Damian dan Amanda melalui hari-hari bahagia dalam hidupnya, hubungan mereka semakin baik. Apalagi kedua orangtua Amanda begitu menghormati Damian.
Pekerjaan di kantor terselesaikan dengan mudah, tak ada hambatan sejauh ini, bahkan Damian telah mengembalikan mobil Tomi yang telah di pakainya beberapa hari.
“Terimakasih, Pak. Saya kembalikan mobilnya dalam keadaan baik.”
Tomi tersenyum dan menggapainya.
“Sama-sama. Bagaimana dengan rencana liburan bulan madu kalian?”
Damian tertegun mendengarnya, sikap Tomi membuatnya tak biasa.
“Kami tidak akan mengambil cuti, Pak. Sudah cukup kebaikan perusahaan yang memberi pengertian untuk meliburkan teman-teman.”
Tomi tersenyum dan memainkan kunci mobil di tangannya. Lelaki itu telah berkorban banyak sejauh ini.
“Sebenarnya saya dan Amanda adalah sahabat baik, Dam. Terlepas kalian bekerja di kantor saya atau tidak, saya pasti akan memberikan kado pernikahan untuk kalian.”
Damian terdiam sejenak. Dia tak pernah melihat seorang Bos yang begitu pengertian dengan karyawannya melebihi bosnya sekarang.
“Bulan madu ke eropa, itu adalah cita-cita Amanda saat kami kuliah dulu. Jadi, ini adalah hadiah dari seorang teman.”
Tatapan teduh dengan wajah bersahaja.
Damian menyadari sesuatu, sorot mata Pak Tomi tidak menggambarkan pengorbanan seorang teman melainkan seorang yang memiliki perasaan yang lebih.
“Maaf, Pak. Bukannya saya menolak. Saya dan Manda sudah putuskan untuk tidak mengambil cuti lagi. Bapak bisa bicarakan sama Manda nanti. Kalau begitu saya pamit untuk bekerja, Pak.”
Damian keluar dengan perasaan yang kacau. Persiapan pernikahan kemarin dilakukan begitu sempurna, dia tidak berpikir apapun selain menganggap atasannya itu berhati malaikat.
Damian masuk ke dalam ruangannya, menghilangkan segala pikiran keliru di kepalanya.
Tomi merenggangkan dasi yang serasa mencekik di lehernya, dia menekan tombol telepon yang langsung tersambung dengan meja sang sekertaris.
“Halo, Pak Tomi,” ucap Dita di ujung sana.
Dita adalah sekertaris Tomi. Tepatnya, seorang yang asing yang mengetahui perasaan atasannya.
“Halo, Ta. Tolong minta Bu Amanda segera ke ruangan saya.”
“Baik, Pak.”
Beberapa menit kemudian, Manda muncul di balik pintu setelah mengetuk pintu dua kali.
“Selamat siang, Pak. Bapak manggil saya?” ucap Manda sopan.
“Masuk lu, nggak usah sok jadi anak baik,” ucap Tomi dan berjalan menuju sofa yang ada di ruangan itu.
“Hem, bukan sok baik. Ya karena lo emang atasn gue, Tom.”
“Iya, gua paham. Gua nggak lupa ingatan, Manda. Oh iya selamat atas pernikahan kalian, sebagai sahabat lo yang baik hati dan ganteng kayak Tomi Kurniawan.”
“Narsis lu!” sahut Manda geli.
“Apaan, emang ganteng. Lu aja yang nggak nyadar.”
“Iya, lanjutin aja, Tom.”
Tomi merasa bodoh melakukan hal ini, cinta benar-benar membuatnya buta.
“Gua mau ngasih lo hadiah liburan untuk bulan madu ke eropa, baik kan gua.”
Tomi memuji dirinya sendiri di depan Manda.
“Serius, Tom? Lo nggak lagi ngeprank gue kan?”
Tomi mengangguk mantap, dia sangat senang melihat reaksi Amanda yang langsung speecles dan memeluknya.
“Serius dong gue, apa yan nggak buat lo, Manda. Lo bisa liburan dan pergi ke tempat dimana lo impi-impikan sejak dulu.”
Amanda semakin mengeratkan pelukannya.
“Thank you, thank you so much, Tom. Tapi, sayangnya gue nggak bisa nerima.”
Tomi mengerutkan keningnya.
“Maksudnya, k-kenapa? Lo sama Damian tinggal jalan aja, semuanya udah gua siapin sampai ke hal terkecil. Lo nggak perlu khawatikan apapun.”
Amanda tersenyum dan melerai pelukannya.
“Gue tahu, lagian dari kemarin. Lo udah memberikan yang terbaik, gue nggak akan bisa balas semua kebaikan lo, Tom.”
“Lo ngomong apaan sih? Kayak ama siapa aja tau nggak lo. Lu kan dari dulu emang kerjanya nyusahin gua,”
“Iya, makanya gua nggak enak hati sampai sekarang, lagian Damian orangnya ngga suka hutang budi.”
Tomi terdiam sejenak, dia merasa kecewa dengan jawaban Amanda.
“Baiklah, terserah kalian saja. Gua juga nggak mungkin maksain buat yakinin elu kan.”
“Tom,” Amanda sangat mengenalnya, reaksi Tomi saat ini membuat Amanda sadar bahwa dia telah melukai hati sahabatnya itu.
“Nggak apa-apa, santai saja. Lo bisa balik ke meja kerja lo sekarang.”
Amanda akan mendekat tapi Tomi buru-buru berdiri dan kembali menuju ke mejanya. Amanda hanya bisa menghela napas, dia tidak ingin menciptakan jarak dengan lelaki itu.
"Tom, sebenarnya ada alasan lain kenapa gue nolak," ucap Amanda malu-malu.
"Maksud lo!" Tomi menatapnya heran.
"Gue nggak bisa terima hadiah lo sekarang, gue kewalahan Tom. Tenaga Damian buat gue nggak berkutik."
Wajah Tomi memerah, dia sangat mengerti maksud Amanda.
"Apa benar seganas itu?" ucap lelaki itu tanpa sadar.
"Tomi! Udah ah, gue malu. Gue kerja dulu, pokoknya sampai satu bulan ke depan, kalau perlu lo ngasih gue pekerjaan lebih jadi gue bisa lembur dan punya alasan kecapean."
Skat.
Tomi kehilangan kata-kata. Amanda tersenyum dan keluar dari ruangan sahabatnya itu.
Waktu makan siang tiba, Damian tidak keluar dari ruangannya dan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Lama menunggu, Amanda pun langsung menyusulnya.
"Beb, kita nggak makan siang?" tanya Manda saat membuka pintu ruangannya.
"Ah, enggak. Pekerjaanku banyak banget. Kamu makan siang sendiri aja, ya."
Manda cemberut dan menarik kursi di hadapan sang suami.
"Nggak ah, apa enaknya makan siang sendirian. Oh iya, tadi aku ketemu sama Pak Tomi."
Wajah Damian berubah bete.
"Terus,"
"Dia mau ngasih tiket perjalanan menuju eropa, semuanya di tanggung sama dia. Bener-bener deh Tomi, kejutannya nggak setengah-setengah."
"Jadi?" tanya Damian masih dengan raut wajah yang datar.
"Ya, aku tolak. Nanti aja deh kapan-kapan. Nanti karyawan lain pada ngirih lagi."
Damian meletakkan berkas di hadapannya.
"Baguslah, aku merasa perhatian Pak Tomi sangat berlebihan, kau tahu kan maksudku."
Amanda tersenyum melihatnya.
"Ayolah, Dam. Jangan bilang kamu cemburu. Tomi tu temen aku sejak SMA dan sampai kuliah, kami tu udah kayak saudara. Makanya dia perhatiannya emnag kayak kelewat baik gitu."
"Benarkah? Entahlah aku merasakan hal yang lain. Mungkin saja aku salah."
"Maksud kamu apa?" Amanda menatapnya tegas.
"Tidak, abaikab saja. Aku sangat pusing hari ini, kau tahu. Tantangan baru, jabatan baru. Aku harus mempelajarinya lagi. Aku harap kau mau mengerti, aku tidka bisa makan siang bersamamu sekarang."
"Oke, aku tidak akan memaksa. Ya, kita sebaiknya profesional, kita di kantor aku tidak boleh egois."