Kepergian Henry terasa seperti mimpi, tidak nyata. Kadang aku merasa di masih ada di sini, bersamaku, di Kota Nefrau. Siapa sangka bahwa ketiadaan seseorang bisa berdampak besar dalam hidup. Selama ini aku merasa tidak akan merasa kehilangan bila rekan kerja atau teman sekelas pindah domisi. Biasa saja. Namun, ketiadaan Henry membuatku sadar bahwa selama ini aku telah memasukkannya ke dalam lingkup hidup milikku. Dia telah menjadi bagian dalam hidup baruku. Betapa wajar memikirkan Henry sebagai suatu kebiasaan. Namun, begitu terpisah, aku merasa benar-benar kehilangan.
Henry selalu menolong tanpa diminta oleh siapa pun. Bersikap baik kepada siapa pun. Benar-benar pribadi menyenangkan. Dia membantuku beradaptasi di Nefrau, menemaniku cek kehamilan di klinik, dan bersedia mengajari Dante. Bisa saja dia memilih menghabiskan waktu bersama gadis-gadis yang menaruh hati kepadanya, tetapi tidak melakukannya. Dia bahkan tidak mengambil untung dari perhatian para gadis. Tidak seperti lelaki hidung belang, Henry tidak memanfaatkan situasi atas cinta yang dicurahkan para gadis.
Aku teringat hari-hari bersama Henry. Ketika dia menjenguk di klinik, mengamati Dante yang tertidur di ranjang, kemudian tersenyum. Lalu hari ketika dia menemaniku, mengajari Dante membaca dan menulis, serta mengajari Dante bermacam hal terkait sejarah.
Terkait mengajari Dante, aku ada beberapa pertanyaan. Semisal mengenai betapa mahir Henry memahami sistem pemerintahan, menjelaskan secara terperinci tugas raja hingga kepala daerah, dan membantu Dante memahami pembagian wilayah kekuasaan empat duke; Axton, Ayberk, Matisse, dan Ornella.
Hal semacam ini, mengenai pengetahuan Henry, membuatku semakin curiga. Namun, sekalipun curiga aku takkan mempertanyakan identitasnya. Sama seperti diriku yang menyembunyikan masa lalu Camila, Henry pun pasti merahasiakan sesuatu. Pun yang terpenting ialah sikap Henry. Dia baik. Itu saja.
Kadang aku mempertanyakan perasaanku. Apakah aku menyukai Henry? Amat menyukainya? Anna dan Mrs. Mary boleh saja meyakinkanku bahwa Henry memang memiliki rasa terhadapku. Namun, kalaupun ada yang Henry sukai dariku, pasti itu karena rasa belas kasih.
Aku tidak berani berharap banyak. Terlalu berekspektasi itu bisa membuatku sakit hati. Tidak terhitung berapa kali aku ingin dianggap spesial oleh seseorang, lantas ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan. Rasanya tidak segurih santan dan benar-benar pedih. Kenalanku bilang, “Rasa sakit bertepuk sebelah tangan tidak lebih menyakitkan daripada pengkhianatan.” Bagiku SAMA SAJA. Baik bertepuk sebelah tangan maupun pengkhianatan alias selingkuh; keduanya sama-sama menyakitkan dan tidak baik membandingkan rasa sakit antara satu orang dan yang lain.
Bagaimana bisa seseorang menyamakan kadar penderitaan sementara variabel pengikut dan alat ukurnya pun beda?
Barangkali aku benar-benar menyukai Henry. Sialnya, barulah ketika dia hilang aku baru menyadarinya.
Henry, semoga aku bisa bertemu denganmu lagi. Walau aku tak yakin kau senang bertemu denganku.
***
Bukan hanya aku saja yang merindukan Henry, melainkan Dante pun bertanya, “Paman Henry pergi ke mana?” Aku hanya menjawab, ke suatu tempat yang hanya dia saja yang tahu. Lalu, Dante akan mencetuskan ide dahsyat semisal:
“Paman Henry pergi ke negeri peri.”
“Pasti Paman Henry memburu jembalang.”
“Barangkali Paman Henry menggantikan penguasa peri sebagai pemimpin.”
“Paman Henry menumpas perompak!”
“Paman Henry pergi berlayar bersama bajak laut.”
Ketika Dante mulai berimajinasi, bahkan lebih liar dari milikku, maka aku akan membiarkan. Tidak baik menertawakan imajinasi anak kecil. Orang dewasa tidak paham betapa indah dan suci impian awal milik anak kecil. Sebagian orang dewasa, yang terlalu lama terpapar paham materialisme, dengan kejam memaparkan keduniawian dan memaksa anak-anak menjadi dewasa. Aku ingin membiarkan Dante memelihara taman impian dan tumbuh sebagai pribadi yang ia harapkan.
Oleh karena Dante terlalu senang dengan pengharapan perihal Henry sebagai pahlawan. Maka, suatu hari aku memutuskan mengajak Dante jalan-jalan. Kami mulai pergi mengunjungi kafe khusus anak-anak yang mulai populer di Nefrau. Pelayan mengenakan kostum peri dan kesatria, balon dan boneka diberikan kepada anak-anak, dan yang paling mengagumkan ialah desain kafe; dinding bercat nuansa pastel dilukis tokoh-tokoh lucu karakter binatang dan peri bersayap, langit-langit dilukis menyerupai angkasa biru dengan matahari di pusatnya, dan kursi serta meja pun dipilih sesuai dengan tema anak-anak.
Menu makanan pun bervariasi. Pasta, omelet yang dihiasi wajah lucu, dan kue-kue imut. Dante langsung memesan kue cokelat berbentuk kelinci dan menandaskannya. Lalu, ketika aku mengajaknya ke toko mainan, Dante tidak tertarik. “Lebih baik Ibu memberiku buku,” katanya.
“Ibu pasti akan membelikanmu,” kataku menjanjikan, “nanti.”
Dante benar-benar tidak bisa dibujuk olehku. Padahal selama bersama Henry dia tidak keberatan masuk ke toko mainan. Lantas, aku pun pergi ke butik khusus anak-anak. Terima kasih kepada Mr. Brooks. Berkat dia aku bisa memanjakan Dante dengan limpahan sayang.
Berbeda dengan toko mainan, Dante tidak keberatan masuk ke butik. Aku memesan satu setel pakaian dan satu topi berbentuk kepala serigala kelabu. Tanpa ragu aku langsung memasangkannya kepada Dante.
Pelayan butik mulai menyentuh pipi dan berteriak, “Kyaaaa!”
Kya. Kya lucu. Persis seperti orang kena pelet.
Aku bisa bayangkan ada panah cinta yang menusuk hati para pelayan ketika melihat Dante mengenakan topi serigala.
“Ibu, ayo pulang.”
Dante melingkarkan lengan di leherku dan aku pun mendekapnya dalam gendonganku. Langit telah berubah warna menjadi oranye ketika kami keluar dari butik. Jalanan mulai lengang. Hanya ada beberapa orang berjalan di trotoar, menikmati sore dengan berjalan-jalan. (Mungkin.)
“Ibu, apa Paman Henry akan pulang?”
Aku tidak yakin harus menjawab iya atau tidak. Lagi pula, aku tidak yakin Henry akan ingat kepadaku. Meskipun hati kecilku berharap dia akan SELALU mengingatku.
Dante mulai bercerita mengenai teman mainnya dan hadiah dari ayah temannya. Setiap kali Dante menyinggung topik ayah, maka jantungku seolah akan melompat keluar dari persemayamannya. Mengerikan!
Setelah melewati pertokoan pakaian dan kedai kopi, aku berhenti ketika mendengar isak tangis.
Bukan isak tangis, melainkan sekadar suara sesengukan. Aku menengok, mencoba mencari sumber suara, dan menemukan seorang bocah duduk bersimpuh di gang. Orang bisa salah kira bocah itu anggota pencopet bila saja tidak melihat pakaian yang ia kenakan; mantel hitam, kemeja kelabu, celana panjang, dan sepasang sepatu kulit. Ketika aku dekati, bros mewah tampak mengilat ketika terkena sinar lampu yang terpasang pada salah satu jendela.
“Apa kau tersesat?”
Bocah itu tersentak. Dia terburu-buru mengusap air mata dan ingus, lalu mendongak, menatapku.
Aku tidak bisa memastikan warna rambutnya karena dia mengenakan topi.
Sesaat dia, bocah itu, menatapku lalu menatap Dante yang kini menampilkan ekspresi masam, kemudian kembali kepadaku.
“Apa kau ingat alamatmu?”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia justru menggigit bibir dan seolah akan kembali menangis.
Bisa saja aku lari dan mengabaikannya, tetapi itu TIDAK BENAR!
“Ibu, dia lebih cengeng daripada Sammy.”
Lantas tangis pun terhenti ketika dia mendengar komentar Dante.
“Apa kau mau aku antar?”
“Aku tidak mau pulang!”
Suaranya menggelegar.
Aku terdiam sesaat, kehabisan kata-kata.
“Aku tidak mau menemui Ayah!”
Lagi-lagi dia menolak.
Karena aku takut bocah cilik ini diculik anggota geng jalanan dan berakhir menjadi salah satu hamba kejahatan, maka aku membujuknya mengikutiku. Setelah berhasil terbujuk, aku membawanya menuju pos jaga.
Penjaga pos, lelaki berseragam biru, tengah duduk dan membaca koran. Aku mengetuk pintu, kemudian masuk. Belum sempat aku mengutarakan permintaan tolong kepada si penjaga, bocah lelaki yang hendak aku tolong justru berteriak, “Ibuuuuu, jangan buang aku!”
Sontak aku dan si penjaga saling pandang. Dia, si penjaga, menganga sementara aku terlalu terkejut untuk merespons.
“Ibu, aku janji tidak akan mengganggumu.” Bocah itu memeluk kakiku, sama sekali tidak malu mempertontonkan air mata buaya; palsu, palsu, PALSU!
Dante makin mempererat pelukannya di leherku. Barangkali dia sedang merencanakan menendang seseorang karena wajahnya asamnya minta ampun. “Sejak kapan kau jadi anak ibuku?”
“Adik, apa kau marah karena aku memakan pudingmu?”
“Kau bukan kakakku!”
Wajahku pasti sekarang semerah daging buah semangka. Setelah berdeham, mencoba mengumpulkan kepingan kepercayaan diri, aku menatap si penjaga yang sekarang tengah memelototiku. “Saya ingin melaporkan anak hilang.”
Kedua alis si penjaga bertaut, sama sekali tidak percaya denganku.
“Ibuuuuu!”
“Jangan peluk ibuku!” Dante meraung, kini menangis.
Bagus. Sekarang ada dua anak kecil yang menangis.
Aku mencoba menenangkan Dante, dibantu si penjaga pos yang batal membaca koran yang kini menenangkan si bocah asing.
Pada akhirnya si penjaga menyarankanku membawa si bocah hilang dan memintaku meninggalkan alamatku bila ada keluarga yang mencari anak ini.
“Pos jaga bukan tempat menyenangkan bagi anak-anak.”
Begitu kata si penjaga yang aku curigai ingin lepas tangan.
Dante kini tidur dalam gendonganku, lelah menangis, dan aku meminta bocah itu menggenggam rokku selama perjalanan pulang. Telanjur basah. Maka aku tidak mungkin mengelak dari tanggung jawab.
Sesampainya di rumah, bocah itu berdiri termangu di ruang tamu. Sibuk memperhatikan rak buku dan ternganga begitu melihat sejumlah koleksi yang dimiliki olehku.
“Ada ilustrasi Naga Penyendiri!”
Meski dia memuji karyaku, aku takkan luluh karena dia membuat Dante tersayangku sedih!
Ketika Dante bangun, dia tersenyum kepadaku, lalu berubah muram ketika melihat si pendatang.
“Ibu, kenapa dia ada di sini?”
Aku mendudukkan Dante di kursi. Selama sesaat aku ingin berguling-guling sembari ber-kyaaaaa saja karena melihat ekspresi imut Dante. Dia benar-benar mirip peri! Keputusan membeli topi memang tidak salah!
“Karena tidak baik mengabaikan orang yang butuh pertolongan,” kataku menjelaskan sembari meletakkan tas belanja di lantai. “Paman Henry pasti akan menolong dia.”
Dante cemberut menyaksikan si tamu yang kini membaca buku, sama sekali tidak peduli denganku dan Dante.
“Ibu, kau hanya ibuku!”
Aku memeluk Dante, membelai kepalanya yang tertutup topi, dan menahan diri tidak berteriak, “Kyaaaaaa!”