Part 4: Wake Up!

1740 Kata
Sean memasuki kamarnya dengan kelelahan yang tercetak jelas di wajahnya. Rapat pimpinan yang dilaluinya tadi siang tidak berjalan dengan lancar. Sean sudah cukup kewalahan memimpin tiga perusahaan raksasanya dan sekarang dia harus menambah pekerjaannya dengan memimpin D'TV. Sean tidak bisa diam jika usaha yang ia bangun sendiri gagal. Carlos Derald telah membangun perusahaan konstruksi, tambang dan elektronik dengan sukses dan berkembang menjadi perusahaan raksasa di NYC. Dan Sean yang sejak berumur sembilan belas tahun, telah berhasil membangun D'TV dan DM tanpa bantuan dari Sang Ayah. Jika banyak yang berpikir Sean semasa remaja hanya tau bagaimana cara foya-foya dan bermain wanita, maka mereka salah. Setiap uang yang diberikan oleh Carlos pada Sean sejak Elementary school, selalu Sean simpan dan digunakan secukupnya. Hingga Sean menginjak bangku High School, Sean menggunakan uang tabungannya sebagai modal usahanya. Carlos dan Amelia sangat mendukung usaha puteranya dengan doa-doa yang selalu dipanjatkan mereka setiap membuka dan menutup mata setiap harinya. Hingga D'TV menjadi dikenal setiap orang dan menjadi stasiun favorite warga NYC, Sean kembali membangkitkan namanya dengan membangun DM di usia mudanya.  Pada usia 21 tahun, nama Sean menjadi trending topic di kalangan pengusaha ataupun sosialita karena kembali membangun D'Resort dan D'Fun World yang sekali lagi sukses di tangannya. Para pengusaha di NYC maupun di luar sangat mengakui kehebatan dari seorang Sean. Mereka yang menyaksikan sendiri bagaimana anak muda itu merangkak terjatuh di usahanya dan bangkit menjadi kuat dengan kaki-kakinya.  Hingga pada sebuah pesta yang di adakan untuk kesuksesan keempat perusahaan Sean, sebuah kejutan kembali membuat pengusaha NYC menganga tidak percaya. Sean memperkenalkan dirinya di atas panggung megah sebagai Sean Derald dengan Carlos Derald serta Amelia Derald di sampingnya. Para pengusaha selalu pensaran dengan makna D' di depan setiap nama perusahaan Sean, namun mereka tidak berani berpikir jauh dan hanya mengira bahwa itu seperti kata 'The'. Siapa sangka bahwa arti sesungguhnya dari D' adalah Derald. Sebuah nama yang membuat siapa saja meneguh salivanya dengan susah. Tetapi kini, perusahaan pertama yang dibangun Sean terancam hancur. Sean jelas tidak akan tinggal diam menerimanya. Segala sesuatu yang telah digenggamnya takkan dia lepaskan dengan mudah. Semuanya harus sempurna. Sean menyalakan saklar lampu kamarnya dan terpaku beberapa saat sebelum ia menghela napas berat. Ia lupa jika kamarnya kini berpindah ke lantai dua dan kamar ini -yang dulu ditempati Sean di lantai satu- menjadi kamar Sara. Sean memperhatikan dekorasi kamar Sara yang sangat simple. Terlalu simple. Hanya sebuah ranjang, meja rias, sofa dan meja kecil di sudut ruangan. Setiap kamar di apartment Sean sudah ada ruangan khusus pakaian dan lain-lain.  Sean melangkahkan kakinya mendekati ranjang dimana terlihat Sara yang sedang tertidur nyenyak. Tentu saja gadis buta itu sudah tertidur, ini sudah jam dua belas malam.  Bersyukurlah kakimu itu sedang sakit, jika tidak kau akan aku bangunkan untuk bermain. Batin Sean. Sean menyibak selimut bawah Sara yang memperlihatkan kaki jenjang Sara dengan pergelangan kaki kanan yang terbalut perban. Sean mencoba memegang area yang terperban itu dan menekannya. Kaki kanan Sara bergerak tidak nyaman menjauh dari pegangan tangan Sean, namun matanya tidak terbuka. Menandakan bahwa Sara masih tertidur lelap.  Sean menutup selimut itu kembali dan meninggalkan kamar Sara. **** "Astaga! Charles pasti sudah gila. Jadi dia serius melakukannya? Menukar puterinya dengan uang sialan itu?" Pekik Irene tidak percaya. "Kau sudah melihat dimana aku sekarang Irene, kurasa aku tidak perlu menjawabnya lagi." Balas Sara lemah. Tadi pagi Irene menelponnya seperti biasa hanya untuk mengecek kondisi Sara. Dan Sara tidak pernah menutupi segala hal pada Irene, ia percaya padanya. Sara menceritakan semua yang terjadi padanya kepada Irene dan akhirnya menjadi seperti ini. Irene dengan entah kekuatan super apa telah ada di hadapan Sara dalam beberapa puluh menit saja. Irene dan Sara bertemu di apartment Sean karena Sara tidak bisa keluar dengan kondisi kakinya yang masih sakit jika berjalan kelamaan.  "Aku pikir itu hanya wacana. Kau tau bukan ada beberapa jenis orang yang suka mengancam namun tidak melakukannya. Aku tidak percaya kalau Si Tua Bangka itu serius melakukannya." Sara menghela napas panjang. Jujur, ia juga tidak percaya dengan segala kondisinya saat ini. Entah apa yang akan kembali dihadapinya nanti. Namun entah kenapa, Sara merasakan firasat buruk. "Sara, apa orang itu melakukan hal buruk padamu?" Irene menggenggam tangan Sara yang berada di hadapannya. "Tidak Irene. Belum kurasa. Kau jelas tau untuk apa aku berada disini. Apalagi dengan kondisi kakiku sekarang, aku rasa dia tidak akan melakukan hal buruk padaku." Jawab Sara pasrah. "Kalau begitu aku akan berusaha mencari jalan keluar untukmu dari sini." Tekad Irene. "Irene, kau tidak perlu melakukannya. Aku sungguh sudah sangat merepotkanmu." Lirih Sara menundukkan kepalanya. "Apa yang kau katakan Sara? Pernahkan aku bilang bahwa kau merepotkanku? Aku melakukannya karena aku ingin dan kau adalah sahabatku. Tidak mungkin aku membiarkanmu disini tersiksa dan tersakiti. Jika dulu ayahmu, aku tidak bisa melakukan apapun. Tapi kali ini berbeda. Aku akan mencari cara Sara. Kau harus percaya padaku." Tegas Irene lagi. Sara hanya tersenyum tipis menjawab. Ia sangat tau tidak mungkin ia bisa mengalahkan kekerasan kepala Irene sekarang. "Tapi Irene, apa kau tidak bertanya siapa pemilik apartment ini?"  Irene memperhatikan seluruh interior, perabot dan luas apartment tersebut dengan seksama. Irene yang merupakan seorang designer jelas tau kualitas-kualitas dari perabot di apartment ini. Walau dia designer wedding dress, tetapi banyak pelanggannya yang berasal dari golongan atas dan sering menggundangnya ke acara-acara mewah.  "Dia pasti sangat kaya. Lihat saja perabot-perabot ini, aku bisa melihat mereka menyombongkan diri dihadapanku sekarang seperti mengejek apa aku mampu membelinya." Komentar Irene sambil menepuk pelan meja di hadapannya.  Sara tersenyum tipis mendengarnya. Sara memang tidak bisa melihat, tapi ia sudah bisa menebak bagaimana isi rumah orang kaya seperti Sean. Karena Sara juga pernah melihatnya. Rumahnya. Rumahnya bersama kedua orangtuanya yang selalu hangat dan bahagia. "Aku rasa kau yang terlalu merendahkan diri Irene. Siapa yang berada di hadapanku sekarang? Irene Eugene, designer muda yang terkenal karena merancang gaun pengantin terbaik di NYC." Ucap Sara dengan senyuman yang mengembang dan kedua tangan yang merentang memperkenalkan sahabat baiknya. "Kau berlebihan Sara. Itu bukan yang terbaik di NYC." Irene tersenyum lebar. "Aku sedang mempersiapkan yang terbaik dari yang terbaik" Lanjut Irene berbisik. "Hmm. Aku harus pergi sekarang Sara. Nanti aku hubungi lagi, ok?" Pamit Irene setelah melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 1 siang. Mereka bercerita hingga hampir lupa waktu. "Ok. Ingatlah istirahat dan makan. Kau sering melewatkannya." Irene beranjak berdiri dari sofa yang sejak tadi didudukinya dan membereskan barangnya yang sempat ia keluarkan tadi.  "Iya Sara. Aku akan mengingatnya." Irene menggandeng tangan Sara berjalan ke arah pintu apartment. Irene jelas tau kebiasaan Sara yang akan selalu mengantarnya hingga pintu rumah jika ia datang berkunjung.  Sara membalikkan badan dan berjalan pelan dengan hati-hati dan susah karena kakinya yang masih sakit. Sara mengingat bahwa sejak pagi, ia sudah tidak bertemu dengan Sean. Padahal Sara bangun cukup awal yaitu jam 7 pagi. Apa dia memang berangkat kerja sangat awal begitu? Batin Sara. **** "Jadi Bi Linda baru bekerja dengan Sean hari ini?" Tanya Sara penasaran. Sekarang ia sedang duduk di kursi pantry dapur. Ia dan Bibi Linda sudah berkenalan secara singkat dan ternyata Bibi Linda berasal dari negara tropis, Indonesia. Panggilan 'bibi' disana bisa di gunakan sebagai derajat dalam keluarga seperti 'auntie' atau panggilan sopan pada orang yang lebih tua. Orang Indonesia biasa menggunakan panggilan itu terhadap pekerja di rumah mereka. Jadi Sara hanya mengikutinya karena menurutnya memang terasa lebih sopan. "Secara lansung iya. Bibi dulu bekerja di kediaman utama khusus melayani Mrs.Derald." Jawab Linda sopan sambil menuangkan masakan dari panci ke piring. "Ohh. Tapi, jika Bibi sekarang mengurusku disini, siapa yang akan melayani Mrs.Derald?"  "Beliau sudah tidak ada Nona." Linda menjawab dengan sopan namun tidak mampu menyembunyikan nada suaranya yang sedih mengingat jujungannya yang sangat ia hormati. Sara terdiam mencerna. "Sudah tidak ada? Itu.. Apa itu.. artinya.. be- liau sudah mening- gal?" Tanya Sara dengan hati-hati takut salah menyebutkan kata. Bagaimanapun kata itu cukup sensitif. "Benar Nona." Linda menghembuskan napas pelan menerima. "Senang membicarakanku?" Sahut sebuah suara membuat Sara melompat berdiri dari kursinya dan lansung terjatuh ke lantai kesakitan. Ia lupa kakinya masih terkilir. "Hei! Berhati-hatilah! Apa hobbymu itu terjatuh terus?" Sean berjalan mendekati Sara dan membantunya berdiri, mengangkat tubuh Sara dan mendudukkannya kembali ke kursi pantry. Sara merintih kesakitan ketika Sean menyentuh kaki kanannya yang masih terperban. "Apa kau berencana membuat kakimu lumpuh? Kenapa kau tidak tinggal diam di kamarmu dan tidak berjalan kesana-kesini? Kau tau kau sering terjatuh. Kau belum mengenali apartment ini." Ceramah Sean dengan kesal dan marah. Tapi entah kenapa rasa sakit di kaki Sara menghilang, dan sekarang Sara sedang berusaha menahan senyumannya yang ingin melebar.  "Bi Linda, apa kemarin kau memanggilkan dokter untuknya? Apa yang dia bilang?" Sean mendudukkan dirinya di kursi pantry samping Sara dan menatap lauk makan malamnya yang sudah sebagian besar telah siap. "Saya tidak memanggil dokter Tuan." Jawab Linda sambil meletakkan lauk terakhir pada meja pantry. Makanannya telah siap. Sean yang baru saja ingin mengambil lauk makanannya terhenti dan menatap Linda dengan tatapan tajam. Linda hanya menundukkan kepalanya meminta maaf. Sean menghempaskan sendok makannya ke piring hingga menimbulkan suara bising yang nyaring. Sara hampir tersedak makanan di dalam mulutnya.  "Bukankah seharusnya kau memanggilnya? Kakinya bahkan tidak sembuh-sembuh!" Bentak Sean keras. "Sean. Aku yang menyuruhnya untuk tidak memanggil dokter. Aku baik-baik saja." Ucap Sara sambil merabakan tangannya ke samping meraih pergelangan tangan Sean, mencoba menangkan emosinya. "Kau yang menyuruhnya?" Tanya Sean dengan suara yang lirih tetapi tajam. Sara menganggukkan kepalanya pelan. Ia seperti merasakan aura yang sangat dingin di sekitarnya. Sean terkekeh sinis sambil melepaskan tangan Sara pada pergelangan tangannya dengan kasar. Sean beranjak berdiri dari kursi pantrynya dan hendak melangkah menjauh, namun sebuah tangan menahannya. Sara memegang lengan Sean cukup erat. "Sean, kakiku baik-baik saja. Mungkin dalam satu minggu kakiku akan kembali normal." "Sara. Ku rasa kau mulai lupa dengan siapa kau dan untuk apa kau berada disini." Ucap Sean pelan namun begitu menusuk. "Apa kau berpikir bahwa aku mengkhawatirkanmu? Apa kau pikir aku peduli dengan kakimu? Kau.. tidak mungkin memikirkan seperti itu bukan? Karena jika iya, kau benar-benar gadis buta tidak tau diri." Tangan Sara yang masih menggenggam lengan Sean erat, kini bergetar. Cengkramannya pun semakin kuat. Namun itu tidak berarti apa-apa bagi Sean.  "Aku membelimu dari pengusaha atau Ayah bodohmu itu dengan harga yang sangat-sangat mahal. Aku membelimu bukan sebagai pajangan di apartmentku. Aku membelimu sebagai pemuasku." "Oh tidak. Ku rasa kau tidak mengerti arti kata 'pemuas' heh? Biar kuperjelas, Kau adalah jalang! Kau adalah jalang yang kubeli dari seorang pria tua bodoh. KAU TIDAK LEBIH HANYA SEORANG JALANG DIMATAKU!" Sean menghempaskan cengkraman tangan Sara dari lengannya dengan keras dan kasar hingga tubuh Sara yang terduduk ikut terjatuh ke lantai karena hempasan itu. "Jadi jangan berharap lebih. Kau terlihat menyedihkan, bitch." Ucap Sean sebelum meninggalkan Sara yang meneteskan air matanya deras.  Sara bisa meraskan tubuhnya yang sakit menyentuh lantai, dan kakinya benar-benar perih. Namun yang membuat Sara menangis saat ini adalah kebodohannya. Kebodohannya yang membawanya ke fantasi liar dimana ia berpikir ialah sang puteri, sang pemeran utama yang dikabarkan akan selalu bahagia bersama pangerannya.  Happy Ever After. Kalimat bodoh yang sempat Sara percayai. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN