2. Sandiwara Murahan

1984 Kata
Aku tidak berani mengaku yang sejujurnya pada Papa dan Mama soal hilangnya ponselku. Aku bilang ponselku jatuh entah di mana, padahal aku yakin ponselku kuletakkan di kursi. Aku takut layarnya kena cakar, jadi aku jauhkan dari jangkauan. Membeli ponsel baru adalah hal yang mudah bagiku. Namun, bukan berarti aku akan mengikhlaskan benda itu begitu saja. Tidak. Tidak sama sekali. Aku harus mendapatkannya kembali. Ada banyak hal-hal penting di dalamnya. Nomor yang kupakai juga sudah ada sejak kuliah. Pokoknya, aku harus mendapatkan benda itu kembali bagaimanapun caranya. “Ya udah, aku beli hape baru aja, Pa.” Ini adalah opsi yang sudah kusiapkan karena ada maskud tertentu. “Ya tinggal beli, lalu hilangin lagi,” balas Papa sembari mengunyah potongan buah nanas yang baru saja Mama berikan. “Kurang tajam, tahu, Pa, sindirannya.” “Itu hape yang hilang baru kamu beli bulan lalu, kan?” Aku meringis. “Iya.” Bulan lalu aku memang baru saja membeli ponsel karena ponsel lama jatuh dan LCD-nya pecah. Data-data aman dan bisa diselamatkan. Ponsel hilang bukan tentang bendanya yang kucemaskan, tetapi isinya. Itu saja. “Terus aja, Vin, tiap bulan beli hape baru.” Mama menyahut. “Kali ini aku beli yang dua jutaan aja, Pa, Ma. Asal bisa buat keperluan basic.” Aku serius soal ini. Ini adalah opsi yang kumaksud tadi. Aku hanya perlu ponsel baru untuk menghubungi nomorku secara lebih intens. Tadi Papa dan Mama sudah berusaha menghubungi nomorku, tetapi tidak aktif. Mau dilacak juga sulit. “Ya udah. Terserah.” “Oke. Aku beli sekarang.” Aku keluar rumah, bergegas ke konter terdekat untuk membeli ponsel dan nomor baru. Hanya dalam waktu setengah jam, ponsel siap pakai sudah di tangan. Saat ini aku di kamar, tidak lagi turun dan bergabung di ruang tengah. Aku tidak mau Papa dan Mama terus menceramahiku tentang hal yang sama. Kasus hilangnya ponselku ini tidak umum, jadi aku tidak ada niat melapor atau semacamnya. Itu hanya akan memperkeruh. Aku mulai menghubungi nomorku, dan hasilnya nihil. Nomorku masih tidak aktif. “Ah! Bener juga. Aku harus cari sosial medianya.” Alan Dzaka Raksabumi. Sudah bertahun-tahun lamanya, nama itu masih saja melekat kuat di ingatanku. Aku tidak pernah lupa bagaimana dia meremas kertas pemberianku dan membuangnya begitu saja di tempat sampah. Kalau memang saat itu dia enggan membantuku, harusnya dia bisa menolak baik-baik. Aku pasti paham. “Username-nya apa, sih? Enggak nemu-nemu perasaan! Masa iya dia enggak punya i********:?” Aku mencari-cari akunnya dengan segala username yang mungkin dia pakai. Ternyata zonk. Aku tidak menemukan akun dengan namanya ataupun yang mendekati. Nama Alan yang ada bukan dia semua. “Oke, aku coba telepon lagi. Please, aktif, please!” Panggilan kedua belum aktif. Jeda lima menit, aku memanggil lagi. “Akhirnya, aktif juga!” aku yang tadinya tiduran, seketika bangun dan duduk tegak. Aku menunggu setidaknya lima detik sampai panggilanku diangkat. “Hallo?” sapaku pelan. “Kaki saya memar kamu injak dua kali dengan heels.” Aku langsung mencelos begitu mendengar suaranya. Antara lega dan kesal. Ponselku betulan dia bawa rupanya. “Kembalikan hape saya. Kalau enggak, saya laporin polisi.” “Lapor saja, saya tunggu polisi datang mengambil hapemu.” Aku diam. Lapor polisi hanyalah gertakan. Aku tidak benar-benar serius. Aku malas berurusan dengan aparat. “Kalau saya ambil sendiri, bagaimana? Saya harus ke rumah itu lagi? Itu rumah Masnya?” “Itu bukan rumah saya.” “Lalu kenapa Masnya di sana pakai baju santai?” “Jadi penampilan saya kemarin malam penting bagimu?” Aku menghela napas. Sabar. “Oke, kembali ke pembahasan awal. Saya mau ambil hape saya. Saya harus ke mana?” aku bertanya dengan nada mendesak. “Ke kantor polisi.” “Hah?” “Barusan kamu bilang mau lapor polisi. Lapor saja. Saya akan visum luka saya dan kamu harus bertanggungjawab soal ini.” “Mana bisa kaya gitu.” “Kenapa tidak bisa? Saya tidak kenal kamu, tapi kamu tiba-tiba menganiaya saya sembarangan.” Dia benar, tapi aku juga benar. Eh, bukan begitu? Aku hanya sedang membalas dendam atas tindakan kasarnya di masa lalu. “Menganiaya itu terlalu berlebihan, Mas. Saya hanya menginjak—“ “Itu tetap kekerasan. Saya tunggu di kantor polisi kalau memang mau ambil.” Nada suaranya mendadak terdengar sangat tegas. “Pelase-lah, Mas. Jangan di kantor polisi. Oke, saya minta maaf. Saya cuma refleks.” “Kenapa sampai refleks? Memangnya kita kenal sampai refleksmu begitu? Atau kamu memang suka bertindak kekerasan?” Aku diam. Aku bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya. Rasanya tak mungkin aku mengaku kalau aku adalah mahasiswa yang dulu pernah ingin minta tanda tangannya. Belum tentu juga dia ingat. Bukti nyata, dia tidak mengingat wajahku. “Kenapa diam? Kamu diam-diam mengenal saya, Davina Puspita?” Aku mendelik. “Kenapa tahu nama saya?” “Ada di gantungan.” “A-ah ...” memang, ada namaku di gantungan ponsel. Ukurannya kecil, tetapi tetap jelas dibaca. “Jadi kamu mengenal saya? Saya tidak punya teman dengan nama jelek seperti ini.” Wah! Penghinaan sekali! “Itu nama pemberian orang tua saya. Berani-beraninya menghina!” “Menjadi jelek karena perangai orang yang punya nama sangat buruk.” “Kaya Masnya enggak saja.” Ini jawaban spontan dari hati. “Nah! Kamu kenal saya, sampai bisa bilang begitu?” “Kenapa jadi bahas soal nama? Ini bukan lagi soal kenal atau enggak, Mas. Permasalahannya hanya satu. Saya mau ponsel saya kembali—” “Dan saya sudah memberi jawaban. Kamu bisa mengambilnya di kantor polisi.” “Jangan di sana, tolong. Adakah opsi lain?” Dia diam. Aku menatap layar ponsel, panggilan masih terhubung. “Saya pikir-pikir dulu. Nanti saya hubungi lagi—“ “Kenapa pakai pikir-pikir— Mas!“ Kalimatku terputus karena panggilan mendadak dihentikan. Ketika aku menelepon lagi, nomor sudah tidak aktif. “Oh, ya ampun! Kenapa jadi kaya gini, sih?” *** Aku menatap ragu pada gedung tinggi yang menjulang di depanku. Laki-laki arogan itu menyuruhku datang ke gedung ini jika memang ingin ponselku kembali. Jujur, aku benar-benar enggan menyebut namanya. “Oke. Demi hapeku balik.” Aku masuk gedung, lalu menghampiri bagian resepsionis. “Ada yang bisa kami bantu, Bu?” tanya salah satu respsionis dengan intonasi yang sangat ramah. “Saya ingin bertemu Pak Alan. Bisa?” “Sudah membuat janji?” Siapa manusia arogan itu sampai harus membuat janji jika ingin bertemu? “Sudah.” “Baik, saya hubungi Pak Alan-nya dulu.” Aku mengangguk, lalu menunggu. Selama si resepsionis menelpon, aku celingukan. Aku tahu perusahaan ini adalah perusahaan IT seperti milik Papa. Namun, aku tidak tahu apakah kami bermitra ataukah justru bersaing. Papa belum memberi tahuku soal ini. Masih ada waktu hampir satu bulan sampai aku benar-benar aktif bekerja menggantikan beliau. Itu pun, mungkin dalam kurun waktu setengah sampai satu tahun kedepan aku masih dalam pantauan. “Pak Alan sudah menunggu, Bu. Mari, saya antar.” “Iya.” Resepsionis itu mengantarkanku ke lift, lalu menekan tombol lantai lima. “Silakan, Bu. Ruangannya ada di paling ujung sebelah kanan,” ujarnya sembari tersenyum lebar sampai membuatku agak ngeri. Ini terlalu ramah sampai aku merasa aneh. Aku bukan tamu spesial. Ataukan resepsionis kantor ini memang diwajibkan mengantar sembarang tamu yang datang? “Terima kasih,” balasku akhirnya. “Sama-sama.” Ini jam kerja, jadi aku tidak banyak melihat orang berlalu lalang di lobi. Di lift pun aku sendirian. Setibanya di lantai lima, aku langsung berjalan ke arah kanan. Aku berjalan cepat menuju pintu yang ada di paling ujung. Aku tidak langsung mengetuk, melainkan mendadak berhenti di jarak tiga meter dari pintu yang tertutup rapat itu. Chief Executive Officer, Alan Dzaka Raksabumi. Aku langsung mundur. Jujur, aku agak kaget dengan apa yang baru saja k****a di papan kayu jati yang menempel di samping pintu. “Dia CEO perusahaan ini? Yang bener aja?” Aku buru-buru mengecek ponsel, lalu membaca pesan terakhir darinya. Dia memang menungguku. “Oke, oke. Hanya lima menit, lalu selesai.” Aku mengetuk pintu pelan, lalu terdengar suruhan masuk dari dalam. Aku menghela napas berkali-kali sebelum memutuskan untuk membuka pintu. “Say—“ “Oh, kamu sudah datang?” Aku tertegun. Bukan, aku bukan tertegun karena design ruangan ini yang unik ataupun tertegun karena manusia arogan ini menyambutku. Aku tertegun karena ternyata di dalam ruangan ada dua orang lagi. Satu laki-laki dan satu perempuan. “Kamu lama sekali datangnya. Sudah makan?” manusia arogan ini mendekat dan tersenyum ramah. Aku kaget, bingung, tidak paham dengan situasinya. Saking bingungnya, aku sampai mematung di tempat. “Hapemu saya kasih kalau kamu mau berpura-pura jadi pacar saya lima menit saja,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Diiih!” aku membalas refleks. “Ogah!” Si manusia arogan mendelik. “Oke, kalau gitu kamu turun lagi. Lupakan tentang benda kotak itu.” “Apa-apaan! Balikin—” “Lima menit saja.” “Enggak mau!” “Siapa dia, Lan?” tanya salah satu dari dua orang yang tadi kumaksud. Lebih tepatnya, yang perempuan. “Bukan urusanmu.” Si manusia arogan membalas acuh tak acuh. “Yang sopan kalau bicara dengan kakakmu.” Laki-laki yang dari tadi diam, kini bersuara. Manusia arogan ini menatapku lurus dan kembali berujar pelan. “Cepat pilih. Hapemu, atau lima menit waktumu.” Aku memejamkan mata sejenak, berusaha membuang semua rasa kesal di d**a. Demi ponsel berhargaku, aku harus rela mengorbankan waktu lima menit untuk sandiwara murahan ini. Baiklah. Hanya lima menit. “Aku udah makan, Mas. Mas udah makan?” dalam sekejap, aku sudah berubah menjadi seorang aktris yang jago berakting. “Sayang sekali kamu udah makan. Padahal aku ingin mengajakmu makan di luar.” “Yah ... sayang sekali. Aku sulit nolak masakan Mama soalnya.” “Masakan Mamamu memang seenak itu.” Manusia organ ini kembali ke mejanya, membuatku mau tak mau mengikutinya. “Pacarmu, Lan?” perempuan tadi kembali bertanya. “Bukan urusanmu, Mbak.” “Jadi begini kerjaanmu di kantor? Malah pacaran di jam kerja?” si laki-laki kembali ikut-ikutan. Manusia arogan ini tersenyum. “Aku mau ngapain aja di ruangan ini, itu terserah. Yang penting, kerjaanku beres. Termasuk itu pacaran, apa yang salah?” Si laki-laki dan si perempuan saling pandang sejenak, lalu kompak berdiri. Setelah itu, mereka pergi tanpa pamit. Aku tidak penasaran dengan siapa dua orang itu karena aku ke sini hanya demi ponselku. Tidak lebih. Mau ada masalah apa pun di sini, itu sama sekali bukan urusanku. “Mana hape saya?” mode akting selesai. “Duduk di sana tiga menit, habis itu saya kasih. Setelah itu kamu boleh keluar.” “Saya maunya sekarang.” “Tunggu tiga menit, atau tidak sama sekali. Lagi pula, waktu lima menitmu juga belum habis.” Aku menganga. “Kenapa jadi semaunya begini?” “Rupanya kamu mau lanjut di kantor polisi? Kamu mau lihat memar yang kamu sebabkan?” Aku diam. Akhirnya aku patuh, jadi aku duduk di sofa selama waktu yang dijanjikan. Tiga menit berlalu, manusia arogan itu belum juga bergerak. Aku segera berdiri, lalu menunjukkan timer dari ponsel yang kubawa. Dia membuka laci meja kerjanya, lalu mengeluarkan ponselku dari sana. Aku menggambilnya cepat-cepat, mengangguk sejenak untuk basa-basi, lalu segera kabur. Setidaknya, dia menepati janjinya. “Davina Puspita Maheswara.” Mendengar nama lengkapku disebut, aku langsung berhenti. Aku balik badan, lalu menatap manusia arogan itu dengan tatapan bingung. “Kenapa sebut-sebut nama saya?” “Saya perlu menghafalnya. Siapa tahu lain kali saya membutuhkan namamu untuk dijadikan buron.” Orang ini benar-benar menyebalkan! “Kenapa saya harus jadi buron?” “Ya siapa tahu. Kamu ingat ini saja. Jangan pernah menampakkan wajah di depan saya lagi, atau kamu betul-betul akan jadi buron.” Aku menggeram tertahan, mencoba menahan emosi. “Terserah!” Aku segera keluar dari ruangannya, lalu menutup pintu dengan keras. Aku tidak peduli jika dia marah atau semacamnya. Aku juga tidak peduli dengan jabatan tingginya di kantor ini. Aku harap, ini adalah hari terakhir aku berurusan dengannya. Benar-benar terakhir! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN