Chapter 40 desas-desus

1145 Kata
Damian termangu melihat Amanda mengejar Daniel keluar dari ruangan. Seolah wanita itu sangat menjaga perasaan Daniel dan mengabaikannya. “Apa yang kau tunggu, Dam? Sana kejar dia!” seru Tomi. Damian merasakan kecewa, hatinya terluka. Untuk pertama kalinya Amanda berpaling dan pergi begitu saja. “Kita disini untuk Arthur Company, bukan. Kita datang tidak untuk mengurus masalah pribadi.” Tomi tertegun mendengarnya. “Kenapa kau ini, kau tahu ini hanya taktik Daniel untuk merebut perhartian Amanda darimu.” Tomi tak peduli walau Pak Handoko kini menatapnya. “Ya, aku tahu.” Hilang kesabaran dengan Damian, Tomi memutuskan mengejar Amanda sendiri. Damian mengepalkan tangan, sadar jika rintangan yang sebenarnya bukanlah perceraian, melainkan orang-orang yang mengejar cinta Amanda. “Pak Handoko, anda tahu bagaimana surat kerja sama kita tertulis di atas materai, bukan. Sungguh saya tidak percaya jika uang dapat mengalihkan anda. Pengabdian dan kerja keras kami selama bertahun-tahun rupanya tidak ada artinya untuk Arthur Company. Jika saya jadi Pak Tomi, saya tidak akan pernah melirik ke perusahaan ini lagi walau Bapak termasuk klien penting.” Pak Handoko terkesiap di tempatnya, sisi lain seorang Damian yang tak pernah terlihat, membuatnya tertampar. “Permisi, jika lain kali anda berlaku curang. Saya harap, anda telah siap dengan dendanya,” ucap Damian membuat Pak Handoko tergagap. Puas melampiaskan kekesalannya, Damian pun meninggalkan ruangan. Beberapa staf menatapnya sungkan, tetapi Damian tidak peduki. Lelaki itu berjalan keluar dengan perasaan yang kacau. Amanda dan Tomi terlihat di sisi parkiran dan menatap ke arahnya, langkah Damian terhenti. Ragu untuk bergabung. Tomi terlihat berbicara dengan Amanda, wanita itu menatap dengan perasaan bersalah. Namun, yang ada dalam benak Damian adalah. ‘Sudah sejauh apa pertemanan yang di maksud Daniel hingga Amanda begitu mengkhawatirkannya?’ “Apa kau siap untuk berpaling, Manda? Aku sadar jika aku bukan siapa-siapa lagi. Tapi, tidak bisakah kau menunggu untuk bayi kita. Atau, curahkan kasih sayangmu pada janin yang ada dalam kandunganmu. Hanya beberapa bulan ini agar anak kita merasa di cintai,” Damian menangis dalam hatinya. Sungguh sikap Amanda membuatnya berkecil hati. “Damian! Apa yang kau lakukan disana! Cepat kesini!” panggil Tomi. Jarak di antara mereka cukup jauh, Damian mematung cukup lama membuat Amanda khawatir. Pandangan Damian terarah pada perut Amanda, pada calon bayi yang diapun belum tahu jenis kelaminnya. Perlahan, Amanda berjalan mendekati. Dan, Tomi masuk ke mobil untuk menjemput mereka. Damian menatap Amanda. Wanita itu, wanita yang sempat di milikinya dan sedang mengandung bayi darah dagingnya sendiri membuatnya meleleh hanya dengan melihat senyumannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana dengan kontrak kerja samanya?” Damian kembali tersadar. Lelaki itu menyerahkan berkas dan terlihat acuh. “Bukankah kau adalah sekertarisku? Kau harusnya mengurus semua ini bukan aku. Kau membuatku bekerja sendirian dan keluar begitu saja. Aku rasa aku tak membutuhkan pekerja sepertimu.” Amanda melongo dengan wajah kaget. “Tidak, aku tidak seperti itu.” Damian tak ingin hatinya semakin terluka, kendati Amanda akan memilih lelaki lain pada akhirnya. Dia ingin hatinya sadar untuk tidak berharap lebih. Tomi kini menjemput mereka, Damian memilih duduk di depan. Tak ada lagi adegan membukakan pintu untuk Amanda membuat Tomi menatap Damian. Setelah wanita itu masuk, mobil meninggalkan area perkantoran. “Kau bilang butuh sekertaris tempo hari, benar?” tanya Damian dingin. Amanda tercekat, jantungnya berdetak tak karuan. Tomi dengan santainya mengiyakan. “Ya, apa kau punya kandidat? Tadinya aku akan merekrut Anita untuk membantuku.” Damian menoleh dengan senyum samar. “Bagaimana jika kita bertukar sekertaris, aku butuh orang yang cekatan. Sekertaris yang kau utus untukku bahkan meninggalkanku saat meeting masih berlangsung.” Tomi menatap Amanda dari kaca spion. “Aku melakukan kesalahan. Aku tahu itu, maafkan aku.” Permintaan maaf Amanda diabaikan begitu saja. "Bahkan dia memotong pembicaraan atasannya tanpa permisi." Deg. Amanda tertunduk sedih. “Tidak, tidak. Aku tidak butuh sekertarismu. Kau tahu, jika dia bersamaku dia akan terus mengomel," ucap Tomi mencairkan suasana. Damian melonggarkan dasinya. Jengah dan melempar pandangan kearah jendela. “Kau tahu aturan dalam perusahaan kita, kau harus mengesampingkan masalah pribadi apalagi saat bertemu dengan klien. Tidak peduli kau bertemu dengan orang paling penting dalam, hidupmu. Kau tak boleh beranjak, kecuali kau sudah siap untuk kehilangan pekerjaan.” Amanda lagi-lagi terkesiap mendengarnya. Tomi memilih diam dan tidak ikut campur. “Dia bukan orang penting dalam hidupku, Pak. Aku mengejarnya keluar karena alasan hutang budi.” "Itu juga termasuk!" Kini Damian yang berbalik mendiamkannya. ** Tiba di kantor, Damian langsung menuju ke kantor tanpa menunggu Tomi dan Amanda. Sikapnya kini membuat teman seperjalanannya khawatir. “Lo tahu, Manda. Dia sangat keras kepala, sama persis kayak lo, sikap yang lo tunjukin ke Daniel sungguh membuat gua geleng kepala. Lalu, bagaimana dengan Damian?” ucap Tomi kecewa. Damian telah pergi dari sana. “Tom, tolonglah. Lo tahu masalah yang sebenarnya. Daniel tidak sepenting itu dalam hidup gue.” Tomi mengguncang tubuh Amanda dan memperingatkannya. “Kalau begitu, kendalikan diri lo, Manda. Kita telah berteman cukup lama, kalau lo menganggap gua penting, maka jauhi Daniel.” “Lalu, bagaimana dengan hutang-hutang gue, Tom?” Amanda tak kuasa menitikan air mata. “Tidak mungkin gue mengabaikannya seolah tak mengenali. Dia telah membantu keluarga gue lepas dari orang-orang suruhan yang nyakitin nyokab gue. Daniel baik, sejauh ini gue percaya padanya.” Tomi selalu menyerah dengan sikap Amanda yang selalu berkeras dengan keputusannya sendiri, “Terserah lo kalau begitu, gua nggak bisa maksa 'kan?” Tomi berjalan meninggalkannya. “Tunggu, janji apa yang lo maksud saat meeting tadi, janji dan urusan. Kenapa kalian seperti menyembunyikan banyak hal dari gue?” Tomi berbalik, hatinya perih melihat Amanda menangis. “Gua nggak punya hak untuk menceritakannya. Lo tahu, ini urusan antara mereka.” “Tom, kenapa lo berubah menyebalkan seperti ini, sih!” Tomi mendekatinya, menyeka airmata Amanda yang jatuh berlinang. “Berhenti menangis, yang lain akan melihat nanti. Gua nggak bisa cerita bukan berarti gua akan lihat lo terluka kan?” Tangis Amanda mulai reda, perlahan dia mengatur napasnya agar tetap tenang. “Gue harap lo satu-satunya yang percaya sama gue, Tom.” Tomi mendekapnya tanpa menyadari karyawan lain yang memerhatikan mereka dari jauh. “Lo tahu gua selalu percaya kan? Bahkan jika lo membicarakan kebohongan, gua akan tetap percaya.” Adegan di parkiran menjadi buah bibir di dalam kantor, para staf saling mencibir apa yang dilakukan Amanda. “Bukankah, dia masih istri Damian?” “Jika dia memang suka sama Pak Tomi, lalu kenapa menerima pinangan pak Damian?” “Iya, dia tu kayak kecentilan. Labil banget, denger-denger tuh. Bu Amanda sedang mengandung kan, lihat aja pas dia mual dan Pak Damian menunggu dengan sabar. Tapi, melihat sikapnya sekarang. Kita jadi ragu itu anaknya Pak Damian atau anaknya Pak Tomi?” “Hush!” Gonjang-ganjing terdengar riuh. Damian mendengar semuanya. Tadinya, dia akan keluar dari ruangannya. Tapi mendengar pembicaraan para staf, dia pun mengurungkan niat. Damian tak meragukan benih yang ada di dalam kandungan Amanda. Dia percaya jika itu adalah bayinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN