4. Perkara Panggilan

2058 Kata
Aku tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mataku masih saja terjaga. Aku ingin pindah. Aku ingin pergi dari apartemen ini dan cari tepat tinggal baru. Namun, apakah tidak sayang uang yang sudah dikeluarkan Papa untuk membayar apartemen ini selama setahun? Jika batal, pengembaliannya hanya separuh saja. Ini sudah kesepakatan sejak awal Belum lagi, apa ada alasan yang masuk akal di mata Papa kenapa aku mendadak ingin pindah? Aku tidak bisa mengatakan yang sejujurnya karena beliau pasti tak paham. Uang untuk membayar sewa apartemen selama setahun mungkin masih kecil untuk Papa, tetapi tetap saja kalau aku tak menggunakannya dengan baik, itu terlalu menghambur-hamburkan uang. Apalagi belum tentu aku mendapatkan apartemen yang lebih worth it dari apartemen ini. “Aduh! Harusnya sebelum bayar aku cek dulu nama calon tentangga!” Aku bangun, lalu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. “Tapi sayang banget apartemen sebagus ini kutinggal gitu aja.” Serius, aku sangat suka dengan segala yang ada di apartemen ini. Ya kamarnya, kamar mandinya, dapurnya, ruang tamu kecilnya, sampai ruang santainya. Perabotannya juga cantik dan lengkap. Ada pula tempat gym di lantai teratas dan itu gratis untuk seluruh penyewa apartemen. Fasilitas apartemen ini benar-benar sangat bagus dan lengkap. “Atau aku abaikan aja? Anggap aja dia enggak ada. Iya, bisa gitu, kan? Toh sama-sama sibuk.” Aku bicara sendiri, lalu kembali berbaring. “Oke, lupakan tentang tetangga. Kami semua di sini hidup individualis.” Aku memaksakan diri memajamkan mata, berharap sebentar lagi bisa terlelap. Aku lelah, Aku butuh istirahat. *** Kebebasan hidup sendiri yang baru saja kurasakan sehari harus berkurang drastis setelah tahu siapa tetanggaku. Dia memang belum melakukan hal yang membuatku merasa terganggu, hanya saja aku menjadi tidak tenang. Aku belum melihatnya lagi sejak semalam. Padahal aku sudah berkali-kali ke balkon, tetapi dia belum juga menampakkan diri. Aku harap seterusnya akan begini. Maksudku, kami tetap tidak akan sering bertemu sekalipun hidup berdampingan. Hari ini aku sengaja tidak kemana-mana. Aku hanya berdiam diri di apartemen, menunggu Sisil yang katanya mau datang. Dia sudah tiba di Jakarta sejak tadi sore dan dia bilang dia membawa oleh-oleh dari Gresik untukku. Aku selalu suka kalau anak itu membawakan oleh-oleh dari kampung halamannya. Masakan Ibu Sisil itu khas, dan kebetulan cocok di lidahku. Dia bilang, dia juga membawa rawon. Dia membawa bumbu yang diracik Ibunya di rumah, lalu memasaknya kembali di kos. Anak itu tidak pernah kehabisan ide soal oleh-oleh untukku. Tiba-tiba, ponselku bergetar panjang. Sisil menelepon. “Hallo, Sil?” “Aku udah di loby, Vin. Tolong turun. Aku masih bingung lapornya.” “Oke, tunggu! Aku turun sekarang.” Aku buru-buru keluar dan bergegas menuju lift. Apartemen ini cukup ketat, jadi tamu yang datang sudah pasti wajib lapor. “Sil!” Sisil yang semula duduk, seketika berdiri begitu melihatku. Dia tersenyum lebar. “Udah kaya orang ilang, aku, Vin.” “Sorry, barusan liftnya agak antri.” Aku menatap tas jinjing yang Sisil bawa, lalu meringis. “Ada rawon di sana?” “Ada. Tapi perlu diangetin lagi.” “Oke!” “Selain rawon, masih banyak lagi, Vin. Ibu kayaknya lebih peduli oleh-oleh buatmu daripada anaknya sendiri.” Aku tertawa. “Kapan-kapan aku harus ke Gresik buat ketemu ibumu langsung.” “Siap.” Aku kenal Ibu dan Ayah Sisil, tetapi sekedar kenal lewat telepon. Saat Sisil wisuda, aku tidak bertemu orang tuanya karena kebetulan saat itu aku juga wisuda. Kami sama-sama sibuk dengan keluarga masing-masing. Sebetulnya pernah sekali aku mau ke Gresik, tetapi tidak jadi karena aku malah sakit. Sampai saat ini aku belum mengangendadakan lagi karena momennya selalu tidak tepat. “Buruan, Sil. Aku udah laper.” “Padahal baunya belum kecium.” Aku terkekeh. “Bayangin aja dulu. Masakan ibumu udah pasti enak soalnya.” “Tahu enggak sih, Vin, koperku tuh isinya cuma oleh-oleh buat kamu. Bajuku dikit di ransel.” “Makasih banget, lho!” Sisil tersenyum. “Sebanyak apa pun oleh-oleh dari orang tuaku buat kamu, kami yang lebih berterima kasih lagi.” “Jangan gitu.” “Aku serius. Kamu udah baik banget—“ “Ssst! Berisik.” Lift berhenti di lantai tujuh, tempat unitku berada. Kami langsung keluar dan aku menariknya ke arah kanan. Kami baru saja jalan lima langkah, tetapi sudah harus berhenti ketika melihat seseorang keluar dari unit depan. Ya, dia si manusia arogan itu. Aku melirik Sisil, ternyata anak itu sedang menatap ke arah yang sama. “Kak Alan tinggal di sini juga rupanya?” Aku mendelik. Bingung. Sisil mengenalnya? “Kamu kenapa di sini?” “Ini teman saya, Kak. Saya mau main ke apartemennya.” Manusia arogan itu mendekat, lalu berhenti. Dia melirikku sesaat, lalu menatap Sisil. “Dia temanmu?” “Iya.” Sisil mengangguk. “Ngomong-ngomong, tawaran yang dulu itu masih berlaku. Mumpung kita bertemu di sini.” Sisil tersenyum, lalu menunduk sejenak. “Maaf, Kak, jawabannya masih sama.” “Baiklah.” Manusia arogan itu tiba-tiba merogoh celananya. Dia membuka dompet, lalu menyerahkan kartu nama. “Hubungi saya kalau tiba-tiba berubah pikiran.” Setelah mengatakan itu, dia langsung pergi. Sisil kembali mengangguk, sementara aku seperti blank di tempat. “Ayo, Vin, masuk. Malah bengong.” “Wait, wait!” aku menahan Sisil. “Kamu kenal orang itu di mana?” “Dia satu alumni sama kita. Masa kamu enggak kenal? Dia populer, please!” “Aku tahu kalau dia kakak tingkat kita. Cuma kan waktu kita masuk, dia lulus. Kamu kok bisa kenal? Maksudku, kenal banget. Dia sampai kasih kartu nama—“ “Aku jelasin di dalam. Ini barang bawaanku berat, Nyah.” Aku berdecak pelan. “Ya udah, iya.” *** “Kamu serius, Sil?” aku agak terkejut mendengar penjelasan Sisil. Aku belum pernah tahu soal apa-apa yang baru saja dia katakan. “Iya, serius. Waktu itu dia jadi mentor seminggu full. Kamu tanya Agil sama Seno kalau enggak percaya. Kan kami bertiga yang waktu itu berangkat lomba.” Memang, dulu saat pertengah kuliah semester lima, Sisil pernah mewakili univku maju lomba bersama Agil dan Seno. Aku lupa detail lomba, tetapi yang jelas sesuai jurusan kami, Teknik Informatika. Kalau tidak salah, lomba itu diadakan di Singapura, dan Univ kami menang juara dua. “Jadi selama di sana, dia yang urus kalian?” “Iya. Kayaknya Kak Alan dihubungi langsung sama Pak Saif, ketua jurusan kita saat itu. Sekarang mah udah ganti.” “Terus selama mentorin, dia ngapain aja?” “Ya ngajarin, ya kaya momong—eh, apa sih, Bahasa Indonesianya?” Sisil terkekeh. “Intinya dia ngerawat kami, Vin. Malah dia sering traktir kami pakai uang pribadinya. Padahal kami juga dapat uang pesangon.” “Kok bisa Pak Saif mercayain dia?” “Lah! Kamu enggak tahu? Beberapa tahun sebelumnya kan univ kita pernah juara satu di ajang yang sama. Itu saat delegasinya Kak Alan dan dua temannya yang maju. Kalau tahun sebelumnya juara empat. Ada lima juara kalau enggak salah ingat.” Aku terdiam sesaat. “Jadi dia secara khusus ngikutin kalian ke Singapura?” “Enggak juga. Dia kan S2 di sana. Full beasiswa.” Aku menganga. “Serius?” “Udah sejauh ini, apa masuk akal aku bohong?” Aku meringis. “Enggak mungkin, sih.” Dulu sebenarnya aku hampir ikut lomba yang diikuti Sisil, Agil, dan Seno. Sayangnya, saat seleksi nilaiku nomor empat. Aku ingat sekali, aku berangkat tes dalam keadaan demam tinggi. Bukan maksud terlalu percaya diri, tetapi aku yakin andai saat seleksi aku sedang sehat seratus persen, aku pasti terpilih menggantikan Seno yang saat itu nomor tiga. Pasalnya, peserta lomba hanya diambil tiga nilai tertinggi. Tapi ya sudahlah, lomba itu memang belum rezekiku. Aku harus terima dengan hasilnya. Aku dan Sisil dekat salah satunya karena kami sama-sama sering ngasdos sejak semester tiga. Aku ngasdos karena cari pengalaman, sementara Sisil ngasdos karena cari tambahan uang saku. IPK kami juga beda sedikit. Mungkin hanya selisih 0.03 lebih tinggi aku. IPK tertinggi angkatan kami dipegang Agil yang nyaris empat. Masih tentang lomba, dulu aku sempat menangis saat tidak bisa mengikuti lomba itu. Namun, kalau tahu selama di sana mentorku adalah si manusia arogan, mungkin ada baiknya aku tidak terpilih. Ya, rencana Tuhan memang sudah paling bagus. “Ngomong-ngomong, kamu kayaknya enggak suka gitu sama Kak Alan. Why, Vin?” tanya Sisil setelah menelan suapan rawonnya yang ke-sekian. “Padahal dia baik banget, lho.” “Menurut kamu, dia baik? Yakin?” “Seratus persen yakin. Waktu satu minggu itu masih aku ingat dengan baik sampai sekarang. Dulu, aku ngefans banget sama dia. Cuma sadar diri aja, aku siapa. Nanti kaya upik abu dan pangeran. Malah lebih make sense dia sama kamu. Setara aja, gitu.” “Dih!” Sisil tertawa. “Bercanda, elah! Eh, tapi serius, ding! Cocok lho, kalian.” “OGAH!” tolakku mentah-mentah. “Aku akan jadi orang pertama yang ketawa paling kenceng kalau kamu sampai suka Kak Alan.” “No way! Santai aja. Btw, kamu jangan khianati aku dan perusahaan, ya, Sil. Jangan balik arah ke dia.” Mata Sisil menyipit. “Tapi minta naik gaji, Bu Vina.” “Urusan gampang, itu.” “Canda, Vin, canda. Kali ini bercanda beneran. Gajiku yang sekarang udah cukup. Aku enggak akan berpaling. Janji.” Aku meminta Sisil untuk tidak berkhianat karena ternyata dia sudah diajak bergabung di perusahaan manusia arogan itu sejak dulu. Tawaran itu sudah didapat sejak dia baru saja lulus, tetapi saat itu dia masih dilema antara lanjut di Jakarta atau pulang ke Gresik. Ini berdasarkan penuturannya beberapa saat yang lalu. “Untung aku lebih cepet nawarin kamu ngelamar di perusahaan Papa, Sil.” “Emang jodohku di perusahaan papamu aja. Waktu itu aku juga banyak ragunya, sih, di sana. Mungkin karena kalau di perusahaan papamu ada kamu. Jadi ya aku merasa lebih tenang aja. Gimanapun juga, persaingan dunia kerja itu sengit. Aku agak takut di sana.” Aku menepuk pundak Sisil dua kali. “Bagus, Kisanak. Lanjutkan!” Beberapa saat kemudian, Sisil pamit pulang karena sudah malam. Dia benar-benar membawakan banyak makanan untukku, dan semua itu dia bawa dari Gresik. Aku benar-benar bersyukur memiliki teman yang sangat baik sepertinya. “Duluan, ya, Vin!” “Iya. Hati-hati. Lain kali main lagi.” “Mungkin enggak bisa sesering dulu, apalagi kalau kamu udah resmi jadi atasanku di kantor.” “Ya ampun! Lebay, lu!” Sisil tertawa. “Makasih buat tumpangannya.” “Aku yang makasih. Dibawain oleh-oleh sebanyak itu. Salamin buat Ibu.” “Siap!” Begitu Sisil pergi dengan motornya, aku segera kembali masuk. Setelah ini aku akan menata semua makanan dari Sisil, bersih-bersih, lalu tidur. Baru saja aku masuk lift, sudah ada orang yang menyusul. Dia memecet lantai yang sama denganku. “A-ah ...” aku langsung bergeser ke sudut begitu menyadari kalau orang itu adalah si manusia arogan. Jujur, bahkan sampai detik ini, aku masih enggan menyebut namanya. Aku juga bingung harus memanggilnya apa. Mau memanggil Alan saja, dia lebih tua dariku. Mau memanggil kak seperti dulu, itu terlalu kaku. Mau memanggil Mas, rasanya aneh. Panggil Pak saja, kali, ya? Ini juga kalau terpaksa aku harus memanggilnya. “Kamu sangat dekat dengan Sisil?” tanyanya di antara keheningan lift. “Bisa dibilang, kami sahabatan. Dan jangan berharap dia akan berkhianat dari saya.” “Lihat saja nanti.” “Pak!” Dia tampak kaget karena suaraku mendadak nyaring. “Sisil itu karyawan Papa saya yang sah. Tidak etis kalau Pak Alan merebutnya. Saya juga akan mempertahankan karyawan kompeten macam dia. Mengerti?” di saat yang sama, lift berhenti. Aku segera keluar dan berjalan cepat. “Sejak kapan saya jadi Bapak bagimu?” Aku berhenti, lalu menoleh. “Jadi Bapak? Bisa-bisanya! Pak itu panggilan yang umum. Atau situ ada usul saya harus manggil apa? Om? Kakek? Pakde?” “Menurutmu itu lucu?” “Ini saya serius. Sejak kapan panggilan Pak jadi ‘Bapak’ dalam konotasi yang sesungguhnya? Aneh!” “Seingat saya, saat di halaman belakang dan saat kamu menelepon, kamu tidak memanggil saya dengan sebutan Pak.” Memangnya apa? Aku terdiam sejenak. “Sudah, lupakan.” Berikutnya, dia masuk unit apartemennya tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Aku berjengit kaget karena dia menutup pintu agak keras. Bukannya segera masuk, aku malah terdiam lama di tempat. “Aku manggil dia apa memangnya?” Aku mengingat-ingat cukup lama karena itu sudah bulan lalu. “Eh, aku ingat sekarang. Dia ingin aku memanggilnya Mas Alan, begitu?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN