Pagi ini Maya sudah rapi dengan mengenakan celana panjang dan blus lengan panjang warna senada, hitam. Wajahnya dipoles make up tipis saja. Maya menenteng tas untuk kuliah saat ke luar dari kamar. Maya melangkah dengan kepala tegak. Rambutnya yang diikat satu bergerak seiring langkahnya.
Maya tiba di ruang makan. Tas diletakkan di kursi yang ada di sampingnya. Sebenarnya Maya masih mengantuk, karena tadi malam ia belajar. Maya merasa harus benar-benar kuliah, bukan sekadar melanjutkan apa yang Maia lakukan. Meski berada di tubuh Maia, tapi Maya merasa ada kebanggaan jika bisa mendapatkan nilai bagus nantinya, apa lagi jika bisa sampai meraih gelar sarjana, walau yang tertulis nama Maia nantinya. Ini juga sebagai cara balas dendam pada Baskara. Agar Baskara tidak lagi merendahkan Maia.
Maya sadar banyak yang harus ia lakukan sebagai Maia, maupun sebagai Maya. Sebagai Maia dan Maya, ia harus membalas dendam pada Baskara atas nama Maia dan temannya yang sudah disakiti Baskara.
Maya sudah mulai menikmati sarapannya. Ia pikir Baskara sudah berangkat ke kantor, sehingga tidak muncul di ruang makan.
Maya mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja. Maya baru saja membuat akun sosial media. Karena ia akan memulai penyelidikan pada orang di cafe lewat sosial media mereka. Maya juga ingin bersosialisasi dengan orang lain lewat sosial medianya.
Suara langkah kaki menuruni anak tangga, mengalihkan perhatian Maya dari ponselnya. Baskara sudah rapi dengan pakaian kerja. Harus Maya akui, Baskara sosok yang menarik. Tetap mempesona seperti saat mereka SMA dulu. Sosok yang digilai banyak cewek saat di SMA. Tapi Maya bukan salah satu dari cewek yang menggilai Baskara. Karena Maya sudah memiliki Yanuar.
Baskara duduk di kursi makan, mereka duduk berhadapan.
"Sejak kapan kamu suka main ponsel?" Baskara bertanya tajam.
"Kenapa? Apakah kalau aku main ponsel itu mengganggu dan merugikan anda, Tuan Baskara yang terhormat?" Maya membalas tatapan tajam Baskara kepadanya.
"Jangan berkata sinis dan menatap tajam seperti itu kepadaku."
"Anda yang memulai. Saya hanya mengikuti cara anda. Saya sudah selesai makan. Saya harus pergi kuliah, selamat pagi Tuan Baskara."
Maya mengambil tas dari kursi di sebelahnya, lalu ia melangkah pergi meninggalkan Baskara yang masih sarapan.
Maya melangkah keluar rumah. Pak Isman sudah siap mengantarkan Maya ke tempat kuliah.
Pak Isman membukakan pintu mobil untuk Maya. Maya masuk ke dalam mobil, Pak Isman menutup pintu mobil, setelah itu beliau masuk dan duduk di balik setir.
"Langsung ke kampus non?"
"Iya, Pak."
"Baik."
Pak Isman membawa mobil keluar dari halaman rumah Maya setelah satpam membukakan pintu gerbang pagar. Dalam perjalanan Maya asik dengan ponselnya. Ia asik menjelajahi akun-akun sosial media milik Baskara. Dalam video yang Baskara buat, Baskara memilih menjadi creator untuk bimbingan dunia usaha bagi anak muda. Sesuatu yang bagus sebenarnya, di balik sikapnya yang menurut Maya jahat. Sebuah rencana tersusun di kepala Maya. Hari ini Maya ingin datang ke perusahaan warisan orang tuanya. Perusahaan yang saat ini dijalankan oleh Baskara. Maya ingin tahu di mana dan seperti apa perusahaan itu. Baskara tidak boleh lagi mengabaikan dirinya. Baskara mulai sekarang harus memperhitungkan kehadirannya. Maia yang sekarang bukan lagi Maia yang dulu.
'Kita lihat saja, Tuan Baskara. Aku akan membuat kamu bertekuk lutut di hadapanku. Setelah kamu jatuh cinta dan merasakan harapan besar kepadaku, aku akan mencampakkan kamu. Itu adalah pembalasan atas sikap mu yang sudah membuat sakit hati para wanita. Terutama karena kamu menyakiti hati Maia. Istrimu yang harusnya mendapatkan perhatian penuh dari mu. Istri yang harusnya kamu bimbing, kamu beri rasa nyaman, beri kebahagiaan, bukannya kamu abaikan. Apalagi kamu hidup dari harta warisan Maia. Kamu pria yang tidak tahu terima kasih, tidak tahu di untung, sangat egois. Tunggu saja hari kejatuhan dirimu. Aku yang akan menjatuhkan dirimu ke dasar jurang yang paling dalam, sehingga akan sulit bagimu untuk bangkit.'
Maya mengalihkan tatapan dari ponselnya ke depan. Maya optimis semua rencananya akan berjalan dengan manis. Satu kekuatan yang ia tidak mengerti merasuki dirinya. Kekuatan untuk ia terus menjalankan rencana-rencananya dalam menjatuhkan Baskara.
Mereka tiba di kampus. Pak Isman pulang kembali ke rumah. Maya berjalan santai saja. Tak peduli dengan tatapan para mahasiswi dan mahasiswa ke arahnya. Maya tersenyum dan menganggukkan kepala kepada setiap orang yang berpapasan dengannya. Maya mengerti kenapa para mahasiswa dan mahasiswi itu menatapnya. Sudah pasti karena perubahan pada penampilannya. Seperti kata Bik Isti. Maia, tidak pintar berdandan. Yang dipakai Maya saat ini pun semuanya adalah milik ibu Maia. Tubuh ibunya dan tubuh Maia sudah pasti sama, karena pakaian ibunya pas dipakai di tubuh Maia.
"Hai, Maia."
Seorang pria berdiri menghalangi langkah Maya. Maya tersenyum pada pria itu.
"Hai."
"Aku dengar kamu amnesia?"
"Iya."
"Aku tidak menyangka amnesia membuat kamu berubah menjadi sangat jauh berbeda dari sebelumnya."
Maya melangkah dengan pria itu di sampingnya. Pria yang bisa dikatakan cocok jadi anaknya andai Maya memiliki anak di usia 15 tahun.
"Aku tidak ingat seperti apa aku sebelumnya. Aku juga malas mengingat karena membuat sakit kepala. hal itu juga mengganggu mentalku. Jadi kupikir lebih baik aku menjadi apa yang aku inginkan saja."
"Dulu kamu gadis yang pendiam, tidak pernah dandan, dan cuek pada sekeliling. Tidak pernah menyapa siapapun, bahkan tersenyum saja jarang. Kamu yang sekarang kebalikannya. Kamu terlihat sangat percaya diri, wajahmu di rias meski tipis tapi jadi sangat cantik. Cara berpakaian dan cara berjalan kamu juga keren. Bisa aku katakan, kamu sosok yang berbeda meski dalam casing yang sama."
"Syukurlah, kalau amnesia yang aku alami membuat aku menjadi lebih baik."
Mereka masuk ke dalam ruangan. Maya duduk dan pria itu duduk di dekatnya.
"Malam ini kamu ada acara?"
"Hah!" Maya menoleh. Maya merasa pria itu kurang ajar bertanya seperti itu kepadanya.
"Aku bertanya, apa malam ini kamu ada acara. Kalau tidak aku ingin mengajak kamu jalan."
Maya ingin tertawa, tapi kemudian Maya sadar. Pria itu sedang mengajak Maia, bukan Maya. Dan pria ini serta orang di luar tidak tahu kalau Maia sudah menikah. Hanya orang terdekat kedua keluarga saja yang tahu Maia sudah menikah dengan Baskara.
"Bagaimana?"
"Aku tidak pernah ke luar dengan pria sebelumnya."
"Aku mengerti. Aku berjanji akan bersikap sopan padamu. Kita hanya ke luar makan dan jalan-jalan di dalam kota saja. Kalau kamu setuju. Aku akan datang ke rumah kamu. Minta ijin pada ... maaf, aku harus minta ijin pada siapa? Setahuku kedua orang tuamu sudah tidak ada."
Maya menatap mata pria yang ia belum tahu namanya.
"Oh ya. Aku lupa. Namaku Rio." Pria itu mengulurkan tangannya. Maya menyambut uluran tangan pria itu.
"Bagaimana? Aku harus minta ijin pada siapa kalau ingin mengajak kamu pergi?"
"Kamu datang saja ke rumahku. Apa kamu tahu rumahku?"
"Tidak. Bagaimana kalau kita bertukar nomer telepon. Nanti kamu share lokasi rumah kamu."
"Boleh."
Mereka berdua mengeluarkan ponsel dari dalam tas masing-masing, lalu bertukar nomer ponsel.
Beberapa orang masuk ke ruangan itu.
"Nanti sore aku telepon ya."
"Iya "
Rio menjauh, Maya tersenyum. Maya ingin tahu reaksi Baskara bagaimana nanti saat tahu kalau ia pergi dengan seorang pria. Maya ingin tahu, apakah di dalam hati Baskara sungguh tidak ada sedikitpun peraturan pada Maia.
Maya sempat terpikir kalau bisa saja sikap cuek Baskara pada Maia hanya untuk menutupi rasa cintanya. Bisa saja Baskara jatuh cinta pada Maia, tapi berusaha keras menolak hal itu karena ada sesuatu. Sesuatu yang Maya tidak bisa menebaknya.
'Aku sudah tidak sabar ingin melihat reaksi Tuan Baskara saat Rio menjemput Maia. Dia pasti akan kaget, namun dia pasti akan menyembunyikan rasa kagetnya dan bersikap sok masa bodoh. Semoga dia ada di rumah saat Rio datang nanti.'
*