"Saska, kau sudah pulang?" Seorang wanita paruh baya menghampiri keduanya yang terdiam di teras rumah. Wanita itu terlihat masih muda, meski usianya hampir kepala enam. Dan wanita itu tak lain adalah ibu dari Saska. "Wah, kau membawa seorang gadis?" serunya saat melihat Ara dengan jelas.
Ara terdiam dengan pandangan terpaku pada ibu Saska. Wajahnya mirip dengan Saska namun terlihat kalem dengan sorot matanya yang teduh. Entah kenapa ia begitu terpaku pada sorot mata itu. Dan ternyata tak lain karena mengingatkannya pada mendiang sang ibu. Bahkan ia baru melihat dan bertemu ibu Saska, tapi ia merasa sosok keibuan ibu Saska seakan terpancar.
"Wah, kau cantik dan manis sekali, siapa namamu, Nak?" sapanya pada Ara yang tak melepas pandangan darinya.
Saska mengernyit heran, padahal sebelumnya menolak, tapi kenapa saat bertemu ibunya, Ara hanya diam?
"Ara, Kianara Pradisti," jawab Ara dengan suaranya yang kecil. Sampai tepukan kecil Saska pada bahunya seketika menyadarkannya.
"Ara? Nama yang cantik," puji ibu Saska. "Namaku Aindra, dan aku ibunya Saska. Ayo kita ke dalam," ajaknya dengan merangkul Ara masuk ke dalam rumah. Dan entah seakan dihipnotis, Ara dengan pasrah mengikutinya.
Saska merasa heran, Ara menurut begitu saja, apa karena takut? Tapi sepertinya tidak. Memilih mengabaikannya, ia segera mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Karena ibunya telah menyambut Ara, ia memutuskan segera menemui ayahnya.
***
"Hm …." Pria paruh baya itu menghembuskan nafas berat. Ia tak menyangka putra bungsunya memberinya kejutan di siang bolong. "Kau yakin dia wanita baik-baik?"
"Hn. Kami sama-sama baru pertama kali melakukannya," jawab Saska dengan tenang namun suaranya begitu jelas. Ia menemui sang ayah dan mengatakan tujuannya untuk menikah karena tanggung jawab. Ia juga menceritakan apa yang terjadi tanpa ada yang ditutup-tutupi, kecuali adegan panas mereka di atas ranjang. Juga menambah sedikit bumbu dengan mengatakan bahwa Ara telah hamil.
"Kapan?"
"Secepatnya," jawab Saska mantap.
Ayah Saska hanya diam dan kembali menikmati kopi hitam panasnya. Ia memang menunggu Saska mengatakan ini. Dan ia tahu seperti apa anaknya, maka dari itu ia percaya dengan pilihan Saska. Baginya tak masalah Saska menikah dengan wanita manapun. Saska sudah berhasil mengemban amanatnya dan ia yakin Saska bisa menghandle masalah kehidupan rumah tangganya dengan memilih wanita yang tepat. Saska selalu memiliki perhitungan yang tepat dalam berbisnis dan pasti juga dalam hubungan percintaannya.
Sementara di tempat Ara sendiri ia merasa dibohongi. Kenapa? Karena ibu Saska benar-benar berhasil memanipulasi data dengan baik. Ia kira ibu Saska adalah wanita yang lemah lembut, penuh kasih, dan keibuan. Jika seperti itu, mungkin bisa membantunya lepas dari paksaan anaknya. Sayangnya, semua tak sesuai ekspektasinya.
"Kyaaa, ibu senang sekali akhirnya Saska membawa wanita ke rumah ini," seru ibu Saska dengan berbinar menatap Ara yang kini duduk tepat di hadapannya. Bahkan ia sampai memeluk Ara seakan Ara adalah mainan baru untuknya. "Berapa usiamu? Dimana rumahmu? Kau anak keberapa? Bekerja? Atau masih kuliah? Berapa lama pacaran dengan Saska?" Runtutan pertanyaan membanjiri Ara yang seakan ingin pingsan. Ekspektasinya hancur-sehancurnya.
"Hah …." Saska mendesah berat saat mendapati ibunya mengeluarkan sifat aslinya. Ia menghampiri keduanya yang duduk di satu sofa yang sama di ruang tengah. "Kau membuatnya takut, Bu," ucapnya pada sang ibu yang masih berbinar dan antusias.
"Kau datang di waktu yang tepat. Kebetulan sekali ibu memasak banyak, ayo kita makan siang bersama." Mengabaikan Saska, ibu Saska menyeret Ara menuju ruang makan.
Ara ingin menangis, ibu Saska terlihat anggun dan kalem tapi nyatanya benar-benar ibu-ibu yang tak bisa diam dan terlalu berlebihan.
"Ck." Saska berdecak dan memijit pangkal hidungnya. Ibunya benar-benar ….
Sesampainya di dapur, ibu Saska mendudukkan Ara di kursi dan mengambilkan piring untuknya. Sesekali ia terus bertanya dan tersenyum sumringah. "Jadi, bisa ceritakan pada ibu kapan kalian mengenal?" tanya ibu Saska kembali dengan mengambilkan nasi untuk Ara. Kemudian mengambil lauk pauk hingga memenuhi piring.
Ara bingung harus menjawab apa. Apa ia jujur saja bahwa ia telah jadi korban pemerkosaan anaknya? Tapi tidak, pasti wanita di hadapannya ini akan menyuruh anaknya bertanggung jawab, dilihat dari sifatnya yang tak terduga. Atau apa ia bilang saja tak mau menikah? Ya! Sepertinya itu patut dicoba.
"Sebelumnya aku minta maaf, Bi, aku bukan kekasihnya. Dia yang memaksaku datang kemari," jawab Ara dengan memasang wajah sedih. Mungkin ini saatnya ia berakting.
Tak!
Ayam goreng yang masih di udara jatuh ke meja saat ibu Saska mendengar apa yang Ara katakan.
"Apa? Apa maksudmu?" tanyanya menghiraukan ayam gorengnya yang jatuh sia-sia. Biarlah, bisa jadi itu rejeki kucing tetangga yang sering main ke rumahnya.
Ara hendak menjawab, namun sebelum sempat Ara berucap, Saska datang, menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
"Saska, jelaskan apa yang dimaksud wanita ini!" tanyanya menuntut kejelasan.
"Aku sudah menghamilinya. Jadi aku harus bertanggung jawab," jawab Saska enteng seakan tanpa dosa.
Mata Ara melotot tak percaya akan apa yang ia dengar. Ia menatap marah pada Saska dan hendak menjelaskan, namun Saska segera mendekat dan berbisik di telinganya.
"Jika kau mengatakan hal macam-macam, kupastikan tak akan ada satu perusahaan pun di kota ini yang mau menerimamu," ancam Saska. Ia tahu bahwa Ara tengah membutuhkan pekerjaan. Tian sempat menghubunginya dan menanyakan keberadaannya dan Ara. Dan dengan bodohnya Tian memohon agar Ara bisa bekerja di perusahaannya. Tian khawatir jika Ara telah membuat suatu kesalahan pada Saska sementara ia tahu Ara benar-benar membutuhkan pekerjaan.
Ara menggigit bibir bawahnya kuat, entah kenapa ia percaya bahwa Saska bisa melakukannya. Andai saja ia bukan wanita yang kuat, ia pasti sudah menangis sekeras-kerasnya sekarang.
"Benarkah kau hamil? Lalu apa maksud ucapanmu tadi?" Ibu Saska menatap Ara menyelidik. Saat ini ia seperti tengah berada dalam mode sanin.
Ara semakin menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Rasanya kehidupan ini tak adil untuknya. Tante dan kekasihnya mengkhianatinya, kemudian ia bertemu Saska yang b******n, dan sekarang dihadapkan dengan ibu Saska yang seperti hakim yang siap memberinya hukuman setimpal atas apa yang ia lakukan.
Tes … tes … tes …
Akhirnya, air mata yang telah ia tampung sebelumnya kini tak sanggup lagi menahan derasnya aliran. Ia mengusap air matanya kasar dengan sesekali terisak. "Apa salahku? Hiks … hiks … ayah, ibu, bawa aku bersamamu. Dunia ini hanya dihuni manusia kejam, hiks … hiks …." racaunya. Ia lelah, benar-benar lelah dengan kehidupannya yang menyedihkan.
Saska terkejut, sebelumnya Ara berusaha menahan tangisnya saat ia mengancamnya, tapi kenapa sekarang justru ia menangis seakan benar-benar teraniaya?
"Aku hanya ingin mengambil kembali apa yang harusnya jadi milikku ... hiks ... tapi kenapa aku harus mendapat cobaan seberat ini? " Ara kembali meracau dengan menutup wajahnya menggunakan tangan. Ia tak peduli pada Saska yang menatapnya aneh, atau pada ibu pria itu. Ia hanya ingin semua sesuai rencananya. Ia tak mau menikah sebelum mengambil alih miliknya.
"Sepertinya ia memang belum siap, Saska. Bawa ia ke kamar dan bicaralah baik-baik." Melihat Ara menangis dan meracau membuat ibu Saska berpikir bahwa Ara memang tengah hamil dan mengalami tekanan. Ia pernah muda, mengandung kakak Saska saat usianya masih muda pula dan mengalami hal serupa seperti Ara. Pasti Ara masih ingin bebas tanpa adanya seorang anak.
Saska mencoba memapah Ara menuju kamarnya meski sesekali Ara menolak. Bahkan jarak kamar yang hanya beberapa kamar dari dapur saja rasanya ditempuh dengan waktu yang lama. Ia segera mendudukkan Ara di tepi ranjang dan berdiri di hadapannya karena tidak tahu harus melakukan apa.
"Kau! Semua salahmu. Kenapa aku harus bertemu denganmu? Hiks … hiks …seharusnya kau melepasku. Apa salahku padamu?!" lirih Ara yang masih saja menangis. Sementara Saska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia lemah di hadapan gadis yang berurai air mata. "Kau pria egois, jahat, kejam, b******n, sialan, kurang ajar!" maki Ara dan memukul Saska semampu yang ia bisa.
Merasa Ara sudah berlebihan, akhirnya Saska menahan kedua tangan yang berusaha memukulnya dan mendekap tubuh Ara kemudiam menciumnya. Ara menolak namun kepalanya ditahan oleh Saska.
Saska melepas ciuman itu dan menatap Ara dengan pandangan sulit diartikan. "Maaf." Satu kata itu akhirnya terlontar dari mulutnya. Namun sayang, bahkan ribuan kata maaf pun, tak akan merubah semuanya. Tak akan merubah status Ara kembali menjadi perawan, dan tak akan merubah apa yang pernah mereka lakukan. "Aku melakukan ini karena ingin bertanggung jawab padamu," ujar Saska dengan ibu jari mengusap lembut bibir Ara kemudian mengusap air mata yang masih membasahi pipi. "Aku tahu kau wanita yang baik. Jika kau hamil kau tak akan menggugurkan bayimu, tapi itu adalah kesalahanku dan aku tak bisa lepas tanggung jawab," ungkap Saska dengan jelas. Sorot matanya berbeda dengan sebelumnya saat dimana ia mengancam Ara dalam mobilnya. Dan Ara tidak tahu kenapa, sorot mata itu seakan menyeretnya untuk bertekuk lutut.
"Jika aku tak tertukar apartemen denganmu, apa kau juga akan menikahi wanita itu?" tanya Ara yang mulai lebih tenang.
"Tentu saja tidak. Dia wanita panggilan, entah sudah berapa banyak s****a pria yang tertanam di rahimnya. Kau berbeda, aku pria pertama yang menyentuhmu. Jadi aku akan bertanggung jawab padamu," jelas Saska kembali. Ia bisa menjadi pria sedingin es, namun bisa juga menjadi pria penuh kharisma seperti sekarang ini. "Kau bilang kau ingin merebut kembali milikmu? Katakan apa itu, aku akan membantumu. Tapi kau harus menikah denganku," imbuhnya tanpa ada rasa ragu. Mungkin ia memang harus berbicara dengan kepala dingin agar Ara diam dan mengerti.
"Kenapa kau bersikeras ingin menikahiku?"
"Pertama karena aku harus menikah. Kedua, karena kau menjaga kehormatanmu yang pasti hanya untuk calon suamimu dan aku telah mengambilnya darimu. Ketiga, perasaanku mengatakan aku harus menikahimu." Adalah beberapa alasan yang mendasari keputusan Saska. Namun bukan hanya karena itu, ada satu hal, satu poin dan satu alasan yang merupakan alasan utamanya.
"Kau benar, seharusnya aku memberikan kehormatanku pada calon suamiku, orang yang kucintai. Tapi kau merampasnya dariku," teriak Ara yang kembali teringat malam itu.
"Cinta bisa datang belakangan, yang pertama adalah tanggung jawab. Jadi, bagaimana tawaranku?"
"Aku tak butuh bantuanmu. Aku bisa melakukannya sendiri. Sekarang, izinkan aku pergi," mohon Ara dengan sangat. Rasanya ini lebih mudah dan lebih tenang daripada menggunakan kekerasan dengan Saska. Dan itu artinya, Saska masih memiliki sisi kebaikan. Sudah jelas bukan? Bahkan ia yang bersedia bertanggung jawab sudah mampu menjadikan bukti bahwa ia pria baik-baik.
"Baiklah. Jika itu maumu, tapi ada syarat yang harus kau penuhi."
"Apa?"
"Tunggu beberapa minggu lagi, jika kau hamil kita harus menikah. Jika tidak kau boleh pergi dan bebas." Akhirnya Saska mengalah, sepertinya air mata Ara berhasil menghipnotisnya mengeluarkan sifat aslinya yang sesungguhnya. Selain itu ia yakin bahwa ia akan menang.
"Baiklah. Tapi kau harus tepati janjimu." Ara berucap dengan serius dan bersungguh-sungguh.
Saska mengangguk kecil. Dan kembali mengajukan persyaratan. "Tapi kau tak boleh membohongiku. Jika kau hamil dan berani menggugurkannya, akan kubuat kau menyesal seumur hidupmu," ucap Saska dengan sorot mata yang tajam, suara yang padat, dan kejelasan setiap kata yang kini mengisi file memory di otak Ara.
TBC ....