Maya terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu kamarnya, dan suara panggilan Bi Isti.
"Sebentar!"
Maya turun dari atas tempat tidur. Ia beranjak untuk membuka pintu kamar. Bi Isti berdiri di hadapannya.
"Makan siang sudah siap, Non." Bi Isti memberitahu Maya.
"Terima kasih, Bi. Aku cuci muka dulu," sahut Maya.
"Iya, Non. Saya permisi." Bi Isti pamit pergi.
"Silakan, Bi."
Bi isti meninggalkan depan pintu kamar Maya. Maya menutup pintu dan masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mencuci muka, Maya mengeringkan titik air di wajah dengan handuk kecil. Kemudian Maya keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Di atas meja makan sudah tersedia hidangan sesuai dengan pesanannya tadi. Sayur asem, ikan goreng, dan sambal terasi.
"Silakan, Non." Bi Isti mempersilahkan Maya untuk duduk.
"Terima kasih, Bi."
"Apa Non ingin minum selain air putih?" Tanya Bi Isti.
"Es jeruk ada, Bi?"
"Ada, Non. Saya buatkan dulu."
"Terima kasih, Bi."
Bi Isti datang dengan membawakan es jeruk.
Maya menikmati hidangan yang dipersiapkan khusus untuknya. Makanan enak, tempat mewah dan sejuk, tapi sangat sepi. Maya merasa kasihan pada Maia, karena mungkin beginilah kehidupan yang Maia jalani setiap harinya. Dalam sepi, tidak ada tempat untuk berbagi. Meski semua kebutuhan raga terpenuhi, tapi kebutuhan jiwa tak ada yang mengisi. Berbeda dengan dirinya, meski dalam kekurangan secara materi, diterjang rasa sakit karena merasa disingkirkan oleh suami, tapi ia masih memiliki teman tempat bicara dan bertukar pikiran. Ia tidak benar-benar sendirian.
Maya hampir menyelesaikan makan saat Bi Isti kembali datang ke ruang makan.
"Maaf, Non. Ada tamu yang mencari Non."
"Siapa?" Maya cukup terkejut karena ada yang mencari Maia. Sementara menurut Bi Isti Maia tidak pernah bergaul.
"Teman-teman dekat almarhumah Nyonya. Mereka baru tahu kalau Non kecelakaan. Saya sudah memberitahu mereka kalau Non asemnia."
"Oh. Baiklah. Saya akan segera menemui mereka, Bi."
Maya menyelesaikan makan siang. Kemudian diantar Bi Isti, Maya menemui tamu yang merupakan teman-teman dari ibu Maia.
"Selamat siang." Maya menyapa empat orang wanita usia empat puluhan yang duduk di ruang tamu.
"Selamat siang." Empat wanita itu berdiri dari duduk mereka. Maya menyalami empat wanita itu satu persatu.
"Maaf, kami baru datang untuk melihat keadaan kamu, Maia. Karena kami baru siang ini dapat kabar kamu kecelakaan." Salah satu dari empat wanita cantik itu bicara pada Maia.
"Oh. Tidak apa-apa. Maaf, tapi saya mengalami amnesia, sehingga saya tidak bisa mengingat apapun juga."
"Tidak apa-apa, yang penting kamu selamat dan terlihat sehat. Anggap saja kamu baru memulai hidupmu." Wanita lainnya yang bicara.
"Iya. Alhamdulillah saya sehat di luar dari amnesia yang saya alami."
Empat wanita itu saling tatap.
"Karena kamu lupa siapa kami, ijinkan aku memperkenalkan kami semua. Aku Retno, ini Elda, ini Wika, dan ini Asti. Kami sahabat ibumu dari jaman SMA. Dalam penilaian ku, kamu memang sangat berbeda dari Maia sebelum kecelakaan. Kamu terlihat lebih bersemangat. Aku rasa, amnesia yang kamu alami membawa dampak positif pada dirimu, Maia."
"Iya. Retno benar. Dengan kamu yang seperti ini, aku harap kamu bisa membuka diri dan bersosialisasi dengan orang-orang di luar sana, Maia."
"Terima kasih atas perhatian Tante semua. Saat ini saya sedang mencari jati diri, karena saya benar-benar tidak ingat seperti apa saya sebelumnya."
"Tidak apa, Maia. Yang penting kamu bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Jangan terus mengurung diri di dalam rumah saja. Bergaul di luar itu ada manfaatnya, bukan sekadar buang uang hura-hura, atau hanya membicarakan orang saja. Ibu mu memiliki cafe yang cukup maju. Cobalah kamu ke sana, jangan semua diserahkan pada Baskara dan keluarganya. Bukan Tante bermaksud menuduh Baskara dan keluarganya tidak baik. Tapi kamu juga harus tahu semua usaha milik mendiang ibumu, bukan hanya diam menanti transferan."
"Baik, Tante. Mohon bantu bimbing saya."
"Kapanpun kamu butuh bantuan, kami akan berusaha membantu sebisa kemampuan kami."
"Terima kasih, Tante."
"Baiklah, Maia. Kami cukup gembira melihat kamu sehat, walau kehilangan ingatan. Tidak apa-apa. Kamu bisa melanjutkan hidup sebagai orang baru yang lebih bersemangat."
"Terima kasih, Tante."
"Kami permisi, selamat siang."
"Selamat siang."
Maya mengantarkan keempat wanita itu sampai ke teras rumah. Ternyata mereka membawa mobil sendiri-sendiri. Untungnya halaman rumah begitu luas, sehingga tidak masalah saat banyak tamu.
"Mereka itu sahabat nyonya dari SMA. Sahabat dekat nyonya yang sangat setia."
"Aku bisa merasakan ketulusan mereka."
"Mereka memang benar-benar orang yang baik. Selalu ada bersama nyonya, saat nyonya berada dalam suka dan duka."
"Apakah ibuku juga pernah merasakan duka."
"Itu pasti, Non. Namanya hidup tidak mungkinkan bahagia terus."
"Bibi benar. Nanti aku ingin ke cafe yang dikatakan oleh sahabat-sahabat ibu tadi."
"Kapanpun Non ingin ke sana. Saya dan Mamang siap mengantarkan."
"Terima kasih, Bi. Saya ingin kembali ke kamar."
"Iya, Non."
Maya kembali ke kamar. Obrolan dengan teman-teman ibunya Maia tadi menghadirkan sebuah rencana dalam benak Maya. Memiliki sebuah warung makan sendiri adalah impiannya. Jadi Maya berpikir kenapa ia tidak mencoba masuk ke dalam bisnis cafe ibunya Maia. Warung makan dan cafe tentu berbeda, tapi Maya yakin ia bisa cepat belajar nantinya.
Maya menggeser pintu kaca yang menuju teras samping. Di luar sana matahari bersinar cukup garang, tapi di teras samping terasa sejuk karena banyak pepohonan yang tumbuh di dekat pagar. Ada keinginan dalam diri Maya untuk berenang. Berenang adalah kesukaannya sejak kecil. Tentu saja bukan berenang di kolam renang, tapi di sungai. Mengingat masa lalu sebelum invasi mertuanya dalan rumah tangganya terasa sangat indah bagi Maya. Tapi takdirnya sekian belas tahun menikah belum juga memiliki keturunan, sehingga ia disingkirkan dengan keji. Fitnah ditujukan padanya selain hinaan dan cemooh.
"Non!"
Maya terkejut mendengar panggilan Bi Isti dan suara ketukan di pintu kamarnya. Maya beranjak menuju pintu.
"Sebentar."
Maya membuka pintu kamarnya.
"Ya, Bi."
"Tuan Baskara sudah datang. Tuan langsung masuk kamar. Kata Tuan nanti malam saja Tuan bicara dengan Non."
"Oh, baik, Bi. Terima kasih."
"Sama-sama, Non. Saya permisi."
"Iya, Bi. Silakan."
Bi Isti meninggalkan depan pintu kamar Maya. Maya merasa semakin penasaran dengan sosok Baskara. Di rumah ini Maya tidak melihat ada foto pernikahan Baskara dan Maia. Sehingga Maya tidak tahu seperti apa sosok Baskara.
Maya menutup pintu kamar. Maya tak sabar menunggu pertemuan dengan Baskara. Kalau mendengar dari cerita Bi Isti, Maya menilai kalau Baskara orang yang dingin sikapnya. Entah hanya dingin pada Maia, atau memang seperti itu sifat aslinya.
*