Crisis - 06

4545 Kata
Malaikat? Apa yang kalian bayangkan setelah membaca nama itu? Tentu saja, seorang pria atau wanita yang memiliki bundaran kuning di atas kepalanya, sayap putih yang besar dan cahaya berkilauan di tubuhnya. Benar begitu? Ya, rata-rata, setiap orang pasti membayangkan malaikat dengan rupa demikian, tapi bagaimana jika semua itu salah? Maksudnya, malaikat yang kita kenal sebenarnya bukan seperti itu, melainkan sama seperti manusia-manusia lainnya, memakai pakaian bebas, memiliki selera dan berbaur di bumi bersama kita? Yup! Itu semua benar adanya. *** "Hah?" Suara kekagetan dari seorang bocah laki-laki membuat seisi ruang kelas bergema, membuat seluruh mata memandang ke arahnya. "Maksud Bapak, besok giliranku?" "Ya, tentu saja, besok kau yang akan bertugas, Raiga." balas pria tua yang sedang berdiri di depan kelas, menyunggingkan senyumannya yang tertutupi kumis hitam. "Ada apa, sepertinya kau kelihatan gelisah, Raiga?" Raiga yang duduk di bangku paling belakang hanya menunduk malu mendengar respon dari gurunya. "Ti-tidak, aku hanya tidak percaya kalau malaikat sepertiku terpilih untuk mengemban tugas berat seperti itu, aku benar-benar tidak percaya." Bisikan-bisikan dari teman sekelasnya membuat Raiga semakin malu untuk menegakkan kepalanya. Raiga yang memakai jaket hitam bertudung terus menundukkan kepalanya, membuat wajahnya semakin tidak terlihat. "Kau boleh pulang, Raiga." Raiga langsung menatap wajah Pak Guru saat mendengar perkataan tersebut. "Hah?" Raiga berkedip dua kali. "Pulang?" Pria tua yang memiliki nickname Bravo di d**a sebelah kanan menganggukkan kepalanya pada Raiga. "Ya, karena besok kau pergi, sekarang kau boleh pulang untuk bersiap-siap dan pamit pada keluargamu." ucap Pak Bravo dengan senyuman tipis. Jujur saja, Raiga sangat-sangat senang Pak Bravo menyuruhnya untuk pulang di awal kelas, ini benar-benar membuatnya bahagia. Raiga senyam-senyum, teman-teman sekelasnya langsung memandang ke arahnya dengan tatapan iri, lalu dia menggendong tas besar berwarna hitamnya lalu berdiri tegak. "Terima kasih, Pak Bravo, kalau begitu, saya pulang." Saat Raiga melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, seorang teman laki-lakinya yang duduk di bangku paling depan tiba-tiba menggebrakkan mejanya dan berdiri menghalanginya. Raiga kaget, dia tidak mengerti mengapa orang ini tiba-tiba menghalang-halanginya dalam berjalan. "Apa kau punya masalah denganku, Melio?" Raiga menatap Melio, lelaki berambut kuning bertubuh pendek yang kini sedang menghalang-halanginya hanya bisa mengembungkan pipinya. "Ke-Kenapa kau sesantai itu, Raiga?" Melio mengembungkan pipinya semakin besar. Raiga menaikan sebelah alisnya, kurang mengerti pada ucapan teman anak manjanya itu. "Lalu, apa masalahmu jika aku bersikap santai, Melio?" Semua orang yang ada di dalam kelas langsung hening, agar suara kecil dari Melio terdengar jelas. "Kau tidak mampu," kata Melio, menggigit bibirnya, tangan kanannya gemetar. "Kau tidak akan mampu melaksanakan tugas itu, Raiga!" "Hah?" Raiga menyeringai. "Jadi maksudmu, kau meremehkanku, Melio?" Raiga sengaja memasang eskpresi jahat, maju selangkah, membuat d**a mereka saling bersentuhan. Melio mundur selangkah. "Apa kau tahu, kau bukan seorang malaikat jenius di kelas ini, tapi mengapa hanya kau yang terpilih untuk misi itu!? Kenapa bukan aku! Kenapa bukan aku!?" Raiga mengernyitkan dahinya, jujur saja, dia kurang peduli terhadal hal itu. "Aku memang bukan malaikat jenius sepertimu, Melio," ucap Raiga menarik napas panjang. "Lalu kenapa? Jika kau keberatan, kau boleh mempertanyakan hal itu pada Pak Bravo yang ada di depan kita, atau ke pihak sekolah di kantor, lagi pula, aku tidak punya waktu melayani bocah manja dan irian sepertimu, Melio." Setelah mengatakan hal itu, Raiga berjalan melewati Melio dengan menubrukkan bahunya pada bahu Melio, kemudian dia membungkuk hormat pada Pak Bravo dan teman sekelasnya yang lain sampai akhirnya dia keluar kelas, meninggalkan raut muka Melio yang masih melongo tidak percaya. *** "Hahaha!" Di dalam kamarnya, Raiga bermain dengan kucing peliharaannya di atas kasur miliknya, dia terus menggelitik badan hewan berbulu itu hingga menggeliat tidak karuan, membuatnya tertawa karena melihat tingkah dari peliharaannya itu. "Kau lucu sekali! Hahah!" "Raiga?" Sebuah kepala dari wanita paruh baya mendadak muncul di pintu kamar Raiga, perempuan itu berambut putih. "Bisa ke dapur sebentar?" Raiga menghentikkan aktivitas kecilnya bersama kucingnya dan langsung beranjak dari kasur menuju dapur. "Ada apa, Mama?" tanya Raiga setelah dirinya sampai di ruangan dapur yang beraroma amis. "Mama dapat surat ini dari sekolah," ucap Mamanya Raiga yang bertubuh gemuk seperti kudanil. "Kenapa kau tidak bilang padaku? Aku ini kan mamamu, Raiga?" "Bukankah itu surat pemberitahuanku mendapatkan misi dari sekolah? Kalau begitu bagus, aku jadi tidak perlu bilang lagi pada mama, karena Mama sudah mengetahuinya." Plak! Tiba-tiba, Mama menampar Raiga hingga kepalanya terempas ke samping. "Kau pikir Mama akan menyetujuinya, Raiga?" Entah mengapa, atmosfir ruangan dapur langsung menegang, membuat Raiga terkejut. Sebuah tamparan keras dari Mama cukup membuat Raiga sadar bahwa bukan hanya Melio yang keberatan, tapi Mama juga. Kenapa? "Mama?" Raiga kembali menatap Mama dengan wajah bingung. "Apa ini? Kenapa Mama tidak setuju aku mendapatkan tugas dari sekolah untuk turun ke Bumi?" Mendengar ucapan dari anak semata wayangnya benar-benar membuat wanita gemuk itu langsung menitikkan air mata. "Ayahmu! Kakekmu! Pamanmu! Semua malaikat yang turun ke Bumi pasti tidak akan pernah kembali! Sadarlah! Raiga! Mama tidak ingin lagi! Tidak ingin kehilangan seseorang yang mama sayangi di Surga ini! Mama tidak ingin kau juga pergi dari rumah seperti Ayahmu itu!" Raiga tahu persisi kejadian seperti ini pasti akan terjadi, karena itulah, dia sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari untuk menghadapi mama. Raiga langsung tersenyum, rambut peraknya yang terlihat sedikit di kepalanya bersinar, tudung jaket hitamnya juga mendadak berkilauan. "Aku berbeda," Raiga menyentuh pundak kanan mama. "Aku pasti pulang." Kemudian, dia langsung meninggalkan mamanya yang menangis sendirian di dapur. Maaf, Mama. *** Keesokan harinya, Raiga memasukkan semua perlengkapannya ke dalam koper besarnya, dia juga pamit pada kucing peliharaannya yang berbulu abu-abu. "Aku berangkat, Chogo! Haha!" Dia mengusap-usap kepala kucingnya dengan lembut. Saat Raiga keluar dari kamar, dia mendapatkan mamanya sedang berdiri di meja makan, tersenyum manis padanya. "Mama?" Mama menganggukkan kepalanya. "Kemarilah," Raiga berjalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. "Ada apa, Ma?" "Ambillah," Mama memberikan sebuah kristal biru yang di dalamnya terdapat cahaya putih kecil seperti telur. "Aku tidak membutuhkan kristal ini dalam perjalananku, Ma." "Kau membutuhkannya, Raiga." Respon cepat dari mamanya membuatnya tersentak. "Kenapa aku membutuhkannya?" "Pokoknya, kau akan terkejut setelah tahu kegunaannya, Raiga," kata Mamanya. "Kalau begitu, pergilah, dan jangan lupa, tepati janjimu itu, Raiga." Raiga mengangguk dan tersenyum. "Aku berangkat!" Setelah berpamitan dengan mamanya, Raiga pergi ke stasiun kereta awan menuju Bumi. Dia menunggu kedatangan kereta di kursi tunggu setelah membeli tiket, dia duduk bersebelahan dengan seorang gadis berambut biru panjang, berjaket merah berbulu. Karena lapar, Raiga membuka kopernya, mengeluarkan sekantung keripik kentang untuk camilannya. Ketika dia memakan keripiknya itu, sang gadis yang ada di sebelahnya tiba-tiba menoleh padanya. Sontak, Raiga kaget, soalnya tatapan yang dipasang oleh gadis berjaket merah dan berambut biru itu seperti orang yang sedang tidak mau diganggu, mungkin saja suara krispi dari keripik itu mengganggu pendengaran gadis tersebut, pikir Raiga. Daripada diam saja, Raiga bertanya pada gadis yang masih menatap matanya itu dalam keheningan. "Apa kau merasa terganggu?" Bola mata merah dari gadis tersebut langsung membesar setelah mendengar pertanyaan dari Raiga, sungguh, pikirannya tiba-tiba berkecamuk, dia takut kehadirannya benar-benar mengganggu gadis asing itu. "Tidak," Suara lembut itu berasal dari bibir tipis gadis di sebelah Raiga, namun, sekarang kepala sang gadis berpaling darinya. "Aku hanya sedang ... lapar." Sedetik kemudian, Raiga tersenyum, ternyata alasan mengapa gadis itu memandang dirinya adalah dia ingin merasakan keripik kentang yang dikunyah Raiga untuk menutupi rasa laparnya. Astaga, rupanya alasan yang gadis berambut biru bilang padanya benar-benar membuat Raiga ingin tertawa. "Kau lapar?" Raiga menyodorkan keripik kentangnya kepada gadis berjaket merah di sebelahnya itu. "Ini enak lho." Sang gadis dengan malu-malu mengambil keripik kentang yang ada di tangan Raiga lalu melahapnya secara lembut. "Kau benar, ini sangat enak, terima kasih," kata gadis itu dengan sopan. "Aku ingin berkenalan denganmu." Mendengar hal itu langsung membuat Raiga membelalakkan matanya. Dia tidak percaya ada seorang gadis yang ingin mengajaknya berkenalan duluan. "Hah?" Raiga tersenyum kecut. "Kau tadi bilang apa?" "Aku ingin berkenalan denganmu, bolehkah?" Alangkah kagetnya Raiga mendengar pertanyaan itu. "Te-tentu saja," ucap Raiga gelagapan. "Namaku Kuruga Raiga Bolton, panggil saja aku Raiga!" Gadis itu mengangguk. "Raiga?" Kata gadis itu dengan senyum malu-malu. "Nama yang keren. Kalau namaku, Zelila Yuna Birikawa, kau boleh memanggilku Yuna." Raiga tersenyum. "Baiklah, Yuna, kita sekarang berteman." Kedua pipi Yuna memerah mendengarnya. Tut~ Tut~ Tut~ Suara kedatangan kereta yang ditunggu Raiga akhirnya datang juga, pria berjaket hitam itu langsung berdiri. "Yuna, keretaku sudah tiba, aku pamit ya!" Namun, Yuna juga ikut berdiri. "Rupanya kita menunggu kereta yang sama ya, Raiga." Mendengar hal itu, Raiga terkejut. "Jadi kau juga menunggu kereta ini?" Yuna mengangguk sebagai jawaban. Dan kemudian, mereka berdua memasuki kereta bersama, dan duduk di ruangan yang sama di dalam kereta. "Ahaha! Aku tidak mengira kalau kita akan ke tempat yang sama, aku pikir kau berbeda tujuan denganku." Raiga terkekeh-kekeh mengingat kejadian satu jam yang lalu, Yuna hanya tersenyum tipis menanggapinya. Ceklek! Seorang pria seumuran Raiga tiba-tiba masuk ke ruangan mereka tanpa permisi, duduk di hadapan Raiga dan Yuna dengan wajah sombong. "Apa?" ucap pria berambut merah itu dengan pedas. "Kalian tidak suka dengan kehadiranku?" "Bukan begitu," Raiga menjawab. "Kami hanya terkejut kau datang tanpa permisi pada kami, apa kau pernah belajar sopan santun? Tata krama? Etika?" Terdengar menyinggung, lelaki berambut merah itu langsung berdiri, menantang Raiga. "Kau mau berkelahi, rambut perak?" Raiga tersenyum. "Kita di dalam kereta," balas Raiga. "Setidaknya jangan lakukan hal konyol di sini." "Kau takut padaku?" Pemuda itu masih ingin menggoda Raiga. "Hentikan!" Yuna pun ikut berdiri, menengahi perseteruan antara dua lelaki ini yang kian memanas. "Kalian berdua, duduklah, kita bisa bahas hal ini dengan tenang." Lelaki itu nyengir mendengarnya, Raiga menuruti kemauan Yuna dengan duduk damai di kursi. "Oh, sebagai sopan santunku, aku ingin memperkenalkan diri, namaku Zapar, ingat itu ya?" Dan dengan sombongnya, Zapar keluar dari ruangan Raiga dan Yuna tanpa permisi. Yuna menatap pintu yang telah di lewati oleh Zapar. "Pria yang sangat aneh," kemudian dia kembali duduk, mengusap punggung Raiga. "Kau tidak perlu meladeninya, dia tipe orang yang kubenci, Raiga." Raiga menutupi kekesalannya dengan tersenyum lembut pada Yuna. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja." Yuna meletakkan keripik kentang yang dipegangnya ke meja. "Raiga, kau berasal dari mana?" tanya Yuna, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku berasal dari Tuvu," balas Raiga. "Kau sendiri?" Yuna mengusap rambut birunya. "Aku dari Liyka," ucap Yuna dengan menundukkan kepalanya. "Ya, kau pasti sudah tahu kan tentang Liyka?" Raiga mengangguk. "Aku dengar, Liyka sedang mengalami krisis ekonomi ya? Banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar di sana, dan jumlah penduduknya semakin banyak, sehingga tidak mampu untuk menampung kehidupan yang layak. Tapi, aku mengatakan hal itu bukan untuk meledekmu atau semacamnya kok, aku bukan orang yang seperti itu." Mendengar penjelasan dari Raiga membuat Yuna terkikik geli. "Hihihi! Kau ini ada-ada saja, Raiga," Yuna menahan tawanya. "Mana mungkin aku marah hanya karena kau menjelaskan kenyataan tentang desaku? Itu sesuatu yang wajar kok, aku menghargainya." Raiga menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, tersenyum bodoh pada Yuna. "Yah, aku pikir, kau orang yang sensitif, Yuna." Yuna menggelengkan kepalanya. "Tenang saja, aku sudah terbiasa kok." *** Dalam perjalanan menuju Bumi, kereta awan ini akan melaju selama 15 jam, melewati ketujuh langit dengan kecepatan cahaya. Sebenarnya, para malaikat bisa saja turun ke Bumi menggunakan sayapnya masing-masing, namun, karena keamanan yang sangat ketat dan peraturan-peraturan lainnya, mereka tidak diperbolehkan memakai sayapnya untuk pergi ke Bumi. Setiap malaikat yang hidup, pasti memiliki dua buah sayap angsa di punggungnya, namun, sayap itu tidak akan terlihat jika mereka tidak mengaktifkannya, karena itulah, semua malaikat kelihatan seperti manusia biasa setelah menonaktifkan penggunaan sayap. Termasuk Raiga, apalagi, sayap yang dia punya hanya satu, dan itu artinya dia adalah seorang malaikat gagal, makanya bocah itu tidak pernah mau mengaktifkan sayapnya karena dia malu. Kereta ini terus bergerak, dari dalam ruangan, Raiga melamun memandang ke luar jendela, melihat pepohonan yang terlewati dengan kencang, sementara Yuna sedang tertidur pulas di sofa. "Permisi," Seseorang mengetuk pintu ruangan, Raiga langsung sadar dan menjawab. "Siapa?" "Teman baru kalian, Zapar." ucap lelaki tersebut di luar pintu, ternyata benar, jika ditelisik lebih dalam, suara itu milik pria yang pernah masuk ke dalam ruangan ini dengan gaya yang sombong. "Apa kau keberatan jika aku masuk sebentar?" Raiga belum mau menjawab, dia menimbang-nimbang terlebih dahulu. Apa orang itu akan membuat masalah lagi dengannya? Tapi, Zapar sudah berbeda, caranya untuk masuk ke tempat Raiga saja sudah agak sopan, tapi untuk apa dia kembali? Merepotkan saja. "Masuklah." jawab Raiga dengan nada yang datar. "Oh, terima kasih, kawan," Tubuh Zapar yang tinggi dan besar mulai masuk ke dalam ruangan Raiga, rambut merahnya bersinar, muka galak dan sombongnya terpahat di wajahnya. "Selamat siang, kawan." Zapar duduk di bangku, berhadapan dengan Raiga dan Yuna yang tengah terlelap. "Kenapa kau kembali?" Mendengar itu, Zapar tersenyum. "Aku ingin tahu namamu," Raiga mengernyitkan alis. "Kuruga Raiga Bolton," kata Raiga. "Itu namaku." Zapar terbelalak mendengar nama Raiga. "Kuruga Raiga Bolton?" ulang Zapar dengan ekspresi kaget. "Kenapa nama kita sama?" "Hah?" Raiga mulai kesal. "Sama? Apa maksudmu?" "Maksudku, namaku adalah Kuruga Zapar Bolton, kita memiliki nama keluarga yang sama, kawan!" Zapar mulai terdengar resah. "Kuruga Bolton! Itu adalah nama keluargaku, kawan?" "Nama keluargamu?" Raiga menatap kaca jendela. "Kau sedang bergurau ya?" "Aku serius, kawan!" Zapar mencengkram celananya. "Apakah nama ibumu sama dengan namamu?" "Tentu saja, bodoh." balas Raiga. "Nama ibuku adalah Kuruga Felis Bolton, dan untuk apa kau mempermasalahkan itu?" "Hey! Bisa saja kita ini saudara jauh, iya kan?" Zapar menyeringai. "Dan itu sangat bagus, kawan!" Raiga bersiaga, karena saat ini, Zapar terlihat ingin menyerangnya, dia harus menghentikannya, apalagi ada gadis yang sedang tertidur, dia tidak boleh membangunkannya. "Kau kelihatan gelisah, ada apa, kawan?" Zapar kembali santai, dia menyilangkan kakinya. "Tenang saja, aku sudah menjadi temanmu, kita bukan musuh." Memang benar, tapi tingkahmu mengatakan kalau kita masih belum berteman, bodoh. Raiga sangat tidak nyaman dengan kehadiran Zapar di hadapannya. "Zapar," Raiga sudah muak. "Kemana kau akan pergi?" "Aku akan pergi ke Neraka." "Hah?" Raiga kaget. "Ke Neraka?" "Hah?" Suara Raiga menggema, membuat kedua mata Yuna sedikit terbuka. "Neraka?" Zapar tersenyum sombong, dia berlagak seolah-olah dirinya adalah orang yang hebat. Padahal, Raiga sendiri saat ini sedang menganggap bocah itu aneh, bodoh dan d***u. Neraka? "Apa kau bercanda?" Raiga mengangkat kedua alisnya kaget. "Kau tidak berpikir Neraka itu tempat yang bagus kan?" Zapar menggelengkan kepalanya, menenggelamkan punggungnya di punggung kursi. "Hey, Raiga, kenapa mukamu jadi terkejut begitu?" Zapar menyunggingkan senyuman kecil. "Tenanglah, aku hanya bercanda, kawan." Bercanda dia bilang? "Konyol sekali," Raiga menepuk dahinya dengan jengkel. "Kenapa aku bisa-bisanya tertipu oleh kebohonganmu?" Mendengarnya, Zapar tertawa. Baru kali ini, Raiga ditipu oleh orang asing, biasanya dia yang duluan menipu orang. Tapi, ya sudahlah, mungkin saat ini keberuntungannya sedang direnggut oleh malaikat lain. Zapar contohnya. "Astaga! Untuk apa kau kembali ke sini, pria aneh!" Tiba-tiba Yuna bangun dan berdiri tegak dengan mata yang melotot pada Zapar. "Kau masih belum puas meledek Raiga?" Zapar ikut berdiri, namun dia tersenyum pada Yuna dan mencoba untuk berjabat tangan dengan gadis berambut biru tersebut. Sayangnya, Plak! Tangan Zapar langsung ditepis oleh Yuna. "Jangan ganggu kami," Yuna menatap tajam mata Zapar. "Kumohon, pergilah dari sini." Raiga hanya bisa menonton dengan santai, dia tidak peduli nasib Zapar yang sedang diusir oleh Yuna, yah, begitulah sifatnya. "Yuna," Ketika Yuna dan Zapar masih sedang berdebat, Raiga memotong pembicaraan mereka. "Zapar itu teman kita." Yuna terbelalak mendengarnya. Suasana tiba-tiba hening, hanya suara keriuhan dari rel kereta dan dengungan obrolan dari ruangan sebelah. Yuna memandang wajah Raiga dengan tidak percaya, tentu saja dia kaget, karena selama gadis itu tidur, dia sama sekali tidak tahu kalau Raiga dan Zapar sudah semakin dekat. "Kau dengar itu?" Zapar tersenyum licik pada Yuna. Yuna menoleh pada Zapar, dia bingung harus membalas apa. Jadi, gadis berjaket merah itu hanya bisa duduk kembali di kursinya dengan perasaan yang masih resah. "Jadi namamu Yuna ya?" Zapar juga duduk kembali, berhadapan dengan Yuna, mencoba berinteraksi dengan gadis lugu itu. "Kau cantik sekali." Seketika perasaan Yuna dibawa oleh Zapar setinggi langit sampai meledak berkeping-keping di angkasa. Apa ini? Yuna sedang digoda? Seumur hidupnya, Yuna tidak pernah sekalipun dibilang cantik oleh lelaki, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mengatakan hal itu sebelumnya. Kedua pipi Yuna memerah, dia malu sekali. "Hah?" Raiga merespon perkataan Zapar dengan nada yang datar. "Tadi kau bilang apa?" Zapar berbisik-bisik pada Raiga, mendadak mereka berdua tertawa bersama, membuat Yuna yang seruangan dengan mereka penasaran pada bisikan yang disampaikan oleh Zapar ke Raiga. "Kenapa kalian tertawa?" Yuna sedikit merasa tersinggung. "Kalian menertawakanku?" Raiga langsung menggeser pantatnya mendekati Yuna, masih menahan tawanya, lalu berbisik pada telinga gadis tersebut. "Ada sisa keripik kentang di pipi sebelah kananmu, Yuna." *** Beberapa jam kemudian, Raiga, Yuna dan Zapar sudah semakin dekat saja, seolah-olah, kereta ini hanya milik mereka saja, canda tawa menghiasi ruangan yang dihuni oleh tiga malaikat tersebut, tanpa peduli kalau mereka mengganggu ketenangan malaikat-malaikat yang menghuni ruangan di dekat mereka. "DUA JAM LAGI KITA AKAN MENDARAT KE BUMI! DUA JAM LAGI KITA AKAN MENDARAT KE BUMI! DI MOHON BERSIAP-SIAP DARI SEKARANG!" Suara wanita yang terdengar dari dalam dinding ruangan telah memberitahu pada para penumpang tentang persiapan menuju bumi yang sudah semakin dekat. "Wow," Yuna menggendong tas merahnya. "Aku tidak sadar kita telah melewati ketujuh langit suci? Apa kalian melihatnya?" Raiga mengangkat bahu. "Kau tertarik dengan tujuh langit yang sering dirumorkan dihuni oleh malaikat-malaikat elit?" Yuna dengan semangat menganggukkan kepala. "Ya! Aku sangat menyukai tujuh langit!" Yuna meloncat-loncat riang. "Andai saja aku bisa terpilih menjadi bagian dari malaikat elit, mungkin saja aku bisa menghuni salah satu dari tujuh langit suci, oh! Aku sangat menginginkannya!" Kedua mata Yuna berbinar-binar saat mengatakan hal tersebut, sementara Raiga dan Zapar hanya memperhatikan gadis itu dalam diam. "Ngomong-ngomong," Raiga memecah keheningan dengan menoleh pada Zapar. "Di mana kau menyimpan barang bawaanmu, Zapar?" Zapar mengangkat bahu dengan santai. "Aku tidak membawa apapun," Raiga dan Yuna terkejut. "Lagi pula, kita hanya akan ke bumi kan? Untuk apa aku membawa banyak barang, kawan?" Yuna terbelalak mendengar perkataan Zapar. "Kau aneh sekali," Yuna menggelengkan kepala. "Kita di bumi bukan untuk jalan-jalan ria, Zapar! Kita ditugaskan oleh pihak sekolah untuk membimbing para manusia ke jalan yang benar! Dan wajar jika kau membawa banyak barang karena kau akan tinggal di bumi selama setahun!" Entah kenapa, Zapar hanya tersenyum saja mendengar yang dikatakan Yuna. "Kenapa kau mendadak marah padaku, Yun?" Yuna melipat tangannya. "Tentu saja aku marah!" ucap Yuna dengan jengkel. "Dan namaku Yuna, bukan Yun!" Raiga menepuk pundak Yuna dan Zapar. "Sudah-sudah, ayo kita bersiap-siap untuk keluar dari kereta, teman-teman." *** Kereta ini sudah sampai di bumi, lebih tepatnya, di tengah hutan belantara. Kereta awan memang sudah biasa menurunkan penumpangnya di tempat-tempat tersembunyi agar para manusia tidak mengetahui keberadaan kendaraan suci tersebut. Semua malaikat keluar dari ruangan masing-masing, berdesak-desakan menuju pintu keluar. Raiga, Yuna dan Zapar berjalan di tengah-tengah lautan malaikat, sulit sekali untuk menerobos punggung-punggung yang menghalangi mereka. Akhirnya, tak lama kemudian, mereka bertiga berhasil keluar dari kereta awan dan turun, menjejaki tanah hutan yang penuh dengan dedaunan kering. "Ini pertama kalinya aku datang ke bumi," ucap Yuna dengan riang. "Aroma tempat ini benar-benar berbeda dari surga." "Haha!" tawa Zapar menggelegar mendengar ucapan Yuna. "Jelas berbeda, Surga dan Bumi tidak dapat disamakan, Yun." Yuna hanya mengembungkan pipinya dengan kesal. "Sudah kubilang, aku benci dipanggil Yun!" "Teman-teman," Raiga kini angkat bicara dengan wajah datar. "Kita akan ke mana sekarang?" Yuna dan Zapar menoleh pada Raiga. "Jelas, kita akan bersekolah di bumi, kawan." balas Zapar dengan menyeringai kejam. "Akhirnya, sebentar lagi, aku akan membully cucu-cucu Adam! Haha!" Mendengarnya, Yuna kesal. "Apa kau bilang?" ucap Yuna dengan mendekatkan diri pada Zapar. "Kau akan berurusan denganku jika berani menyakiti para manusia, Zapar!" "Oi Malaikat!" Raiga sudah mulai bosan. "Dengarkan aku, sekarang, di mana sekolah yang akan kita masuki?" Zapar dan Yuna saling menatap setelah mendengar ucapan Raiga. "Sebelum memikirkan itu, lebih baik kita harus mencari cara agar kita bisa keluar dari hutan ini, kawan." jawab Zapar dengan mengusap hidungnya sombong. "Hah?" Raiga kaget. "Aku lupa soal itu." Kereta awan yang telah mengantarkan mereka telah menghilang, sementara malaikat-malaikat yang lain telah terbang dengan sayapnya masing-masing menuju tempat tujuannya. Sementara, Raiga dan dua kawannya hanya bisa menatap kepergian para malaikat dengan tatapan bingung. "Sayapku hanya satu," Raiga menundukkan kepalanya. "Aku tidak bisa terbang." "Kedua sayapku patah," Yuna menutupi mukanya dengan tangan. "Jelas sekali aku tidak mampu terbang." "Aku tidak punya sayap," Zapar tersenyum sombong. "Tapi aku tahu caranya agar kita bertiga bisa terbang, kawan!" Mendengar ucapan Zapar membuat Raiga dan Yuna menegakkan kepalanya, memandang wajah Zapar dengan tidak percaya. "Hah?" Raiga mengucek matanya. "Kau tadi bilang apa?" Zapar menyeringai. "Kita akan menggunakan ini, kawan." Raiga dan Yuna terkejut melihat benda yang ditunjukkan Zapar pada mereka. Apa dia gila? Raiga, Yuna dan Zapar sudah sampai di bumi, lebih tepatnya di tengah hutan. Di saat semua malaikat pergi menggunakan sayapnya untuk pergi ke tempat tujuan, Raiga, Yuna dan Zapar hanya bisa melihat kepergian dari satu-persatu malaikat yang terbang. Raiga dan Yuna mengakui bahwa sayap mereka telah rusak dan tentu tidak akan bisa terbang seperti malaikat normal, tapi beruntungnya, Zapar menemukan sesuatu yang mungkin berguna untuk mereka terbang. Lantas, benda apakah itu? *** Zapar tersenyum senang, memperlihatkan sesuatu yang dipegangnya. "Kalian tertarik untuk terbang menggunakan ini?" Mendengar hal itu membuat Raiga dan Yuna melotot. "Balon?" Yuna menutup mulutnya. "Zapar, aku penasaran apakah otakmu masih bekerja dengan benar?" Raiga menutup matanya dengan wajah tenang, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. "Ayo, kita gunakan ini." Tanpa basa-basi, Raiga langsung mengambil satu balon putih yang masih mentah, kemudian dia meniupnya dengan pelan-pelan sampai balonnya mengembung sempurna. "Yuna, ambil punyamu, biar kutiupkan untukmu." Yuna menarik napas panjang. "Raiga, ke-kenapa kau menyetujui cara ini?" Sungguh, kelihatannya Yuna benar-benar tidak mau menggunakan balon sebagai cara alternatif untuk bisa terbang. "Aku rasa ini tidak akan berjalan mulus." "Oh! Tenang saja, Yun!" Zapar tiba-tiba merangkul leher Yuna dengan wajah sombongnya. "Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya." "Sudahlah," Raiga langsung mengikat tali balon ke kedua ketiaknya. "Coba saja, jangan takut." Dengan wajah datarnya, tubuh Raiga perlahan-lahan dibawa ke atas oleh balonnya. "Lihatlah," Zapar meninju telapak tangannya sendiri. "Balonnya bekerja, Yun!" Dia sangat percaya diri ketika melihat Raiga telah dinaikan oleh balonnya, melayang-layang tidak jelas. "Tapi," Yuna meringis. "Kau tidak pernah tahu arah angin akan membawa kita ke mana?" Mendengarnya, Zapar malah semakin bahagia. "Kalau masalah itu, serahkan pada Tuhan, Yun!" Yuna bahkan Raiga yang mendengar jawaban Zapar hanya bisa menghela napas sabar. Sepertinya, usaha mereka untuk bisa terbang berhasil, tapi tidak untuk menentukan pergi ke arah mana, karena anginlah yang membawa mereka ke suatu tempat. Zapar dan Yuna akhirnya bisa menyusul Raiga, mereka bertiga terbang dengan balon di punggungnya. Pelan-pelan, mereka terbang semakin tinggi, sampai-sampai, Raiga bisa melihat kota di kejauhan. Angin menerbangkan balon yang mereka tumpangi ke arah barat, terus melayang-layang seperti kertas yang akan jatuh. "Apa kalian bisa mendengarku?" Yuna berteriak kencang dari belakang, karena posisi balonnya memang berada di paling belakang. Raiga dan Zapar menunjukkan jempolnya, mengisyaratkan kalau mereka masih bisa mendengar. "Ke mana kita akan pergi?" tanya Yuna dengan ketakutan saat matanya melihat ke bawah. "Entahlah," jawab Raiga tanpa dosa. "Kita serahkan semuanya pada balon yang kita tumpangi, Yuna." "Apa?" Yuna tidak percaya Raiga dengan gampangnya menjawab seperti itu, sebagai seorang gadis, tentu saja dia tidak mau pergi ke mana saja asal aman seperti yang lelaki pikirkan. Dia benar-benar ingin turun sekarang. "Jangan khawatir," Raiga kembali berkata. "Aku sudah tahu ke mana balon ini akan membawa kita, teman-teman." "Kalau begitu, pegang erat-erat tali balonnya, kawan!" Zapar angkat bicara, mencoba untuk memperingati kedua temannya. "Kenapa kau berkata seperti itu, Zapar?" Yuna merasa akan ada sesuatu yang menakutkan setelah mendengat peringatan dari Zapar. Zapar menoleh pada Yuna dari kejauhan. "Kita akan ditampar, Yun!" Raiga dan Yuna tidak mengerti pada jawaban Zapar. "Katakan sesuatu dengan jelas, Zapar!" Yuna mulai jengkel sekaligus ketakutan, dari tadi dia terus mencengkram tali balon dengan kencang. "Maksudku," ucap Zapar. "Ada angin p****g beliung di belakang kita!" Mata Yuna hampir keluar mendengarnya, sementara itu, Raiga malah tertidur tenang di depan. "TURUNKAN AKU!" Yuna menjerit histeris hingga membangunkan binatang-binatang hutan yang tertidur di bawah. *** Setelah tertampar angin p****g beliung, mereka bertiga terlempar ke tempat berbeda-beda. Pada akhirnya, Raiga yang masih sedang tertidur pulas tidak menyadari kalau dia sudah mendarat di padang rumput, halaman belakang dari rumah penduduk desa. Raiga ditemukan oleh seorang gadis kecil yang sedang bermain. Pemuda berambut perak itu digoyang-goyangkan agar bangun oleh gadis tersebut. "Kakak?" Gadis kecil berambut cokelat itu terus berusaha membangunkan Raiga yang masih mengorok. "Bangunlah, kakak!?" Raiga terpaksa membuka matanya. "Hah?" sesuatu yang pertama dia lihat adalah wajah anak perempuan yang membangunkannya, muka Raiga memerah menyadari kalau mereka berdua terlalu dekat. "Aku ada di mana? Dan siapa kau?" Gadis itu menjauhi Raiga, berdiri dengan tangan di d**a, kelihatannya dia ngeri melihat muka laki-laki yang baru bangun itu. Intinya, ketampanan Raiga luntur karena air liurnya yang menyebar ke mana-mana. "Maaf jika aku tidak sopan," ucap gadis kecil itu dengan terus menjauhi Raiga. "Tapi, seharusnya aku yang bertanya begitu, kakak." Raiga mengusap air liur yang telah menjajah mukanya, kemudian dia beranjak bangun, berdiri menatap wajah gadis itu dengan santai. "Aku Raiga, aku berasal dari sur--" Raiga hampir keceplosan, jika dia berkata jujur mengenai asalnya, itu akan membuat kehebohan, atau malah, dia ditertawakan oleh gadis bumi itu. Lagi pula, siapa yang akan percaya jika ada orang mengatakan kalau dirinya berasal dari surga? Itu benar-benar konyol, pikir Raiga. "Umm, aku berasal dari bumi bagian timur." Entah kenapa, ucapan Raiga barusan membuat kepala gadis itu memiring. "Bumi bagian timur?" Sepertinya sang gadis tidak mengerti. "Kakak dari luar negeri ya?" Raiga menahan napas. "Bisa dibilang begitu," ucap Raiga penuh percaya diri. "Tapi aku tidak bisa menyebutkan dari negara mana aku berasal, karena itu cukup rahasia." Aku berasal dari Negara Tuvu, Surga bagian selatan, aku ingin sekali berkata jujur, tapi ya sudahlah. "Tunggu sebentar," Gadis kecil itu langsung berlari meninggalkan Raiga seorang diri di halaman belakang rumahnya. Raiga hanya membalasnya dengan menguap lebar. "Dasar gadis bumi." *** Sementara itu, Yuna malah terjebak di kandang buaya. "KYAAAAAA!! TOLONG AKU!!" Walau kedengarannya seperti itu, Yuna lah yang seharusnya minta maaf pada para buaya, karena dia, hewan-hewan buas itu mati oleh suara kerasnya yang menggelegar. Sungguh tidak baik. "JANGAN DEKATI AKU! BUAYA SINTING!" *** Dan di lain tempat, Zapar malah terdampar di pinggir pantai seperti cumi-cumi. Bahkan, dia malah pingsan di tengah-tengah sampah yang berserakan di pinggir pantai. "Ngggg~" Zapar mengigau dalam tidurnya ditemani lalat-lalat cantik yang beterbangan di seluruh tubuhnya. Zapar benar-benar seperti bangkai. *** Kembali pada Raiga. "Lama sekali," Raiga mulai bosan menunggu kedatangan gadis kecil yang tadi. "Dia itu sedang keliling dunia atau apa?" "Itu orangnya Bu!" Suara jejak kaki membuat Raiga segera menoleh, dan betapa kagetnya ketika dia melihat gadis itu kembali bersama seorang wanita gemuk seperti ibunya di surga, namun ini lebih jelek. "Dia tadi pingsan di sini Bu!" "Oh, jadi kau rupanya yang pingsan di sini, anak muda?" Raiga benar-benar terkejut, ternyata walau mukanya jelek, wanita tua ini punya suara yang cantik. Raiga buru-buru memasang wajah segar dan tersenyum tipis pada wanita itu. "Benar sekali." "Lalu, kenapa kau bisa pingsan di sini?" tanya wanita tersebut dengan bibirnya yang mengkerut minta di hajar. Raiga tertawa ringan. "Aku juga tidak ingat kenapa aku bisa ada di sini." Raiga berbohong. "Ibu!" Gadis kecil itu menarik baju wanita gemuk tersebut. "Lihatlah! Lehernya terluka Bu!" Wanita berambut hitam itu memperhatikan leher Raiga dan ternyata benar, sebuah goresan luka terlihat di sana, bahkan Raiga sendiri tidak menyadarinya. "Kalau begitu, bolehkah aku mengobati lukamu, anak muda?" tanya Wanita gemuk nan jelek itu pada Raiga dengan senyuman ramah. "Kami juga ingin bertanya lebih lanjut mengenai latar belakangmu, jadi, silakan ikuti aku ke dalam rumahku." Raiga hanya bisa pasrah dan mengangguk. Aku harap wanita jelek ini tidak bertanya mengenai warna celana dalamku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN