Empat

1550 Kata
Icha mengetik pekerjaan nya di komputer kantor, mejanya sudah lumayan rapih karena beberapa dokumen yang ditata berdasarkan abjad dan diletakkan di lemari kaca belakang tempat duduknya. Seorang wanita cantik membawa beberapa stel baju di tangannya yang telah terbungkus plastik rapih dengan gantungan berwarna putih,  menghampiri dan tersenyum padanya. Icha berdiri sopan dan tersenyum riang pada wanita yang beberapa hari lalu ditemuinya. "Hai tante Nadhifa," Icha menyalami Nadhifa dan mencium punggung tangannya. Nadhifa masih sering terkekeh jika melihat keceriaan Icha yang lain daripada yang lain. Sepertinya wanita itu kerasan bekerja dengan lelaki seperti Andre. "Andre ada?" "Om Andre ada didalem Tan, yuk masuk aja aku temenin, sini aku bantu bawa."  Icha menerima tumpukan baju itu tanpa memperhatikannya. "Kamu kerja kok manggilnya Om?" "Abisan udah kebiasaan Tante, eh tapi Tante," Icha mendekatkan wajahnya setengah berbisik, "Tante jangan bilang siapa-siapa yaa, kalau di depan orang lain aku enggak boleh panggil Om, disuruh panggil Bapak hihi tua banget ya," tutur Icha terkekeh geli, Nadhifa hanya tersenyum dan mengusap kepala wanita bertubuh mungil itu. Entah kenapa melihat kepolosan Icha menimbulkan rasa sayang di benaknya. Padahal dia baru sekali bertemu dengannya saat itu. "Kok pakai celana panjang? Aku kan bilang pakai rok atau dress terusan lebih bagus buat kamu?" Nadhifa memperhatikan pakaian Icha yang nampak kebesaran. "Iya Tan, dua hari lalu ketumpahan kopi panas jd paha nya agak merah, udah mendingan sih sekarang, keliatan kebesaran ya Tan?" Nadhifa mengangguk, "Ini baju kakak aku hehe," "Oalah," Nadhifa hanya tersenyum geli melihat Icha, wanita itu sudah melakukan kebiasaan nya, mengetuk tiga kali lalu mendorong pintu ruang kerja Andre. "Hai Ndre," Andhifa menyalami Andre dan menempelkan pipi kanan dan kirinya yang dibalas Andre dengan sumringah. Icha hanya mematung dengan senyum yang masih terkembang. "Tante, bajunya aku taro sini ya," Icha meletakkan baju yang dia pikir punya Andre itu di sofa. "Kamu mau kemana?" tanya Nadhifa. "Keluar tante ada kerjaan." "Bikinin teh manis dulu Cha," suruh Andre yang langsung diangguki oleh Icha, dia bergegas keluar ruangan dan menutup pintu. Berjalan ke pantry untuk membuat segelas teh manis, namun dia urung, kembali lagi dan menyeduh satu lagi. Siapa tahu bosnya ingin teh manis juga, harusnya tadi dia bertanya apakah pria itu ingin minum teh manis? Icha mendorong pintu dengan sikunya, karena tangannya dipakai memegang baki berisi dua cangkir teh panas. Diletakkan dua  cangkir itu di meja, Andre mengangkat sebelah alisnya. "Saya gak pesan teh manis, lagipula saya kurang suka yang manis-manis," Icha yang semula menyodorkan teh itu ke hadapan Andre segera menariknya kembali. "Buat aku kok, Om," cicitnya pelan. Dia hanya menoleh dan tersenyum tak enak pada Nadhifa yang terlihat sudah menutupi mulut dengan tangan karena menahan tawa yang ingin meledak. "Sini, duduk," ujar Nadhifa sambil menepuk pelan sofa sampingnya, Icha melihat ke Andre seolah meminta persetujuan dan anggukan Andre adalah titahnya. "Jadi, aku bawa banyak baju kerja ini untuk kamu Cha," tunjuk Nadhifa pada baju di sampingnya. "Serius Tan?" "Iya Andre yang pesen, ini sesuai dengan selera dia kok," Andre berdehem canggung, "Bisa sakit mata saya lihat baju-baju kamu," gumamnya yang bisa didengar jelas oleh Icha dan Nadhifa, tapi bukan Icha namanya jika tersinggung, karena wanita itu terlihat sudah pindah tempat duduk dan mengangkat baju itu satu-satu. Ada beberapa pasang kemeja dan celana high weist, juga dress terusan dengan panjang selutut kurang sedikit. Dan rok span yang mempunyai belahan paha tak terlalu tinggi. Icha tampak berpikir keras, dia waktu ke butik Nadhifa sempat memperhatikan harga pakaian yang dijual disana dan cukup mahal untuk kantongnya. Maka diapun meletakkan kembali baju itu ke sofa dan menghapus senyum lebar di wajahnya. "Ini potong gaji lagi ya Om? Aku kan bilang lagi ada pengeluaran urgent bulan ini, nanti aja bajunya ya Om, kalau keuangan aku udah stabil." Icha mencoba tersenyum terpaksa, semua baju itu sangat bagus dan pasti cocok ditubuhnya, tapi dia ingin sekali keluar dari rumahnya, dia butuh uang untuk bayar kost, ayahnya tak bisa diandalkan lagi saat ini. ibunya justru seolah hidup tapi mati, tak punya semangat hidup, meskipun Icha seringkali mengajaknya keluar kamar dan mengobrol, namun dia justru seolah tak dianggap ada dirumah itu. Andre mengusap hidung nya yang tidak gatal, mencari alasan yang tepat untuk tak menyinggung Icha, sementara Nadhifa hanya terdiam, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Anggap aja ini bonus atau hadiah karena ayah kita bersahabat. Ya kan?"  Andre merasa pilihan katanya tepat. Icha menoleh ke arah Nadhifa yang sudah mengangguk dan tersenyum padanya. Icha pun kembali tersenyum lebar, mengambil baju itu dan memeluknya. "Baiklah, janji jangan diambil lagi ya bajunya, aku suka banget," ucapnya persis anak kecil. "Iya, iya sudah sana taruh di ruang ganti dulu, kuncinya ada kan?" tanya Andre, Icha mengangguk dan membuka kamar yang terkunci di dalam ruangan Andre. Kamar yang tak pernah seorang pun mengunjunginya kecuali Andre. Icha menutup pintu itu, matanya membelalak melihat foto berukuran besar dimana terdapat Andre memeluk seorang wanita cantik bergaun hitam panjang. Icha tahu, dia adalah tunangan Andre yang meninggal sepuluh tahun lalu. "Gimana mau move on kalau liat foto segede gaban gini setiap hari," desis Icha, di kamar itu terdapat beberapa lemari kaca yang didalamnya terdapat baju-baju Andre, mungkin kantor ini adalah rumah ketiganya. Rumah utama yaitu bersama orang tuanya, rumah kedua adalah apartmen yang biasa di tinggalinya dan kantor ini, rumah ketiga. Karena ada kamar mandi lengkap dengan shower di dalamnya. Ada pula ranjang berukuran single, meja kerja dan kursi putar. Ada satu sofa tunggal menghadap jendela. Icha membuka salah satu lemari yang tampak masih agak kosong, diletakkan baju itu disana. Melirik ke kanan kiri, dituntaskan rasa penasarannya. Berjalan menuju lemari yang agak tertutup, ternyata isi lemari itu hanyalah pakaian dalamnya, dasi, juga jam tangan. Ah apa sih yang Icha harapkan. Seolah sangat ingin tahu tentang bossnya itu. Tak lama Icha pun keluar ruangan dan melihat Nadhifa yang sudah bersiap pergi. "Tante mau kemana?" "Mau kembali ke butik, tapi sebelum itu, temani aku makan siang ya," rayu Nadhifa. Icha mengangguk dan pamit pada Andre, sesampainya di pintu, Nadhifa menoleh pada Andre dan mengedipkan mata. Andre mengibaskan tangannya sambil cemberut seolah mengusir Nadhifa. Nadhifa membawa mobilnya sendiri, sebuah rumah makan tak jauh dari kantor Andre menjadi pilihannya. Memesan salad sayuran sementara Icha memilih paket nasi lengkap dengan ayam kremes. "Tante gak makan nasi?" tanya Icha sambil menyocol potongan daging ayam ke sambal, lalu menyuapnya. "Udah beberapa tahun belakangan ini aku diet nasi, jadi hanya makan sayuran atau buah aja," "Serius tante?" mata Icha membelalak, membuat Nadhifa terkekeh geli dan mengangguk. "Aku sih klo gak makan nasi sama aja belum makan tante hehe." "Tapi kan kamu enggak gemuk." "Aku sih curiga dari dulu kalau aku cacingan hihi," ucap Icha menutup mulut dengan tangan, sementara Nadhifa sudah tertawa keras. Anak polos ini sungguh menghiburnya. "Tan, aku mau nanya dari kemarin tapi aku ragu hehe," Icha memperhatikan wajah dan tubuh Nadhifa yang meskipun sudah memasuki usia empat puluh tahun tapi tampak kencang dan terawat. "Tanya aja, ada apa?" "Tante sebenernya udah nikah belum? Soalnya masih cantik banget, badannya langsing terawat," "Aku udah nikah, udah punya anak malah dua, yang satu SMA dan satu lagi SMP," Icha tercengang, anak Nadhifa ternyata sudah besar - besar, yaa mungkin kalau Andre tidak telat menikah juga anaknya pasti sudah besar. "Yah, padahal kalau belum nikah, aku mau jodohin sama Om Andre," "Andre?" Alis Nadhifa terangkat satu, Icha mengangguk antusias, "Aku sama Andre tuh sahabatan banget dari jaman SMA kayaknya enggak mungkin ada love story diantara kita, lagian dia pemilih banget," tutur Nadhifa. "Iya betul tante, apa-apa harus perfect." Icha menggidik, membayangkan banyak hal yang dilakukan Andre saat mendikte pekerjaannya. Icha harus beberapa kali mengubah redaksi email hanya karena dia tak mau fontnya yang terlalu besar, terlalu kecil atau jenis huruf yang digunakan tak sesuai keinginannya. Bahkan pada hari kedua kerja, Icha harus membuat kopi berulang kali hanya karena manisnya menurut dia belum pas. Andre tak segan-segan melemparkan tatapan membunuh padanya, terkadang menggemeletukkan giginya saat geram dengan kelakuan Icha, kalau begitu Icha biasanya hanya bisa tersenyum terpaksa atau memilih kabur. "Om Andre pacaran sama tunangannya lama ya Tan?" "Olivia?" tanya Nadhifa, Icha mengangguk, ya Olivia adalah tunangan Andre yang meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya. "Mungkin sekitar dua tahun, hingga kemudian tunangan dan meninggal, Andre sudah tahu Olivia sakit sejak awal dekat. Namun sepertinya cinta mengalahkan logika. Dia tetap menginginkan pernikahan dengan wanita itu, dia support Olivia agar sembuh, namun takdir berkata lain, itu sebabnya dia sangat terpukul saat tunangannya meninggal dunia." "Om cinta banget sama dia kayaknya ya?" "Ya, tapi gak apa-apa sudah lama berlalu kok, dia pasti sudah bisa buka hatinya sekarang." Nadhifa mengusap punggung tangan Icha, Icha mendelik. "Kenapa tante ngomong kayak gini ke aku, kesannya aku naksir si Om?" sungut Icha dan lagi-lagi Nadhifa tersenyum misterius. "Hehe enggak apa-apa kok, udah lanjutin makannya." Icha manyun, usia yang terlampau jauh dari Andre membuatnya menghormati lelaki itu layaknya paman sendiri, mungkin kalau sama Kakak nya, Nanda mereka akan cocok. Kakak pertamanya itu sudah tiga kali gagal menikah dan kini entah bagaimana kabarnya? Karena sejak Dinda, kakak Keduanya meninggal dan membuat ibunya terpuruk, Nanda tak pernah lagi datang kerumah. Icha pun tidak terlalu dekat dengan wanita itu sehingga dia hanya sesekali bertegur sapa di chat saja. Setelah makan, Nadhifa mengantar Icha kembali ke kantor, hanya sampai lobby karena dia ada urusan lainnya. Icha melambaikan tangan saat mobil Nadhifa meninggalkan kantor. Dia berjalan riang menuju lift. Beberapa karyawan menyapanya, dan Icha membalas sapaan itu dengan wajah sumringah, semuanya disapa tak terkecuali, termasuk security dan petugas kebersihan. Membuat Icha cepat dikenal karena keramahannya. *** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN