Hancur

2498 Kata
WARNING!!! Sudah kuperingatkan, jangan baca bab ini. Isi nggak sama. Kecewa di tanggung sendiri. Skip aja. Hari itu, Pak Joko juga lebih perhatian dengan anaknya itu. Terlihat wajah letih dan pucat, sehingga Pak Joko mengkhawatirkan anaknya. ____ Mulai sejak itu, Candra selalu menunjukan apa yang sudah ia ucapkan. Dia juga bersungguh-sungguh juga untuk masalah anaknya itu. Lima hari setelah bertemu dengan mamanya Angga, semua apa yang ia minta dipenuhi. Candra dan ayahnya dibelikan rumah sesuai keinginan Candra. Bahkan dia meminta yang letaknya dekat dengan kantornya saat ini. Mobil mewah dan bahkan diberikan uang juga yang nilainya ratusan juta, agar Candra tak kembali mengganggu. Dan satu hari setelah diberikan semua harta itu, Candra harus menepati janjinya. Benar saja, Candra mengiyakannya, proses pengguguran kandungan yang dilakukan oleh dokter yang disewa oleh mamanya Angga pun terjadi. Candra pun merasa lega, sebab sudah tak ada yang mengganggu hidupnya dan membuatnya khawatir. Dengan keadaan seperti ini, yang sebelumnya Candra berniat tetap mengganggu saat ini ia urungkan. Dia ingin fokus bekerja dan meraih apa yang sudah ia impikan. Dia juga, tak ingin untuk menikah, sebab ketakutannya bila orang lain tahu dia tak perawan saat menikah nanti. Penolakan-penolakan selalu ia lakukan kepada orang yng berniat baik meminangnya. Pak Joko pun juga bingung, apa yang harus ia lakukan untuk anaknya. "Can, Ayah pengen ngomong sebentar, Nak," ujar Pak Joko, sore itu setelah Candra pulang dsri kantornya. "Iya, Yah." Candra pun duduk di dekat Pak Joko yang berada di depan televisi. Di rumah ini, Pak Joko tak lagi berjualan. Meski dulu Candra sangat egois dan tak perduli dengan ayahnya, tetapi saat ini dia orang yang selalu mengistimewakannya. Candra bertekad untuk membahagiakan orang tua angkatnya satu-satunya itu. "Kenapa, Yah?" tanya Candra. "Candra, usiamu sudah hampir dua puluh lima tahun. Apa kamu tak menginginkan untuk menikah? Beberapa orang yang datang ke sini berniat meminangmun, pasti kamu tolak. Sedangkan kamu, tak juga untuk mencari calon pasangan hidupmu. "Yah, jangan hiraukan aku. Aku saat ini, hanya ingin hidup bahagia bersama Ayah. Aku nggak ingin, orang lain yang masuk keluarga kita akan mengganggu hubungan kita, Yah. Pekerjaan yang kucapai dengan susah payah, tak akan aku lepaskan dengan seenaknya," jawab Candra. "Iya, Ayah tahu. Tapi, kamu kan bisa bekerja setelah menikah. Kamu pun bisa tinggal di sini setelah menikah nanti, Candra. Jangan jadikan alasan dan pekerjaanmu, membuat kamu melupakan segala masa depanmu, Nak. Ayah akan selalu mendukung apa yang kamu pilih." Pak Joko mencoba meyakinkan anaknya. "Nggak, Yah. Keputusanku sudah bulat, aku tak akan menikah sebelum ada orang yang mengiyakan segala keinginannku. Aku hanya ingin yang pertama, pasanganku mau menerima ayah dan bahkan memuliakan Ayah layaknya aku. Kedua, pasanganku mengerti keinginanku, jika tak akan pernah melepaskan pekerjaanku walaupun alasan harus menjaga anak kita nantinya." Candra mengatakan itu dengan penekanan kata yang sangat jelas. Pak Joko tahu, maksud anaknya itu baik untjk dirinya. Sebab Pak Joko merasa, jika Candra selalu yakin jika yang mampu membahagiakan beliau adalah dirinya sendiri. "Tapi, Nak. Berarti karena Ayah, kamu sudah mengorbankan kebahagianmu sendiri, Sayang," ujar Pak Joko. "Enggak apa-apa, Yah. Kebahagiaanku hanya Ayah seorang. Selama aku bisa melihat ayab tersneyum dan semua tercukupi, aku sudah bahagia melebihi apapun." Candra tersenyum, lalu merengkuh tubuh ayahnya dengan erat. Pak Joko hanya tersenyum, walaupun dalam hatinya miris dengan kepedulian anaknya. Beliau tahu, jika saat ini kekeh mengeyel, pasti Candra akan menjawab dengan hal yang sama. "Ya sudah, kamu istirahat dulu, ya. Nanti, biar Ayah siapkan makan malamnua," ujar Pak Joko. "Sekarangkan sudah ada asisten rumah tangga, Yah. Aku ingin, Ayah istirahat di masa tuanya. Ayah hanya boleh bahagia untuk saat ini dsn ke depannya. Oke." Candra beranjak dari tempat duduknya. Apa yang menjadi keputusannya tak akan pernah bisa diganggu gugat. *** Hari itu, Candra yang kinerjanya semakin bagus dipanggil Bu Prita. "Bu Candra, dipanggil Ibu Prita ke ruangannya," ujar staff kantor yang lain. "Iya, terima kasih." Candra pun segera beranjak dari tempat dduduknya lalu melangkahkan kaki menuju ruangan Bu Prita. Tok! Tok! "Permisi, Bu." "Iya, silkan masuk!" jawab Bu Prita. Candra pun berangsur masuk dan duduk di kursi depan Bu Prita. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Candra. "Jadi gini, Candra. Saya sengaja memanggilmu ke sini hanya ingin mengucapkan terima kasih ke kamu." Bu Prita menghela napas panjang sehingga membuat Candra takut jika dirinya memiliki kesalahan. "Gara-gara kerja kamu yan the best, membuat perusahaan kita mampu memenangkan tender dari perusahaan itu. Saya ingin, kamu mulai sekarang bekerja sebagai sekertaris pribadi saya saat ini. Kamu wajib mengikuti segala presentasi ke manapun saya pergi, bisa?" "Pasti, bisa, Bu. Saya akan lakukan terbaik untuk Anda dan perusahaan ini," jawab Candra dengan tegas. Candra saat ini menjadi orang kepercayaan Bu Prita. Sejak kehadiran Candra di perusahaan itu, membuat kantornya naik dengan pesat.Bu Prita tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk meraih segalanya dengan bantuan karyawan yang masih tergolong baru di sini. Dengan lulusan terbaik, menjadikan Candra mudah untuk berbicara dan presentasi segala hal yang mencangkup pekerjaannya saat ini. ___ Suatu hari, Bu prita harus menemui client penting dari suatu perusahaan, tentu saja beliau membawa Candra sebagai tangan kanannya. Mereka bertemu di salah satu hotel ternama, yang di mana di sana selalu untuk tempat pertemuan orang-orangbpenting dari perusahaan ternama yang lain. Candra dan Bu Prita memilih untuk menunggu, sebab dia saah satu tamu terpenting. Tak berselang lama orang itu datang dan membuat Candra terkejut. "Boby," ujar Candra. "Loh, Candra." Ternyata Boby pun tak kalah terkejut dengannya. "Kalian saling mengenal?" tanya Bu Prita. "Iya, Bu. Kebetulan kami teman satu kampus dulunya," jawab Candra. "Wah, dunia terlalu sempit, ya." Bu Prita pun tersenyum ke arah mereka berdua. Kemudian, mereka pun secara profesional melakukan tugasnya. Kerja sama yang dilakukan antara dua perusahaan pun disepakati dengan baik. Apalagi, Boby entah kenapa saat melihat Candra yang serius kala menjelaskan pun merasa kagum. Begitu juga dengan Candra, dia sebenarnya tahu, jika Boby suami dari temannya tetapi rasa ingin memilikinya semakin besar saat ini. Boby adalah salah satu pemilik perusahaan ternama dari pemberian keluarga Pak Aska. Perusahaan itu, dipegang dan dikelola oleh Nadin dan Boby. Tetapi, saat Meliht kerepotan Nadin menjaga buah hati, Pak Aska meminta Nadin untuk fokus ke anaknya saja. "Bob," panggil Candra sesaat setelah rapat itu dilakukan, sedangkan Bu Prita sengaja pergi ke mobil. "Iya, Can," jawab Boby sembari menata berkas-berkas yabg telah ia gunakan. "Boleh minta nomor ponselmu, nggak? Setelah ini, kitakan bakal jadi partner dalam kerja sama ini. Siapa tahu, bisa saling membantu atau menguntungkan satu sama lain," ujar Candra. "Oh, bisa. Ini." Boby memberikan kartu nama dia untuk Candra. "Oke, terima kasih, ya. Aku duluan," ujar Candra sembari melambaikan tangan ke arah Boby. Boby hanya tersenyum, sembari kembali membereskan berkas-berkasnya. Dia tak menyangka, bisa bertemu dengan Candra yang saat ini bekerja di salah satu perusahan yang ia incar untuk menjadi partner kerja sama. Boby pun melajukan mobilnya untuk kembali ke kantor, begitu juga dengan Candra. "Candra, kenapa kamu belum menikah? Kamu kan cantik, pintar," tanya Bu Prita. "Nggak apa-apa, Bu. Saya ingin fokus di kerja saya dan merawat Ayahku dengan baik saja," jawab Candra "Padahal Boby ganteng, satu universitas sama kamu. Kenapa dulu kamu nggak dekat sama dia? Kalian sama-sama hebat saat bekerja." Bu Dian memancing Candra untuk kembali memiliki sifat serakah. "Dia sudah punya kekasih telebih dahulu, Bu. Mereka pun menikah setelah kuliahnya selesai." Candra tersenyum ke Bu Prita kala menjawabnya. "Oh, kukira Boby belum menikah. Sayang, ya. Kalau belum menikah, pasti saya berpikiran comblangin kamu ke dia. Kalian sama-sama hebat, loh," ujar Bu Prita. "Dia suami orang, Bu," jawab Candra. "Can, setelah ini kita ngobrol berdua, ya. Saya yakin dengan kamu dan saya ingin menceritakan ke kamu tentang semua yang kumiliki saat ini," pinta Bu Prita. "Baik, Bu." Candra menjawabnya dengan tegas. Sesampainya di kantor, mereka berdua pun segera turun. "Can, kamu simpan dulu berkas itu dengan baik. Kemudian temui saya di ruangan," pinta Bu prita. "Baik, Bu," jawab Candra. Candra pun segera menuju ruangannya. "Woi, gaes. Gimana?" tanya Desinta saat menyambut Candra datang. "Beres, dong. Teman siapa dulu," jawab Candra. Desinta dan Candra ternyata seumuran. Mereka berteman baik setelah Candra masuk kerja di sini. Mereka saling dukung dan bahkan menjadi tempat mencurahkan isi hati satu sama lain. "Weh, hebat kamu. Kenapa sih, terlihat buru-buru? Bukannya nggak ada meeting lagi, kan?" tanya Desinta sembari melibat ke arah jam tangannya. "Nggak ada, tapi Bu Prita mau berbicara denganku. Ya mungkin, bahas kerja sama tadilah," jawab Candra. "Oh, ita juga, ya. God job, geng," ujar Desinta. "Makasih, loh. Bye-bye, ke sana duluan. Takut beliau menunggu lama." Candra pun berangsunr pergi meningglkan Desinta. Dia melangkahkan kaki menuju ruangan Bu Desinta dengan langkah yang pasti. Ketukan sepatunya pun hingga terdengar dengan jelas di telinganya itu. Tok! Tok! "Bu, saya Candra." "Iya, masuk!" perintah Bu Prita. Candra pun segera masuk. Terlihat Bu Prita sedang duduk di sofa ruangannya, sembari membawa bingkai foto dalam pelukannya "Duduk di sini," pinta Bu Prita. "Baik, Bu." Candra segera duduk dengan baik. Bu Prita tampak bersedih melihat fotonya dan satu wanita yang lain. Tampaknya itu foto masa muda mereka berdua. Mereka saling berpelukan dsn tertawa bersama. "Bu, kalau boleh tahu itu masa mudanya, Bu Prita?" tanya Candra tampak penasaran. "Iya, dia Andini dan ini aku. Kami berteman baik sedari kuliah, dia menikah terlebih dahulu dari pada aku. Hingga kejadian itu, yang membuat kami salling berjauhan dengan rasa benci yang melekat dalam hatinya. Memang aku bodoh, demi memiliki semua menghalalkan segala cara. Terkadang, saya juga merasa persahabatan kami lebih indah saat dulu kala," ujar Bu Prita. Candra sebenarnya tak paham dengan inti cerita yang beliau lontarkan. Tetapi mencoba memahami dan kngin menjadi pendengar yang baik untuk atasannya saat ini. "Memangnya, masalah apa, Bu. Kok bisa kalian berdua saling membenci?" tanya Candra. "Bukan kita saling membenci, tetapi dia yang sangat membenciku," jawab Bu Prita. *** Bu Prita dengan Andini dulunya teman satu kampus. Mereka berteman sedari menjadi mahasiswa baru di sana. Mereka teman baik selayaknya sahabat pada umumnya. Hingga suatu hari, Andini memiliki kasih terlebih dahulu. Prita pun merasa iri sebab dia merasa lebih cantik dan tingginya proposional, tetapi malah memilih Andini yang kecil mungil. Apalagi, kekasih Andini itu dari kalangan orang kaya. Hubungan Andini dan Prita tak sedekat dulu, kala kedatangan kekasih Andini Mereka sering menghabiskan waktu berdua, sehingga membuat Andini lupa dengannya. Prita merasa tak trima, dia merasa kehilangan sahabatnya gara-gara satu pria saja. Persahabatan itu harus pupus begitu saja hingga kuliah pun berakhir. Prita yang anaknya orang biasa saja, bersusah payah mencari kerja ke sana- ke sini tetapi kebanyakan dari perusahaan meminta orang yang berpengalaman di bidangnya. Hingga, suatu hari, dia tiba-tiba mendapatkan panggilan kerja di saat dia sudah mulai putus asa. Tempat kerjanya dulu, ya kantor yang dimilikinya sekarang. Kantor ini, adalah milik keluarga kekasih Andini. Dia bernama Tomy, anak pemilik perusahaan ternama. Kabarnya, keluarga ini orang ke enam terkaya di Asia. Prita kagum kala bisa masuk ke kantor ini dengan mudahnya. Dia tentunya bertemu dengan Tomy setiap harinya. "Loh, Tomy. Kamu pemilik perusahaan ini?" tanya Prita kala itu. "Enggak, ini milik keluargaku. Papaku ingin aku ajuga membantu kerja di sini saat selesai kuliah. Aku turuti apa yang menjadi kemauan mereka," jawab Tomy. "Beruntunglah kamu, sebab tak perlu bersusah payah lamar di sini. Eh, udah ditawarin pemiliknya langsung. Kece nggak tuh?" ejek Prita. "Iya, juga, ya. Kamu juga selamat, menjadi bagian dari kami," jawab Boby, saat mereka melangkahkan kaki bareng saat hendak masuk kantor. "Oh iya, Andini ke mana?" tanya Prita, yang memang putus kontak dengan Andini. "Dia memilih untuk lanjutin kuliahnya dari ada bekerja di sini. Dia ingin mengejar cita-citanya katanta. Tak tahulah, ambisi dia terlalu besar hingga saat ini kurang nyaman dengannya," jawab Tomy. "Tapi, kalian masih berhubungan hingga saat ini?" tanya Prita. "Iya, kami masih dalam hubungan sepasang kekasih. Tapi, dia terlalu sibuk dengan kuliahnya, hingga melupakan waktu denganku. Aku ingin bertemu pun susah, padahal saat ini kita tetap satu kota." Tomy menjelaskan itu. Prita hanya menyeringai kala mendengar hubungan mereka hancur. Entah kenapa, hati prita saat itu yang dipenuhi rasa iri malah bahagia di atas kesedihan orang lain. "Kenapa ya si Andini itu. Padahal kerja di sambi kerja kan bisa. Apalagi, kerja sudah di depan mata tak perlu bersusah payah untuk masuk ke sini. Kenapa dia nggak mau, ya?" prira bertanya-tanya. "Nah, misal dia punya pikiran seperti kamu kan enak. Bisa lanjutin kuliah dan membantu kerja kedua orang tuanya. Ya tahu, dia juga dari kalangan kaya, tapi ya nggak selamanya dia bergantung ke orang tuanya kan, ya?" tanya Tomy meminta pendapat ke Prita. "Ya misal aku di posisi Andini, ya aku ambil kedua peluang itulah. Kapan lagi, dapat lanjut S2 dan bisa keeja di perusahaan ternama. Kere nggak tuh," ujar Prita. "Dahlah, kamu aja yang jadi cewekku. Nggak egois dan bisa berpikir ke depan. Nggak selaku aja marah-marah kalau kemauan dia dan apa yang menjadi tujuannya." Tomy terlihat kesal. Tiba-tiba jantung Prita berdegup kencang. Dia tahu, Tomy becanda tetapi dia tak bisa menutupi perasaannya. "Ya kali, aku jadi pelakor dalam hubungan kalian," jawab Prita dengan pipi memerah tersipu malu. "Kami belum menikah, sah-sah saja aku berhubungan ke siapapun. Dia aja dengan keyakinan dan tekad dia, kenapa aku nggak bisa. Sudahlah, kuta kerja yuk. Nanti makan siang dilanjut lagi." Tomy pergi ke ruangnnya begitu juga dengan Prita. Awalnya sebuah candaan itu, dengan berjalannya waktu karena kebersamaan mereka selalu intens, membuat Tomy menumbuhkan rasa sayang dalam hatinya. Andini yang susah dihubungi dan Prita yang selalu ada membuat Tomy merasa bimbang. Hingga suatu hari Tomy mengatakan keinginannya untuk meminang Prita tanpa pacaran terlebih dahulu. Keingin Tomy memiliki Prita pun di dukung oleh keluarga dari Tomy. Mereka selalu kagum dengan kerja keras yang dilakukan Prita di perusahaan ini. Prita pun mengiyakan tanpa memikirkan perasaan pasangan Andini terlebih dahulu. Tomy pun begitu, tanpa memutuskan hubungan dengan Andini dia memilih melamar Prita saat itu. Hingga setengah tahun, acara pernikahan pun tiba. Andini sangat syok kala kekasihnya harus menikah dengan sahabatnya sendiri. Andini datang ke acara itu dengan menangis meraung-raung. Dia menganggap mereka berdua egois dan tak pernah memikirkan perasaannya. "Kalian jahat, kenapa tak memikirkan perasaanku. Terutama kamu, Prita. Kamu tahu, Tomy adalah kekasihku kenapa kamu mengiyakan pinangannya?" raung Andini. "Tomy bilang, kalian sudah putus kontak. Ya aku kira kalian sudah nggak berhubungan. Jadi aku nggak salahkan, meminang orang yang mengaku tak menjadi milik siapapun?" jawab Prita dengan wajah Angkuh. "Tomy, kenapa kaku lakuin ini ke aku? Kamu tshu, aku menempuh pendidikan demi menggapai semua cita-citaku. Kenapa kau mengkhianatiku seperti ini?" tangis tersedu-sedu yang ditunjukan oleh Andini saat ini. "Apa kamu pernah menghubungiku? Apa kamu selalu ada kala aku meminta untuk bertemu? Aku hanya meminta sedikit waktumu, entah dari menghubungiku lewat ponsel atau kita bertemu. Walaupun aku yang datang ke tempatmu. Selama ini selalu aku usahakan datang ke tempatmu, tetapi jawab sibuk yang selaku kamu gunakan untukmu menghindariku. Apa itu namanya sepasang kekasih jika aku yang merasa bertahan sendirian?" cecar Tomy. "Tapi aku sibuk." Andini tetap mencoba mengelaknya. "Ya, kamu sekarang bisa nikmati segala kesibukanmu tanpa aku yang akan mengganggumu. Buang rasa egoismu itu untuk kebahagiaan satu sama lain. Jangan kau pikir aku bahagia dengan keegoisanmu yang susah terkendali. Maaf, aku sudah memilih wanita yang tepat untukku dan silakan pergi!" Tomy mengusirnya dari hadapan mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN