok malah ngerumpi sama mas jomblo kesayanganku sih jeng?” sela Hanami. “Ayo buruan nyalon, mumpung didampingi pemilik salonnya langsung nih.”
Yema menoleh pada Hanami yang memanggilnya. “Eh mbak, ini loh kan aku baru ketemu sama Mas Awan sekali ini sejak dia balik ke Surabaya. Tambah guanteng ae anakmu ini, Mbak Han.” puji Yema jujur.
“Wooh, ya jelas lah ganteng. Sayang aja belum laku.” jawab Hanami lantas terkekeh pelan menutupi mulut. “Ayo wes, kita nyalon dulu.” ajaknya lagi pada sang sepupu.
“Iya ayo, yang mana sih owner salonnya? Pasti seumuran kita ya?” tanya Yema.
“Lha ini mbaknya yang punya salon.” Hanami menunjuk pada si gadis cantik yang mengangguk sopan padanya.
“Duuh masih muda sekali, cantik lagi. Tak kira yang punya salon udah oma-oma kayak kita.” sahut Yema kemudian mengulurkan tangan pada Fawnia yang tadi memperkenalkan diri sebagai pemilik Dimaya salon.
“Silahkan bu, lewat sini.” pemilik salon tersebut mengulurkan tangan menunjuk ke ruangan di sebelah ruang tunggu.
“Mas Awan, kamu balik dulu nggak apa-apa, Nak. Nanti mama telpon ya. Kami lama lho kalo lagi perawatan.” Pamit Hanami lagi sambil melambaikan sebelah tangan.
“Oke Ma.”
Dari tempatnya berdiri, Irawan melihat jelas si gadis pemilik mata indah itu sempat membungkuk dan tersenyum kecil padanya. Senyum kecil namun menimbulkan efek besar untuk jantung Irawan yang mendadak berdetak di luar kewajaran.
Namun, diamnya Irawan di ruang tunggu salon hanya bertahan beberapa menit setelah ditinggalkan sang ibu dan tantenya yang tengah asik menikmati perawatan bersama. Sebagai seseorang yang gila kerja, akhirnya Irawan memutuskan untuk meninggalkan sang ibu dan tantenya di salon, agar ia bisa memeriksa bisnisnya yang lain. Bukannya kembali ke Galeea Construction, Irawan memilih untuk mengunjungi Casablanca Mall, salah satu pusat perbelanjaan yang ia bangun sebelum mendirikan yang lainnya di kota Batam.
Baru dua jam Irawan berkeliling dan menemui beberapa manager yang bertanggung jawab di Casablanca, panggilan dari Hanami kembali menginterupsi kegiatannya. Kali ini bukan panggilan biasa, melainkan Hanami menghubunginya lewat panggilan video.
Irawan yang tengah berada di keramaian, segera memandang berkeliling untuk mencari tempat duduk agar lebih tenang dan leluasa saat menerima panggilan dari Hanami.
“Iya Ma?” sapa Irawan begitu melihat wajah sang Mama memenuhi layar ponselnya.
“Salam dulu iihhh … kebiasaan!” jawab Hanami setengah geram.
Irawan terkekeh sambil menekuri ponselnya. “Iya maaf, Ma. Assalmua’alaikum nyonya Adiyatma Dwisastro. Sudah selesai nyalonnya?”
“Wa’alaikumsalam, iya ini hampir selesai. Kamu ke sini sekarang nggak apa-apa.”
Masih dari layar ponsel Irawan sempat melihat sekelebatan Fawnia, gadis pemilik salon tadi yang berjalan di belakang punggung Hanami. Di kedua tangan gadis itu masih memegang tablet, mungkin untuk memudahkannya memeriksa pekerjaan pegawainya dalam menjamu pelanggaan salon.
“Mas,” suara Hanami kembali menyadarkannya dari tatapan yang sedari tadi mengikuti bayangan Fawnia.
“Eh, iya Ma. Siap, oke aku ke sana.”
“Kamu ngelamun apa sih, Mas? kayak abis lihat bidadari nyasar aja.” cibir Hanami keheranan melihat raut wajah putranya yang terdiam seolah tengah tersihir sesuatu.
Emang abis lihat bidadari nyasar, Ma. Tapi bidadarinya lagi di salon sama Mama. Gumam Irawan hanya berani ia utarakan dalam hati.
“Nggak, Ma. Mana ada aku ngelamun sih?” bela Irawan lantas bangkit berdiri.
“Itu barusan bengong aja kayak orang habis kena hipnotis.”
Iya, kena hipnotis sama gadis dari antah berantah yang bernama Fawnia, hhmm… Fawnia siapa tadi sih? Fawnia Asin bukan? Batin Irawan kembali berdebat hanya karena sosok asing yang baru dilihatnya siang ini.
“Udah buruan jemput Mama ke salon lagi ya, Mas. Sebelum jalanan semakin macet.” titah nyonya Adiyatma tak mampu di elakkan lagi.
“Siap, Ma. Ini aku langsung ke sana ya.” pungkas Irawan.
Tak sampai tiga puluh menit setelahnya, Irawan sudah sampai di Dimaya salon, tempat Hanami dan Yema tadi menghabiskan waktu senggangnya. Irawan langsung dipersilahkan masuk oleh salah seorang pegawai di pintu utama. Di ruang tunggu yang tadi, Hanami, Yema juga Fawnia ternyata sedang terlibat perbincangan ringan yang sepertinya seru sekali. Nampak dari semburat senyum menawan di wajah Fawnia yang sesekali terlihat ketika menimpali candaan Hanami yang terkenal supel dan mudah akrab dengan siapapun.
“Ehh.. itu mas Awan udah dateng.” Hanami mengangkat satu tangannya untuk memanggil Irawan agar mendekat.
“Se- se- seru banget ngobrolnya Ma.”
Tak tahu kenapa, mendadak Irawan tergeragap ketika sudah dekat dengan ketiga perempuan beda generasi tersebut. Apalagi ketika si Fawnia Asin ini tadi mengangguk sopan dan tersenyum manis ikut menyapanya. Hanya sekilas saja, namun sudah mampu menjatuhkan wibawa Irawan hingga mendadak gagap di depannya.
“Iya dong seru, ini loh si Fawfaw Fawnia lagi cerita gimana dia akhirnya nemu passion di bidang kecantikan padahal lulusan ekonomi, duuuh pinter banget anak mudah jaman sekarang. Iya kan Faw?” seru Hanami ternyata langsung akrab dengan si gadis pemilik salon.
Irawan tersenyum sekilas, lantas mencuri pandang ke arah Fawnia yang merona dan tersipu karena pujian Hanami.
“Kamu kenapa ngeliriknya sampai segitunya sih, Mas? kayak baru kali ini aja lihat cewek cantik bening begini.” ini suara tante Yema yang nampaknya mudah tertular bakat cerewet dari Hanami, sang mama.
“Hah? apa tante? Ng- ng- nggak kok.” Irawan mengerjap beberapa kali karena respon dari tantenya.
“Nggak … nggak. Nggak apa, Mas? Fawnia nggak bening gitu?” sekarang giliran Hanami yang ikut menimpali sepupu iparnya.
“Ya bening lah Ma. Cantik juga, eeh...” jawab Irawan secara spontan lalu sedetik kemudian menutup mulutnya.
“Alhamdulillah, mata anakku masih normal. Lihat yang cantik gini masih bisa klepek-klepek.”
“Nggak hanya klepek-klepek, mbak Hana. Mas Awan sampe mendadak gagap juga tadi.”
“Mamaaa! Tante!!” pekik Irawan makin salah tingkah dengan wajah merah padam.
Astagaaa, bibir Mama dan tantenya ini benar-benar ya. Irawan sampai melongo karena serangan dari Hanami dan Yema, duo mama-mama ceriwis yang seolah bisa membaca raut wajahnya yang terkesima dengan pesona Fawnia.
***