4. Dari Magelang

2383 Kata
Senin. Hari yang identik dengan kesibukan dan kemacetan karena banyak orang yang berlomba-lomba untuk berangkat lebih pagi. Aku mengembuskan napas berat, menatap gedung besar di depanku. “Selamat pagi, Perkedel Kesayangan.” Baru saja aku melepas helm, sapaan Reno sudah membuatku ingin mencakar wajah gantengnya. Sableng begitu, aku tetap mengakui kalau Reno itu ganteng. “Hm.” “Kok cemberut gitu, Sayangku? Biasanya kalau awal bulan semangat banget. Mata ijo dan dahimu seperti tertulis ‘uang uang uang’.” Reno terbahak di ujung kalimatnya. Perasan kain pel satu ini memang sialan! “Diem, lu!” Aku mendengus, lalu pergi meninggalkan Reno yang masih menyisir rambutnya dengan tangan di depan kaca spion motor besarnya. “Tunggu kek, Dell.” Reno berhasil menyamai langkahku dan kami masuk kantor beriringan. Suasana kantor sudah mulai ramai. Memang begini kalau hari senin, rata-rata pegawai datang lebih pagi karena biasanya ada briefing. “Eh, Dell,” “Hm?” “Mulai hari ini, kan, Pak Razan masuk kantor?” "Iya." Aku mengangguk mengiyakan. Alfarazan Syahreza Dwiputra. Laki-laki yang sama sekali tidak ingin aku temui. Tak peduli dia bosku atau bukan, aku berharap kami tidak akan ketemu lagi—meski itu tidak mungkin. Dua malam yang lalu masih tercetak jelas di ingatanku bagaimana dia mengomentari pembalutku. Rasanya aku ingin sekali membawanya ke kutub selatan dan membiarkan dia mati kedinginan di sana. “Della.” Aku menoleh begitu ada seseorang yang memanggilku. “Ya?” Mataku langsung mengerjap dan badanku membeku begitu laki-laki yang ingin aku hindari justru berjalan ke arahku. Pak Razan dengan setelan kerjanya sudah berdiri sekitar tiga meter di depanku. “Kamu meninggalkan sesuatu malam itu.” Katanya santai. Reno langsung menyenggol lenganku seperti minta penjelasan. “Sesuatu apa ya, Pak? Di mana?” tanyaku tak paham. Sebentar, aku yakin malam itu hanya menjatuhkan satu bungkus pembalut dan sudah kurebut lalu kubawa pulang. “Nanti istirahat makan siang ambil di ruangan saya.” Pak Razan pergi meninggalkanku yang diam di tempat sambil memikirkan benda apa yang aku tinggalkan malam itu. Aku menoleh ke arah Reno, dan ternyata anak ini sedang menatapku tajam. “Ini nggak seperti yang kamu bayangkan, Ren. Serius.” Aku tidak tahu kenapa aku harus sibuk-sibuk menjelaskan pada Reno. “Emang apa yang aku bayangkan?” “Ya pokoknya yang ada di otakmu itu salah.” Aku berjalan cepat mendahului Reno agar segera sampai ruangan. “Heh, Perkedel! Jangan main tinggal, dong!” *** Aku berjalan mondar-mandir di depan ruangan Pak Razan. Sebelumnya ruangan ini adalah perpustakaan kecil yang sudah disulap sedemikian rupa. Sebenarnya aku masih bingung dengan posisi Pak Razan di perusahaan ini. Kalau dia memang menggantikan Pak Romi, kenapa aku masih melihat Pak Romi berangkat ngantor tadi pagi? Atau Pak Razan hanya ikut membantu mengelola perusahaan? Ah entahlah, yang jelas, dia tetap atasanku di kantor ini. Oke, kembali ke posisiku saat ini yang masih berdiri mondar-mandir persis seperti setrikaan. Ambil, enggak? Ambil, enggak? Aku tidak merasa meninggalkan apapun malam itu, tapi aku penasaran kenapa Pak Razan bisa mengatakan kalau aku meninggalkan sesuatu? “Kenapa berdiri di situ?” Aku berjengit kaget begitu tiba-tiba Pak Razan sudah berdiri menjulang di belakangku. Loh, orangnya enggak di dalam ternyata? “Masuk,” ujarnya pelan dengan nada bossy. Sebenarnya, aku tidak akan ambil pusing dengan Pak Razan andai kami belum pernah bertemu sebelumnya. Mau dia orangnya baik atau galak, aku tidak peduli. Aku hanya merasa serba canggung setelah kejadian malam itu. “Duduk.” Aku menurut saja apa katanya. Aku menatap ke penjuru ruangan dan cukup kagum dengan desainnya. Patut kuacungi jempol untuk orang yang berhasil merombak perpustakaan jadi ruangan sebagus ini. Pak Razan berjalan ke arahku, lalu meletakkan gantungan bergambar Menara Tokyo di meja yang ada di depanku. “Loh, ini kok ada di Bapak, sih? Pantesan saya cari kemana-mana enggak ada.” “Tersangkut di jaket waktu malam itu kamu nabrak saya di depan Indomaret.” “Ohhh, itu. Makasih, Pak.” Aku meringis, lalu mengambil gantungan itu dan segera memasukannya ke dalam saku blazer. “Sayang banget kalau sampai hilang, ini oleh-oleh dari Jepang.” “Saya tidak butuh informasi itu.” Aku mendengus pelan. Oke, aku tahu dia tidak butuh informasi ini. “Kalau enggak ada keperluan, kamu boleh keluar.” Sialan, aku diusir! “Kalau begitu saya keluar dulu, Pak. Permisi.” Aku berdiri lalu bergegas keluar. “Oh iya,” Aku berhenti sebentar di depan pintu. “Harusnya tadi kalimatnya diralat, Pak. Ini namanya saya tidak meninggalkan sesuatu, tapi kehilangan sesuatu. Saya kira saya sudah meninggalkan—“ “Meninggalkan pembalut?” What the hell! Dia malah bahas benda itu! Aku memilih untuk tak menggubrisnya lagi dan langsung keluar detik itu juga. Namun, baru saja aku berjalan dua langkah dari pintu, tiba-tiba Mas Doni datang dengan napas sedikit ngos-ngosan. “Ada apa, Mas?” tanyaku heran. “Kebetulan Dell, kamu ada di sini. Barusan aku cari kamu kemana-mana. Ayo ikut aku masuk.” Mas Doni semena-mena membawaku masuk ke ruangan Pak Razan, lagi. “Selamat siang, Pak Razan. Saya mohon maaf sebelumnya karena nyelonong masuk. Saya ke sini mau bilang kalau siang ini saya tidak jadi menemani bapak ke Magelang. Baru saja istri telfon kalau ibu saya habis kecelakaan dan sekarang di rumah sakit,” ucap Mas Doni dalam satu tarikan napas. Mas Doni menarik lenganku agar lebih mendekat ke arahnya. “Biar ditemani Della saja ya, Pak, kebetulan Della yang waktu itu ikut mengurus pembangunan gedungnya bareng saya. Iya kan, Dell? Kamu temani Pak Razan ke Magelang, ya?” Aku langsung mendelik lalu menggeleng. Enggak! Enggak bisa. “Dell, Please. Ibukku kecelakaan.” “Ada Juni, mas.” “Juni masih baru dan dia bahkan nggak tau tempat pembangunan gedungnya di mana. Hanya kamu harapanku satu-satunya. Leni, Gani, sama Reno ada urusan lain. Jadwalmu juga yang paling kosong hari ini. Cuma ngecek data yang kemaren, itu deadline-nya masih lama.” “Ehm!” Pak Razan berdehem, dan itu membuat aku dan Mas Doni langsung menoleh ke arahnya. “Sama sekalian saya ke sini mau izin pulang cepat, Pak,” lanjut Mas Doni dengan ekspresi wajah yang terlihat sangat mengkhawatirkan Ibunya. “Kamu boleh pulang, biar saya ke Magelangnya sama Della.” “Baik pak, terimakasih banyak. Sekali lagi saya minta maaf. Permisi.” Mas Doni langsung keluar dari ruangan Pak Razan dan meninggalkanku sendirian. Kini tinggal aku yang masih berdiri seperti orang b**o. Aku menoleh, lalu meringis. “Itu pak, saya-“ “Setengah jam lagi saya tunggu di halaman kantor. Kita berangkat jam satu.” Aku menelan ludah susah payah. Aku tidak bisa apa-apa selain hanya mengangguk pasrah. Kacung bisa apa, sih, selain mengiyakan? Kecuali kalau sudah bosan bekerja dan minta dipecat. Oh no, aku masih butuh bekerja di sini! *** “Duduk depan, saya bukan supir kamu.” Kalimat itu meluncur mulus ketika aku membuka pintu mobil bagian belakang. “Loh, yang nyupir bukannya Pak Supri ya, Pak? Maaf, biasanya Mas Doni sama Pak Supri di depan, saya di belakang,” “Enggak. Pak Supri sedang menemani Ayah pergi ke luar kota sampai besok sore.” “Jadi, ini Pak Razan yang nyetir?” “Atau mau kamu yang nyetir?” tanyanya balik. “Andai saya bisa, Pak.” “Ya makanya. Kamu buruan masuk. Yang depan.” Aku menghela napas panjang, lalu menutup pintu lagi. Jadi ini ceritanya aku mau disupirin Pak Bos, begitu? Ajegileee, kok malah kebalik, sih? “Cepat masuk, Della!” Nada bossy-nya benar-benar membuatku ingin kembali mencakar wajahnya. Tidak tahu kenapa, ya, hari ini bawaannya aku ingin nyakar wajah orang terus. Oh, mungkin ini karena aku sedang datang bulan hari pertama. Biasa kan, orang datang bulan sukanya pengen ngamuk terus? Ngomong-ngomong, sebenarnya aku agak heran dengan Pak Razan. Perasaan, waktu pertama kali aku lihat dia di atap malam itu pembawaannya terlihat santai, tapi kok beberapa hari terakhir ini aku lihat dia jadi kaku kaya robot? “Magelangnya sebelah mana?” tanyanya begitu aku masuk dan memakai sabuk pengaman. “Muntilan, Pak, nanti saya tunjukan jalannya.” Selama perjalanan, kami hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku hanya bersuara untuk menunjukkan arah jalan agar segera sampai tujuan. Begitu kami sampai tujuan, aku hanya mengekor di belakang Pak Razan dan sesekali menjawab pertanyaan yang dia tujukan padaku. Aku juga ikut menerangkan ini dan itu tentang pembangunan gedung, mengingat atasanku ini masih baru yang sepertinya sedang dalam masa percobaan oleh ayahnya sendiri. Ini kalau berdasarkan analisisku sendiri, sih. “Kamu lapar tidak, Dell?” “Hah? Apa pak?” Aku agak tergagap karena barusan asik melamun. “Kamu itu, lapar atau tidak?” “Sebenarnya tadi saya belum sempat makan siang.” Aku menjawab jujur. Gimana mau makan siang? Tadi setelah masuk jam istirahat, aku langsung pergi ke ruangannya. Sudah begitu, setelahnya aku malah ditodong untuk ikut ke Magelang. Mana ada waktu untuk makan? “Kita makan dulu sebelum pulang. Sudah sore.” “Makan di mana, Pak?” “Pengennya di mana?” “Ngikut saja saya mah, yang penting jangan restoran mahal. Sayang uangnya.” Keningku berkerut samar ketika aku mendengar Pak Razan justru tertawa kecil. “Saya yang traktir, santai saja. Mau makan apa?” “Apa saja yang penting ada nasi.” “Ok.” Pak Razan ini orangnya susah sekali ditebak. Terkadang bisa tiba-tiba baik, tiba-tiba datar, dan bisa juga tiba-tiba super menyebalkan. Aku harus bagaimana menghadapi species manusia seperti ini? Kami berhenti di restoran bebakaran yang terletak di pinggir jalan raya Jogja - Magelang. Mataku berbinar ketika pesanan datang dan tanpa menunggu lebih lama, aku langsung melahap makanan di depanku. “Pelan-pelan, Dell, saya enggak akan minta bagian kamu.” Pak Razan langsung berkomentar begitu melihatku sibuk mengunyah bebek goreng yang terasa sangat nikmat di lidah. “La-phar, Phak.” Pak Razan hanya geleng-geleng melihatku. Ya bodo amatlah dia mau menilaiku bagaimana. Kalau lapar, ya lapar saja. Tidak ada kamusnya aku jaim soal makanan. Asal aku tetap menjaga tata krama orang makan. Tidak menimbulkan suara ketika mengunyah, misalnya. Setelah selesai makan, aku berniat menuju wastafel yang ada di sudut ruangan untuk mencuci tangan. Pak Razan sendiri sudah menyelesaikan makannya sejak tadi. Namun, begitu aku berdiri dan balik badan, tiba-tiba Pak Razan memanggilku. “Dell, sebentar. Kamu jangan pergi dulu.” “Ada apa? Saya cuma mau cuci tangan, ” kataku bingung. Aku mundur satu langkah ketika Pak Razan tiba-tiba melepas jasnya dan berjalan ke arahku. “Bapak mau apa, heh?” Aku mundur satu langkah lagi. Aku terkejut bukan main ketika Pak Razan mengalungkan jasnya di pinggangku lalu mengikatnya kuat. Apa? Ini ada apa? “Kamu boleh cuci tangan,” ucapnya pelan, lalu duduk lagi. Aku sendiri masih bingung mencerna maksud dari tindakannya. “Buruan cuci tangan, Dell. Habis itu kita pulang.” Aku patuh dan buru-buru cuci tangan. Aku masih bingung dan belum bisa berpikir jernih. Begitu kembali, Pak Razan sudah lebih dulu mengambil tasku, lalu menarikku keluar. Oh tidak lupa, Pak Razan sempat meletakkan uang seratus ribuan di kasir tanpa menunggu kembalian. “Pak, ini tangan saya lepasin! Kenapa sih, main tarik-tarik begini?” Aku menepis tangan Pak Razan kuat, dan berhasil. “Kaya saya ini anak kecil aja ditarik-tarik.” Aku mengusap lenganku yang terasa agak panas. Pak Razan tidak menggubris kalimatku. Dia membuka pintu mobil untukku lalu memaksaku segera masuk. “Pak-“ “Kita pulang, saya antar kamu sampai depan rumah.” Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa dia mendadak jadi aneh begini, tapi urung. “Rumah kamu daerah mana?” “Jalan mangkubumi, ada belokan ke kanan sebelum indomaret, masuk sana.” “Oke.” Mulutku gatal ingin bertanya ini dan itu, tapi melihat wajah datarnya membuatku mengurungkan niat. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, Pak Razan mengendarai mobil dengan kecepatan lebih tinggi daripada tadi waktu berangkat. Memang, jalan raya Jogja - Magelang sedang lengang. “Oh iya, Pak, motor saya kan masih di kantor.” “Ditinggal satu hari tidak akan hilang. Satpam kantor dua puluh empat jam.” Hening. Ini manusia satu kenapa, sih? Ketika aku menggeser dudukku, mataku mendelik kaget karena ingat kalau jasnya aku duduki. “Pak, jasnya—” “Buat kamu.” “Saya nggak butuh jas Bapak.” Ciiiit! Aku terhuyung ke depan ketika Pak Razan menghentikan mobilnya mendadak. “Pelan-pelan dong, Pak!” jelas aku protes. Hampir saja dahiku kejedot dashboard mobil. “Apa kamu masih belum paham? Perasaan perut kamu sudah diisi dengan satu porsi bebek goreng jumbo, tapi kenapa otak kamu masih lemot buat mikir?” Nah loh, kok malah aku dihina? “Maksudnya, Pak?” Oh tolong, kenapa aku tidak bisa mencerna kalimatnya? “Kamu akan tahu kalau sudah sampai rumah. Nanti setelah belok kanan dari indomaret ke mana lagi?” tanyanya ketika kami sudah sampai di perempatan Tugu Jogja. “Lurus saja, terus nanti ada perempatan, belok kanan lagi. Nanti setelah itu –” Aku sibuk menerangkan arah jalan menuju rumahku. Pak Razan sendiri hanya diam tak berkomentar. “Yang cat biru muda itu rumah saya, Pak.” Pak Razan menghentikan mobilnya tepat di depan rumah, persis di depan gerbang. “Terimakasih banyak, Pak.” Aku membuka pintu, lalu keluar. “Oh iya, jasnya-“ “Saya pulang dulu.” Pak Razan sudah lebih dulu pergi bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Kan, sekarang malah main pergi begitu saja. Apa sih, yang ada di otaknya? “Dasar aneh! Dimana-mana cowok ngelepas jasnya buat dipakein ke badan cewek, ini kok dikalungin di pinggang. Dia mau sok romantis atau gimana, sih? Wagu!” Aku menggerutu sambil membuka pintu gerbang. “Loh Mbak, kok baru pulang?” Dimas berdiri di teras, lengkap dengan tas ransel di punggungnya. “Habis dari Magelang, makannya baru pulang.” “Oooh.” “Mau kemana kamu?” “Ke rumah temen. Biasa, nugas.” “Cih, gegayaan! Bilang aja mau nge-game. Stick PS masih disita sama Ayah, kan? Suka enggak inget waktu, sih!” Dimas hanya mengedikkan bahu sambil mencibir. “Eh mbak, itu kenapa pakai jas di situ? Nutupin tembus gara-gara lagi dapet, ya? Hahahahaha!” Dimas tertawa setan. Anak itu berjalan menuju motornya, lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Saat itu juga, mataku langsung mendelik. Setelah suara motor Dimas tak terdengar lagi, aku buru-buru melepas jas dan memutar rokku. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati bercak merah yang cukup besar m*****i rokku yang berwarna mocca. Oh My God! Dimas benar. Sebentar, jadi tadi Pak Razan— Astaga! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN