Takdir mungkin telah merenggut semua kebahagiaan di dalam hidupmu, tapi takdir tidak mengambil hidupmu. Takdir masih memberimu kesempatan untuk hidup. Takdir masih memberimu harapan untuk melihat dunia, dan mungkin menemukan kebahagiaan baru.
.....................
Gadis berusia sebelas tahun dengan bola mata kecokelatan itu terlihat asik dengan es krim di tangannya. Setelah berlatih keras sampai malam, menikmati es krim rasa vanilla kesukaannya memanglah yang terbaik. Ia berjalan santai di trotoar dengan santai karena bus sudah tidak ada yang lewat. Mau naik taksi pun sayang, karena jarak rumahnya yang tidak terlalu jauh. Meski lelah, ia lebih suka berjalan kaki begini. Beruntung ia tinggal di ibukota yang jalanannya tak pernah sepi. Banyak pedagang yang masih ada di sekitar trotoar atau tukang ojek pangkalan yang terkadang ia gunakan jasanya ketika sedang malas jalan kaki.
Sampai tiba-tiba suara tubrukan yang begitu keras membuat tangan gadis itu melepaskan genggaman cone es krimnya, matanya membulat menatap kecelakaan yang terjadi tepat di depan matanya. Beberapa orang langsung berkerubung di mobil itu, membuatnya ikut penasaran juga.
Ternyata korbannya adalah pria yang mungkin umurnya lebih dewasa dari ibunya. Sabhira pun merasa kasihan apalagi orang-orang di sekitar hanya sibuk membuat video atau foto dengan ponsel mereka dibanding menelpon ambulan. Ia pun segera menelpon ambulan agar pria itu bisa segera diselamatkan.
Beruntung tak sampai sepuluh menit, mobil ambulan datang. “ Dok, saya ikut!” ucap Sabhira dengan tegas karena merasa bertanggung jawab dengan apa yang pria itu alami—karena ia juga yang menelpon ambulan tadi.
“ Kamu anaknya?”
Sabhira langsung menggeleng ketika petugas ambulan bertanya. “ Tapi saya anak dari pasien yang dirawat di rumah sakit itu juga.” Ia menunjuk nama rumah sakit yang ada di mobil ambulan itu. Ya, sebenarnya ia juga ingin sekalian mengunjungi ibunya. Mungkin ini pertanda memang ia harus menemani ibunya juga.
Petugas ambulan itu pun mengangguk, mempersilahkan Sabhira ikut masuk lalu tak lama mobil ambulan itu melaju cepat menuju rumah sakit dengan suara sirine yang memekakkan telinga.
Beruntung Sabhira sudah terbiasa dengan suara sirine seperti ini, juga darah yang mengucur dan pasien dengan kondisi cukup parah di depan matanya. Ia memang suka menonton film-film thriller atau yang berbau medis. Juga ibunya yang seorang dokter, membuatnya terbiasa dengan semua hal ini. Ibunya juga sering berpesan agar ia bisa sigap menelpon ambulan jika terjadi sesuatu di jalan. Bukan hanya mengambil foto korban dan memasangnya di status.
Begitu sampai di rumah sakit, pria itu dibawa ke ruang UGD sementara Sabhira langsung turun.
“ Tunggu. Kami butuh keterangan pasiennya,” ucap petugas pada Sabhira.
“ Saya nggak kenal korbannya, Pak. Coba periksa aja dompetnya,” ucap Sabhira yang kemudian langsung pergi.
Benar saja. Di saku celana pria itu memang ada dompet dan ponsel. Sementara Sabhira langsung pergi menuju kamar rawat ibunya.
“ Mommy!” sahut Sabhira begitu membuka pintu kamar dan melihat ibunya masih terjaga.
“ Loh, kamu kok malam-malam ke sini?” tanya Aurora yang tampak cemas karena putrinya datang ke rumah sakit selarut ini. “ Siapa yang antar?”
Sabhira menggelengkan kepalanya. “ Tadi ada kecelakaan pas aku pulang latihan paskibra,” ucapnya dengan santai. “ Terus aku telepon ambulan dari rumah sakit ini, terus sekalian ikut deh. Itu namanya diantar juga, kan?” tanyanya dengan wajah polos.
“ Apa? Kecelakaan? Tapi kamu nggak apa-apa, kan? Kok baru pulang semalam ini? Kamu latihan paskibra apa dikerjain senior kamu sih?” cerocos Aurora yang sudah kebal di telinga Sabhira.
“ Ya, namanya latihan, Mom. Aku nggak apa-apa kok. Tapi nggak tahu deh korbannya.” Sabhira mengedikkan bahunya. “ Lumayan parah sih dan kayaknya lagi mabuk juga. Soalnya bau alkohol gitu.”
Aurora agak shock melihat santainya Sabhira menceritakan tentang apa yang dia alami. Walau ia sebenarnya harus terbiasa dengan keberanian putrinya ini. Meski tampaknya tertutup dan pendiam, percayalah kepedulian Sabhira jauh lebih besar dari siapapun pada kejadian yang terjadi di sekitarnya. “ Syukurlah kamu baik-baik aja. Mommy cemas tahu. Apalagi kamu pulang sendirian. Biasanya kan mommy yang jemput.”
Sabhira tersenyum kecil. “ Makanya mommy cepet sembuh biar jadi supir Bhira lagi.”
...................
Kegelapan itu seolah tak berujung, rasanya begitu menyesakkan. Setitik cahaya itupun akhirnya muncul, cahaya putih dan aroma obat-obatan yang khas. Juga rasa nyeri yang semakin terasa nyata. Membuat kelopak mata pria itu bergerak lalu perlahan terbuka.
Yang pertama kali Langit lihat hanyalah semua serba putih. Jika rasa nyeri di tubuhnya tidak terasa, mungkin ia akan menganggap dirinya sudah mati. Ditambah alat-alat yang menempel di tubuhnya ini, membuatnya semakin sadar jika ia masih hidup.
Aku masih hidup ternyata. Batin Langit sembari menahan nyeri.
Seorang pria berjas putih datang dan memeriksa keadaannya bersama satu perawat wanita yang mendampinginya. “ Syukurlah. Anda sudah melalui masa kritis. Setelah ini anda akan dipindahkan ke kamar perawatan biasa,” ucapnya sembari tersenyum lega. Pria itu pun segera pergi.
“ Anda sudah tidak sadarkan diri selama dua hari, tapi untunglah anda selamat dan dibawa ke rumah sakit tepat waktu,” ucap perawat wanita sembari mencopot beberapa alat yang sudah tak diperlukan lagi. “ Beruntung gadis remaja itu sigap membantu. Padahal dari sekian banyak saksi mata, kenapa malah dia yang menelpon ke rumah sakit.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gadis remaja?
....................
“ Mommy beneran udah boleh pulang kan, dok?” tanya Sabhira yang sudah bersemangat.
Dokter Nathan mengangguk seraya tersenyum. “ Iya. Mau nanya berapa kali lagi sih?”
Sabhira mengerucutkan bibirnya. “ Bagus deh. Bosen soalnya ke sini terus. Dari dulu ke rumah sakit ini mulu, Bhira kan mau ngajak mommy jalan-jalan ke dufan.”
“ Loh, belum boleh ke dufan ya tapi.”
“ Iya iya. Bhira tahu.” Sabhira mengangguk cepat. “ Ya kan nanti kalau mommy udah pulih. Dokter ikut juga ya nanti? Siap-siap ambil jatah cuti loh.”
Dokter Nathan hanya mengangguk.
“ Kamu jangan ganggu dokter Nathan terus deh,” ucap Aurora yang sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Padahal kecelakaan itu cukup berat tapi entah kenapa tubuhnya bisa pulih dengan cepat, apa mungkin karena tubuhnya sudah terbentuk antibody berkat operasi besarnya beberapa tahun yang lalu? Dan ia sebenarnya juga bosan jika terus berada di rumah sakit. Ingin pulang ke rumah dan seperti kata Sabhira—ia merindukan masa-masa mereka berdua.
“ Iya, mom. Ya udah yuk!” Sabhira pun mendorong kursi roda ibunya menuju taksi yang akan mengantar mereka ke rumah.
“ Maaf ya nggak bisa mengantar kalian, aku ada operasi mendadak sebentar lagi,” ucap Nathan yang merasa tidak enak karena tidak bisa mengantar sahabatnya pulang setelah selamat ‘lagi’ dari maut.
Aurora mengangguk mengerti. “ Tidak masalah. Kami pamit dulu.”
“ Hati-hati.”
“ Dadah dokter!” Sabhira melambaikan tangannya ke luar jendela.
Nathan ikut melambaikan tangannya sembari tersenyum sangat manis. Sabhira memang sangat ramah padanya seolah ia sudah mendapatkan hati gadis yang telah beranjak remaja itu. Namun, apa ibunya juga punya perasaan yang sama?