Sudah lama Irawan menolak untuk menduduki kursi besar Adiyatma Dwisastro- sang ayah, sebagai orang nomor satu di Galeea Construction. Bukan karena ketidakmampuannya di bidang tersebut, namun Irawan lebih memilih menjalankan bisnis yang ia bangun sendiri dari nol tanpa embel-embel nama besar sang ayah yang sudah dikenal seantero nusantara.
Tapi kali ini berbeda, mau tak mau ia harus kembali pulang ke Surabaya. Meninggalkan sejenak proyek keduanya di kota kelahiran, untuk menggantikan posisi Adiyatma karena kesehatan sang ayah yang semakin lama semakin menurun.
"Kalau bukan kamu siapa lagi mas?" bujuk Hanami, mama kesayangan Irawan dari ujung sana. "Kamu tau sendiri kalau Arya belum selesai kuliahnya."
"Soalnya dia emang gak niat kuliah Ma, niatnya cuma pacaran mulu." sahut Irawan.
"Ya kan niru kamu kakaknya, gimana sih?"
"Nggak lah Ma."
"Sekarang aja enggak, dulu mah playboy cap kapak juga kamu mas."
Skakmat..!!
Ibunya yang satu ini selalu saja bisa membuat Irawan bungkam dalam hitungan detik. Bukannya wajar-wajar saja kalau seorang pria bertingkah seperti itu ya, bukannya sok playboy kok. Waktu itu Irawan hanya memilih mana yang terbaik untuk ia jadikan sebagai pasangan. Tapi ternyata hasilnya nol besar, karena sebagian besar gadis yang dekat dengannya hanya mengincar kekayaannya saja. Bahkan Anne yang Irawan anggap paling berbeda dengan gadis-gadis lainnya ternyata juga sama. Gadis itu mengambil langkah seribu menjauhi Irawan, saat Irawan berkata ia tak akan pernah menjadi ahli waris seorang Adiyatma Dwisastro.
Tapi memang benar kok, Irawan memang tak bersedia benar-benar menggantikan posisi sang ayah di Galeea Construction. Karena ia sudah mendirikan perusahaannya sendiri. Tapi belum sempat menjelaskan, gadis cantik berambut pendek itu malah tersenyum tipis saat memutuskan jalinan kasih di antara mereka berdua.
"Mas, kamu masih di sana kan?"
Irawan menghembuskan nafas panjang. Tak seharusnya ia mengingat Anne di saat ia mulai belajar melupakan gadis itu seperti saat ini kan?
"Iya Mamaku yang paling cantik sealam semesta."
"Wes, pokoknya Mama tunggu kamu balik ke Surabaya ya, proyek di Batam kan bisa dikontrol dari sini juga." titah perempuan blasteran Jepang itu tegas.
"Nggih siap kanjeng ratu." sahut Irawan menganggukkan kepalanya pelan seolah ada sang ibu berdiri di hadapannya.
"Jangan nggah nggih nggah nggih aja kamu Mas, Mama serius ini." decak Hanami sekali lagi.
"Lho aku juga serius lho Ma." kekeh Irawan terdengar samar.
"Heleeh ... Awas aja kalau besok lusa kamu belum nyampe ke Surabaya ya, mama bakalan jemput paksa ke Batam."
"Iya ma iya, tadi siang aku udah pamitan juga ke direksi di sini, udah selesai packing barang-barang buat ke Surabaya juga kok. Paling lambat besok sore lah aku terbang ke sana." Irawan tak bercanda, ia memang sudah menyiapkan kepulangannya ke Surabaya sejak beberapa hari lalu kok. Kesehatan sang ayah tetap menjadi prioritas utamanya. Bagaimana pun sibuknya ia menjadi pengusaha muda, tak menghalangi bakti seorang Irawan pada kedua orang tua yang begitu ia banggakan.
"Naaah ... gitu dong pinter. Siapa tau kamu ketemu jodoh di Surabaya kan? Biar gak jadi jones lagi."
Ckk.. mamanya yang luar biasa ini pasti tertular bahasa alay dari sang adik, Arya. Sampai tahu istilah jones yang seharusnya tak beliau mengerti di usianya kini.
"Mamaaaa...."
"Iya.. iya.. iya.. duuh baperan banget anak Mama yang satu ini. Ya wes lah, Mama mau siapin obat buat Papamu dulu ya. Bye mas Awan, love you nak."
"Love you too Mama." jawab Irawan merekahkan senyum.
Begitulah Hanami, sosok ibu yang begitu ceria di mata ketiga anak-anaknya. Bahkan saat kondisi kesehatan ayahnya saat ini menurun, ibu dari ketiga putra itu masih bisa tersenyum lebar dan melempar candaan-candaan ringan pada putranya.
Keesokan harinya Irawan benar-benar kembali ke Surabaya sesuai titah sang Mama. Kesan kaku dan garang pria tinggi tegap itu selalu saja runtuh ketika sudah berhadapan dengan permintaan kedua malaikat pelindungnya itu.
"Sehat Pa?" sapa Irawan ketika membuka pintu kamar kedua orang tuanya.
Adiyatma tersenyum lebar saat mengetahui putra keduanya itu sudah sampai di rumah besar mereka.
"Yaa, gini aja dari kemaren Wan. Sudah mendingan, cuma Mamamu aja yang cerewet gak ketulungan. Masih aja paksa Papa untuk check up ke Singapura besok lusa." jawab Adiyatma setelah melepas pelukan hangat dari sang putra.
Sedikit menggeser sofa kecil di samping tempat tidur, Irawan duduk santai sambil mencomot potongan buah kiwi di atas nakas.
"Turutin aja Pa, demi kesehatan Papa juga kan. Jangan sampai drop kayak Minggu lalu itu, bikin kami bertiga panik kan?"
"Kamu panik juga nggak?"
Irawan mengerutkan kening. "Menurut Papa?"
"Ya kamu kan yang paling gila kerja di antara ketiga anak Papa, Wan. Kirain gak ikut panik." seru Adiyatma sambil terkekeh.
"Gila kerja juga nurun dari Papa kan?" gelak Irawan sampai menunduk.
"Gila kerja boleh aja, asal jangan lupa sama pesan Mama kamu tuh. Kasian Mama tiap minggu repot cariin cewek buat kamu. Dulu Papa seusia kamu udah punya anak dua lho."
"Jaman dulu beda sama jaman sekarang Pa. Susah banget cari pasangan yang bener-bener tulus sama kita."
"Heleeeh ... kaget Mama kalau mantan playboy bisa ngomong gitu." Hanami yang baru masuk kamar ikut menimpali kalimat sang putra.
"Ma, aku bukan mantan playboy ya." sanggah Irawan tak terima.
"Iya deh, alumni playboy ya." Hanami terkikik dengan jawaban spontannya sendiri.
Adiyatma tergelak melihat istri dan anaknya saling melempar lirikan tajam. "Sudah Ma, nanti kalau jodohnya dateng juga, Irawan pasti nikah kok. Kita tunggu aja."
"Tapi nanti keburu mas Awan tua, Pa." cibir Hanami sambil mengulurkan gelas berisi minuman herbal untuk sang suami.
"Ma, aku gak tua, cuma sedikit dewasa." kilah Irawan terkekeh. Tapi memang benar kan, angka tiga puluh belum bisa dibilang tua kan?
"Ckk.. dewasa apanya. Diputusin Anne aja langsung galau kabur ke Batam bertahun-tahun."
Kaan?
Terjadi lagi, sang Mama ini selalu bisa menaikturunkan emosi Irawan dengan pandainya. Lagian kenapa harus bahas Anne sih? Sudah hampir dua tahun berlalu pula, kenapa selalu nama itu yang disangkut pautkan dengan Irawan.
"Aku ke Batam karena kerjaan Mama, bukan karena patah hati. Kebetulan aja momennya bersamaan."
"Iya sayang iya ... Makanya Mama suruh kamu pulang ke Surabaya lagi, ambil alih kerjaan Papa kamu sambil cari pengganti Anne biar cepet move on."
Irawan mengusap wajahnya kasar. "Astaga Mama, aku sudah move on kok. Bener-bener move on."
"Oke sayang oke ... selow dong." kekeh Hanami hingga menyipitkan mata.
"Udah Ma, jangan godain anakmu terus. Bisa makin stress dia, udah kerjaan banyak, belum lagi mikirin tuntutan kamu soal menantu." akhirnya Adiyatma bersuara lagi menengahi.
"Iya, Pa. Cuma ya ... mbuhlah Mama heran aja sama anak kita yang satu ini. Kalo urusan kerjaan udahlah paling gahar, tapi kalo soal cewek... haduuh, kayaknya perlu berguru sama si Arya." Hanami berjalan pelan keluar kamar sambil menggelengkan kepala keheranan.
"Sudah jangan dengerin Mamamu yang udah ngebet pengen mantu lagi." potong Adiyatma lagi. "Jadi gimana? Siap ngantor kapan?" sambungnya mengalihkan pembicaraan.
"Senin depan lah Pa, aku perlu pelajari ulang tentang sistem di Galeea. Berkas-berkas yang penting juga udah dibawa Andi ke apartemen buat aku periksa satu persatu."
Adiyatma mengangguk saja, dia tak perlu lagi meragukan kemampuan Irawan dalam memimpin perusahaan. Tegas dan perfeksionisnya sang putra sudah banyak dikenal di jajaran direksi lainnya.
"Oke kalau begitu, tadi siang Papa juga sudah teleconference sama direksi yang lain. Mereka sudah tau kalau Minggu depan kamu yang ambil alih jabatan Papa di sana."
Irawan mengangguk sekali lagi.
"Soal sekertaris kamu, mau pake sekertaris Papa atau ganti pake Andi aja?"
"Andi aja lah Pa, cekatan dia. Kalau Rossie kan aku gak kenal gimana orangnya. Gak enak kalau harus menyesuaikan lagi."
"Oke, jadi Rossie biar bantu kerjaan Andi gitu aja maksudnya?"
Irawan setuju untuk poin yang satu ini. Dirinya memang sudah terbiasa bekerja dibantu Andi, asisten sekaligus sekertaris serba bisanya. Kalau harus menyesuaikan diri lagi dengan Rossie yang sudah ikut sang Ayah sejak tahunan rasanya tak nyaman untuk Irawan yang wataknya susah dekat dengan orang baru.
"Hmm.. gitu aja."
Mengambil nafas dalam-dalam, Adiyatma tersenyum samar lantas mengambil tablet dari meja kecil di samping ranjangnya.
"Kasihan si Rossie, antusiasnya saat mendengar kamu balik ke Surabaya sepertinya akan berakhir sia-sia." seru Adiyatma sambil menggerakkan jemari tuanya di atas layar.
"Maksudnya?"
"Sudah lama Rossie menaruh hati padamu, Wan. Cuma yaa ... Papa kan bukan agen biro jodoh kayak Mamamu."
Adiyatma terkekeh kecil saat mengingat sang istri yang terlalu rajin mencarikan jodoh untuk Irawan. Berbeda dengan Irawan yang saat mendengar penjelasan sang ayah justru menampilkan wajah datar-datar saja.
"Jadi yaa, Papa diam saja meski tau sekertaris Papa itu ada hati ke kamu."
Irawan mengerjap sekilas saat pikirannya teringat ketika Rossie menelponnya tadi siang. "Kenapa baru bilang sekarang Pa?"
"Apanya? tentang Rossie?" tanya sang ayah langsung diangguki Irawan.
"Kamu gak pernah tanya juga kan, emang kenapa?"
"Pantas saja akhir-akhir ini Rossie rajin nelpon aku, bahkan nawarin diri mau nganterin berkas ke apartemen besok pagi." sahut Irawan mengacak kasar rambutnya hingga berantakan.
"Biarkan dulu dia mendekat, siapa tau kalian cocok."
"No!!"
"Why? Rossie baik, cantik, pintar, cekatan papa juga kenal sama orang tuanya." entah sejak kapan Adiyatma tertular sang istri jadi Mak comblang seperti ini.
"Aku gak mau dapet bekasan mas Seno."
Dan tersemburlah gelak tawa Adiyatma hingga memekakkan telinga Irawan.
***