Amanda kembali ke mamanya, risih dengan Daniel yang mulai bergerak menyentuhnya.
“Kau mau kemana?” Daniel ikut berdiri saat Amanda meninggalkan bangku.
“Aku takut mama mencariku, sebaiknya kita kembali ke dalam.”
Daniel berjalan berdampingan dengannya.
“Kau takut padaku, akui saja. Aku bisa melihatnya.”
Amanda menelan salivanya dengan susah payah.
“Aku tidak pernah menyakiti orang, begitupun denganmu. Soal tadi aku minta maaf. Harusnya aku tidak menggenggam tanganmu.”
Daniel mengulurkan tangan bersiap untuk bersalaman. Keringat dingin membasahi kening Amanda, ragu untuk membalas lelaki itu.
“Kau tidak mau memaafkan aku?”
Seorang pelayan mendekati mereka.
“Maaf, Den. Nyonya memanggil untuk bergabung di meja makan.”
Daniel mengangguk sopan pada pelayannya itu.
“Terimakasih, kami akan segera menyusul.”
Pelayan itu pun berlalu setelah mendengar jawaban lelaki itu.
“Baiklah, Amanda. Apa yang bisa aku lakukan agar kau mau memaafkan aku?”
Amanda semakin tak nyaman dengan tatapan Daniel.
“Aku tidak tahu maksudmu, aku tidak marah atau merasa takut,” ucapnya berusaha mengakhiri pembicaraan ini.
“Benarkah? Kalau begini.”
Daniel mendekat satu langkah membuat Amanda melotot.
“Ha haa, raut wajahmu menggambarkan segalanya. Baiklah, mari kita masuk.”
Daniel melangkah lebih dulu. Amanda yang mengikutinya dari belakang memikirkan reaksi mamanya jika mengetahui apa yang terjadi sekarang.
“Daniel tunggu!” Amanda berjalan lebih cepat dan hampir saja terjatuh andai Daniel tidak menangkapnya.
“Hey, hati-hati. Kau bisa kehilangan bayimu jika kau ceroboh.”
Daniel dengan sigap menahan perut Amanda agar tidak menyentuh tanah.
“Auw,”
“Bangunlah, hati-hati.”
Daniel membantunya membersihkan pakaian yang terlanjur kotor.
“Aku tadinya ingin bersalaman denganmu.”
“Kau ini lucu, saat aku ingin menyalamimu kau tidak mau. Tapi, saat aku berbalik kau malah mengejar. Kau sungguh pribadi yang unik. Baiklah, mari bersalaman. Kita teman, kan?”
Amanda mengangguk pada akhirnya.
“Bagus, aku akan percaya jika kau menerimaku sebagai teman. Jika, setiap pertemuan kita kau akan menyapaku.”
“Eh.”
“Ada apa? Apa itu sulit?”
“Tidak, tapi.”
Amanda teringat dengan peringatan yang diberikan oleh Damian. Sementara Daniel kini menatapnya lekat membuat Amanda kembali merasa tidak nyaman.
“Baiklah, tapi jika hanya di luar jam kerja. Kau tahu, kita rival sekarang.”
Daniel terkekeh mendengar ucapan Amanda.
“Oke, aku suka bersaing denganmu. Kau sepertinya lawan yang tangguh.”
Perlahan tapi pasti Amanda menyukai keramahan lelaki itu.
“Ayo, masuk. Sebenarnya agak membosankan mendengar ibu-ibu saling mengobrol. Tapi, mau bagaimana lagi.”
Amanda ikut tertawa mendengarnya.
Acara makan malam berjalan meriah, lebih tepatnya Soya yang lebih mendominasi percakapan. Amanda tampak risih saat Alina sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Silahkan dinikmati jamuannya. Tidak perlu sungkan,” ucap Alina menyodorkan sup pada Amanda.
“Ini adalah makanan kesukaanku, berhubung mama pulang. Aku meminta secara khusus. Sungguh suatu kebetulan kau datang berkunjung.” Daniel melayani Amanda.
Soya merasa senang melihatnya, tetapi tidak dengan Alina.
“Dani, kau tak boleh memberikan makanan itu untuk ibu hamil. Apalagi di masa tiga bulan pertamanya.”
Makanan kesukaan yang di maksud Daniel adalah acar nanas.
“Benarkah, oh maaf. Aku tidak tahu, Amanda.”
Alina menjauhkan piring itu dan melayani Amanda dengan setulus hati.
“Kau harus menjaga pola makanmu, juga jenis makanan yang di tawarkan oleh orang kepadamu. Trimester pertama sangat menentukan, janin biasanya rentan. Aku mendapatkan pengetahuan itu dari ibu mertuaku.”
Amanda sangat menghargai perhatian Alina.
“Terimakasih, Tante.”
“Sama-sama.”
Amanda makan dengan lahap, Daniel masih memandanginya di saksikan dengan Soya dan Alina.
Beberapa menit kemudian, makan malam berakhir dan Amanda mendapatkan beberapa petuah dari Alina sebelum wanita itu pulang.
“Jangan terlalu banyak tidur siang, itu tidak baik.”
“Aku kerja kok, Tan. Jadi nggak sempet tidur siang.”
“Wah, kalau begitu kau tak boleh kelelahan.”
Soya merasa bangga telah mengajak Amanda, terbukti karena Alina terus mengajak putrinya mengobrol.
“Jeng, kami pulang dulu. Kapan-kapan kami pasti main kesini lagi.”
“Ya, hati-hati.”
Amanda menyalami Alina dan memasuki mobil. Soya tak hentinya tersenyum. Bagaimana tidak semua berjalan sesuai dengan rencana.
**
Waktu berlalu dengan cepat, setelah acara makan malam saat itu. Soya bersikap manis dengan menyediakan makanan untuk putrinya.
Sikapnya yang tak biasa membuat suami dan Amanda sendiri merasa heran.
“Selamat pagi, mama sudah buatkan sarapan yang bergizi untukmu. Ayo, sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor.”
Rama dan putrinya saling berpandangan, masalahnya mereka tak memakai jasa asisten rumah tangga dan sudah jelas bahwa Soya tak bisa memasak.
“Ma, maaf. Tapi, kami sedang buru-buru.” Amanda menarik papanya agar segera keluar dari sana.
Tidak mati akal, Soya mengejar dan memberikan bekal untuk anak dan suaminya.
“Eh, tunggu dulu. Mama sudah siapkan kok. Kalau-kalau kalian nggak bisa makan di rumah.”
Rama pasrah menerimah makanan itu.
“Baiklah terimakasih.”
“Sama-sama, hati-hati di jalan, ingat pulangnya jangan terlalu malam.”
Amanda tersenyum kaku sedang Rama tak peduli.
“Amanda, apa kau merasa ada yang aneh dengan mamamu?” tanya Rama saat mobil meluncur menjauh.
“Apa karena mama buat bekal, Pa?”
Rama pun mengangguk dan menyetir dengan pelan.
“Iya, benar. Mamamu memaksakan membuat sarapan. Kau tahu kan, untuk makanannya saja dia harus mengorder di luar.”
“Papa benar, tapi mungkin saja mama udah berubah, Pa. Dia mau jadi ibu dan istri yang baik.” Amanda berpikir positif dan berbanding terbalik dengan papanya.
“Papa hanya takut, mamamu menaruh sesuatu di makanan itu. Sama seperti dulu saat kau memergokinya. Sebaiknya jangan di makan. Papa tidak mau cucu papa akan kenapa-kenapa.” Amanda reflek mengenang masa lalu saat hari persidangan penentuan perceraiannya dengan Daniel di putuskan.
Suasana hatinya berubah sendu, dia pun meninggalkan bekal itu di mobil papanya.
“Sebenarnya, ibu Restanti selalu mengirimkan bekal sarapan untukku lewat Damian, Pa. Makananku di control Damian. Aku bersyukur karena tak sekalipun merasa mual saat menyantap masakan buatan ibu.”
Rama senang mendengar hal itu.
“Kau harus berterimakasih pada mereka. Sungguh kau sangat beruntung andai mamamu tidak ikut campur terlalu jauh.”
Lima belas menit kemudian. Amanda tiba di kantor. Rama menurunkan putrinya dan segera menuju ke kantornya.
Waktu jam masuk kantor sangat ramai, dan di sinilah Amanda di bully karena kejadian tempo hari.
“Selamat pagi,” sapa Amanda ramah.
Beberapa karyawan melaluinya seolah tidak menganggap.
“Selamat pagi,” Anita yang merupakan sekertaris Tomi dan temen Amanda saat di kantor membalas salamnya.
“Ish, mau aja sih, bergaul dengan orang seperti itu.”
“Bermuka dua.”
“Salah, berhati dua.”
Kening Amanda berkerut melihat reaksi orang-orang di sekitarnya.
“Ada apaan sih? Kok kayak heboh banget.”
Anita merangkulnya, dan memintanya segera masuk.
“Perasaanmu saja kali, Non. Ayo buruan masuk.”
Mereka berjalan cepat dan satu kalimat menghentikan langkah Amanda.
“Perutnya makin besar, ya. Taruhan, yuk. Tebak, bayi yang ada di perutnya Amanda bayinya siapa?”
Amanda reflek menoleh dan mencegat lelaki itu.
“Apa maksudmu?”
Wanita itu tak peduli dengan tatapan karyawan lain. Dia meminta kejelasan.