“Terakhir, Davina Puspita Maheswara. Nama-nama yang baru saja kami sebut, harap tetap di tempat.”
Aku menghela napas panjang. Pasrah.
Satu per satu, para mahasiswa baru meninggalkan halaman fakultas. Tidak ada dua menit, kini tinggallah dua belas mahasiswa yang tersisa, dan itu termasuk aku.
Panitia OSPEK menyuruh kami berdua belas untuk baris di depan. Kami adalah para mahasiswa baru yang tadi pagi telat datang mengikuti apel. Kami harus menerima hukuman sesuai yang sudah disepakati. Siapa pun mahasiswa yang telat, maka ada sanksi dari pantia.
Baiklah, aku mengaku salah. Tadi pagi aku telat hampir sepuluh menit gara-gara menolong orang. Aku tidak menyesal soal ini, hanya sedikit kesal kenapa aku kurang gesit mengelabui para panitia. Padahal, ada beberapa mahasiswa lagi yang sebenarnya telat lebih lama, tetapi mereka bisa ikut barisan apel tanpa ketahuan.
“Kami tidak akan memberikan hukuman fisik, jadi tenang saja,” ucap Kak Anton, salah satu pantia OSPEK paling aktif. “Kami akan memberikan tiga opsi hukuman. Silakan pilih salah satu.”
Aku menunggu dengan perasaan cemas. Hukumannya sudah pasti tidak mudah. Aku yakin.
“Opsi pertama, buat esai minimal dua lembar folio tentang isu stunting di Indonesia. Tulis tangan.” Kak Putri —teman Kak Anton— memulai. Baru opsi pertama saja sudah membuatku lemas.
“Opsi kedua, minta waktu salah satu dosen dari masing-masing jurusan kalian, wawancarai beliau tentang keunggulan jurusan masing-masing. Minimal sepuluh poin, kalau lebih, lebih bagus. Minta tanda tangan dan foto untuk bukti.”
Wawancara dosen? Aku bahkan belum tahu satu pun calon dosenku!
“Opsi ketiga, temui ketua BEM Fakultas kita, namnya Alan Dzaka Raksabumi. Minta kata-kata mutiara darinya sekaligus tanda tangan dan foto sebagai bukti. Opsinya itu saja, silakan pilih. Dikumpul maksimal besok siang saat isoma. Kalau tidak, hukuman bisa bertambah dan kemungkinan paling buruk sertifikat OSPEK tidak keluar. Mengerti?”
“Mengerti, Kak!”
Kak Putri tersenyum. “Banyak jalan menuju roma. Jadilah mahasiswa yang kreatif. Jangan coba-coba bohong karena kami bisa dengan mudah mengetahuinya.”
“Baik, kak.”
“Ya sudah. Kalian boleh istirahat seperti yang lain.”
Begitu Kak Putri dan Kak Anton pergi, dua belas orang yang telat langsung terkulai lemas. Bahkan ada yang sampai sengaja ambruk di halaman.
“Vin, kamu mau pilih apa?” tanya Nita, teman baruku yang kukenal kemarin. Dia berasal dari jurusan yang berbeda denganku.
“Kita minggir dulu dari sini, Nit. Panas.”
“Okey.”
Aku dan Nita buru-buru menepi, duduk lesehan di atas rumput di bawah pohon. Suasana kini lebih sejuk dan tenang.
“Yang jelas, opsi pertama big no!” ujarku tegas. “Esai minimal dua lembar folio itu mau nulis apa aja? Belum nanti kita pulang petang, besok pagi berangkat lagi dan jangan sampai telat. Kalau telat lagi, yang ada kita nambah hukuman.”
“Setuju, Vin. Bagus, sih, hukumannya enggak fisik. Cuma kalau kaya gini pusing juga, njirrr!”
Aku tertawa mendengar u*****n Nita. Padahal dia hanya telat satu menit, tetapi hukumannya tetap sama denganku yang jauh lebih banyak.
“Aku kayaknya nemuin dosen aja, Nit. Aku mau cari tahu lewat sembarang kakak tingkat. Semoga ada.”
“Ikuuut!”
“Ikut apanya? Kita beda dosen!”
Nita nyengir. “Kalau cari Kak Alan, gimana?”
“Yang namanya Alan ketua BEM cuma satu. Udah kita enggak tahu orangnya, belum tentu juga dia hari ini ngampus. Mendingan dosen. Lebih banyak pilihan.”
“Oh, iya juga. Kamu bener.”
“Ya udah, sekarang kita mulai. Waktu kita enggak banyak. Nanti sore keburu dosen-dosen pada pulang.”
“Siap.”
Aku dan Nita mulai berpencar untuk menjalankan hukuman. Waktu isoma dari panitia cukup banyak, jadi harusnya cukup. Yang paling penting di sini adalah tanda tangan dan foto saja. Isinya bisa kumodifikasi belakangan. Aku yakin, tujuan utama panitia hanyalah ingin melatih mental kami saja.
Jujur, aku bersyukur panitia OSPEK fakultasku tidak galak seperti yang biasanya aku lihat di sosial media. Alih-alih berteriak tidak jelas, mereka malah santai, tetapi tetap tegas.
Sebelum ke ruang dosen, aku membeli air putih dan roti lebih dulu di kantin fakultas. Aku sangat haus dan lapar. Untuk saat ini, roti saja sudah cukup. Sebenarnya ada konsumsi dari panitia, tetapi kuambil nanti saja. Aku harus makan cepat-cepat.
“Ah, segernya!” aku duduk di bangku panjang yang ada di dekat kantin. Di sekitarku ada banyak mahasiswa, padahal setahuku perkuliahan belum dimulai. Barangkali mereka adalah kakak-kakak mahasiswa semester akhir yang harus ke kampus untuk bimbingan.
Aku tersenyum lebar menatap mereka semua. Akhirnya, tahun ini aku resmi menjadi mahasiswa. Aku janji pada diri sendiri dan orang tua, aku akan menjadi mahasiswa yang baik.
“Lan, Alan! Lo jadi bimbingan hari ini?” seseorang bertanya dengan suara agak keras.
Mendengar nama Alan, aku langsung menoleh. Aku buru-buru mengecek catatan di buku kecil.
“Nama ketua BEM itu Alan Dzaka. Dia atau enggak, ya?” aku mengguma pelan.
Kini, laki-laki yang memanggil Alan dan yang dipanggil Alan duduk di meja yang ada di sebelahku. Aku diam, menguping pembicaraan mereka.
“Udah selesai, kan, skripsi lo?”
“Udah, tapi belum Acc. Pak Tomo lagi-lagi enggak datang hari ini. Gue pasrah soal sidang. Ikut semester ini bagus, kalau terpaksa semester depan, ya udah. Keluar kota lagi, beliau.” Terdengar nada putus asa di suaranya.
“Masih ada dua minggu sampai masuk semester baru. Kejar, Lan.”
“Iya, ini lagi gue usahain. Sumpah, capek banget banget ngadepin dosen yang ilang-ilangan.”
“Jangan patah semangat. Lo harus segera lulus biar sekalian.”
“Sekalian apanya?”
“Ya lo lengser dari BEM karena lulus. Enggak ada lagi yang nahan-nahan lo!”
Lengser dari BEM? Itu artinya, dia memang Alan ketua BEM?
Detik itu juga, dengan nyali yang sangat besar, aku langsung mendekat ke arah mereka berdua. Aku tidak pikir panjang karena yang ada di otakku hanyalah bagaimana aku menyelesaikan hukumanku segera.
“Siang, Kak ...” sapaku seramah mungkin. “Benar dengan Kak Alan?”
Aku menatap dua laki-laki di depanku bergantian. Jujur, aku tidak tahu yang mana Kak Alan karena posisi mereka tadi agak memunggungiku. Yang jelas, salah satu dari mereka sempat membuatku kaget karena saking tampannya.
“Alan yang mana?” tanya salah satu, yang tidak lebih tampan.
“Kak Alan Dzaka.” Aku meringis.
“Oh, itu saya.”
“Oh, Kakak? Saya boleh minta waktunya sebentar?”
Tiba-tiba, laki-laki di sebelahnya berdiri dan pergi.
“Loh, Lan! Lo mau ke mana?”
Hah? Aku ditipu!
Orang yang mengaku Kak Alan ternyata bukan Kak Alan.
“Kak, maaf. Saya carinya Kak Alan.” Aku segera mengejar laki-laki yang baru saja pergi.
Serius, yang namanya Kaka Alan tampan sekali! Kalau para mahasiswa baru mengatakan Kak Anton adalah panitia paling tampan, maka dia belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kak Alan.
“Kak, Kak Alan!” Aku berlari mengejarnya. Dia terus berjalan cepat tak menggubrisku. “Kak, tolong berhenti, Kak! Saya minta waktunya lima menit saja.”
Dia akhirnya berhenti. Aku tersenyum lega.
“Kak, saya boleh minta waktunya sebentar, ya?”
“Tidak!” katanya tegas, lalu jalan lagi.
“Kak, please, Kak. Satu menit saja bagaimana?” karena aku terlalu bersemangat, aku menubruknya tepat ketika dia ballik badan. Itu membuatku terpental dan terduduk di lantai. “Aduh!”
“Saya bilang tidak ya tidak. Telingamu masih normal, kan?”
Aku tidak menyerah, jadi aku buru-buru berdiri. Target sudah di depan mata, aku tidak boleh menyia-nyiakannya.
“Setengah menit bagaimana? Hanya tanda tangan dan foto,” ucapku memohon.
“Kamu bebal rupanya.”
“Please, Kak ...” Aku bisa mengarang soal kata-kata mutiara. Yang paling penting adalah tanda tangan dan fotonya karena panitia pasti akan mengecek. “Boleh, ya, Kak?”
“Mana kertasnya?”
Aku langsung tersenyum lebar. Segera kuambil buku di dalam tas, lalu kusobek kertas satu lembar.
“Ini, Kak.” Aku menyerahkan kertas dan bolpoin padanya.
Aku sudah senang karena sebentar lagi misiku selesai, tetapi yang kudapat selanjutnya justru rasa kaget dan kecewa. Bukannya menandatangani kertasku, dia malah meremasnya.
“Sekali saya bilang tidak, ya tidak. Mengerti?” Dia memasukkan bolpoin ke dalam saku jasku, lalu pergi. Dia juga membuang kertas yang sudah diremas ke dalam tong sampah dekat pintu samping fakultas.
Aku menganga melihat pemandangan itu, merasa sakit hati dan tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Ini benar-benar keterlaluan.
Alan Dzaka Raksabumi.
Sekalipun kami mungkin tidak akan bertemu lagi karena dia akan segera lulus dan lengser dari jabatannya, tetapi aku akan mengingatnya sebagai orang yang sangat arogan dan paling menyebalkan di dunia.
***
Jateng, 14 November 2023