Part 2 : Kelakuan Devan

1249 Kata
Tampak seorang pria berwajah tampan tengah bermesraan dengan seorang wanita di sebuah kafe. Dan wanita itu tampak menyuapi si pria. Oh, begitu mesranya mereka sampai para pengunjung lainnya merasa iri melihatnya. Begitu sempurnanya mereka, yang satu tampan mirip oppa-oppa Korea dan yang satunya cantik dan sexy. Benar-benar perpaduan yang sangat pas. “Dev, dari tadi hp kamu bunyi terus!” ujar si wanita yang tampak kesal karena sejak tadi ponsel kekasihnya terus berbunyi. Si pria yang bernama Devan itu pun berdecak kesal seraya menyambar ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Devan mendengus kesal melihat nama kontak yang tertera di layer ponselnya. Ternyata Neta yang mengiriminya pesan. Neta Kakak lagi di mana? 17.25 Ah, Devan lupa. Kemarin ia berjanji akan menjemput Neta di kampusnya. Me Maaf Net, Kakak enggak bisa jemput kamu. Kamu pulang sendiri ya 17.30 Tampak tidak ada raut bersalah sama sekali yang tercetak di wajah tampan Devan. Hari ini Devan ingin menikmati waktunya bersama Gina yang entah nomor berapa pacarnya itu. Tak berselang lama Neta membalas pesannya. Neta Oh, gitu ya kak 17.31 Me Kamu pesen ojol aja, nanti Kakak gantiin ongkosnya besok Neta Iya kak 17.33 Setelah itu Devan matikan ponsel miliknya dan menaruhnya kembali di atas meja. Pokoknya khusus hari ini Devan ingin Bersama Gina dan Devan tidak ingin siapa pun mengganggunya. “Siapa, Dev?” tanya Gina penasaran. “Neta,” jawab Devan singkat. Devan kembali meminta Gina menyuapinya. Gina kembali pada kegiatan awalnya yaitu menyuapi si bayi besar bernama Devan itu. “Kenapa dia chat kamu? Kalian belum putus?” “Belum.” “Wow, awet bener. Emang si Neta enggak tahu kelakuan kamu yang suka mainin cewek?” Gina heran sekaligus takjub. Apa yang membuat hubungan mereka awet? Dan kenapa Devan tidak memutuskannya seperti yang lainnya? “Karena dia enggak tahu,” jawab Devan acuh. Gina mengerutkan keningnya. Apa Devan enggak salah jawab? Devan terkekeh geli melihat Gina keheranan. “Entah dia tahu atau enggak kelakuan gue, tapi yang pasti dia mau bertahan sama gue. Dia cewek bodoh yang pernah gue temuin!” Gina hanya mangut-mangut saja mendengar penjelasan Devan, karena ia tidak peduli Neta dan Devan masih Bersama. Gina hanya butuh uang Devan saja, bukan cintanya. “Dev, liat deh, Gucci ngeluarin koleksi baru.” “Terus?” Gina pun menggeser duduknya menjadi lebih dekat lagi dengan Devan. “Aku mau satu, tapi kamu yang bayarin,” bisik Gina dengan sexy-nya tepat di telinga Devan. Bahkan sebelum Gina menjauhkan bibirnya dari telinga Devan, Gina sempat-sempatnya melumat daun telinga Devan. Devan menggeram rendah mendapat godaan dari Gina. “Oke, besok gue transfer uangnya, tapi lo tahu ‘kan itu semua enggak gratis.” Gina tersenyum nakal, lalu bergelayut manja di lengan kekar Devan. “Oke, mau di apartement kamu atau di kosan aku?” “Emangnya di kosan lo bebas?” “Bebas dong, orang yang punyanya juga kelakuannya sama,” jawab Gina dengan genitnya. Devan tersenyum. “Oke, kita ke kosan lo sekarang!” *** Motor yang dikendarai oleh Kenzo berhenti tepat di depan gerbang rumah orang tua Neta. “Makasih Kak,” ucap Neta setelah turun dari motor Kenzo. “Sama-sama,” balas Kenzo sembari tersenyum. Kenzo melongok ke arah rumah orang tua Neta yang tampak sepi, selain itu Kenzo melihat lampu rumah masih padam. “Net, di rumah enggak ada siapa-siapa?” Neta pun melongok ke arah dalam. “Iya, orang tua aku enggak ada di rumah, soalnya papa aku dinas di luar kota dan mama ikut papa,” jawab Neta. “Jadi kamu sendirian di rumah?” Neta menganggukkan kepalanya. “Emm, enggak ditemenin sama saudara atau temen gitu?” Neta menggelengkan kepalanya. Kenzo menghela napasnya. “Emang kamu berani sendirian di rumah?” “Berani dong, soalnya ini bukan pertama kalinya aku ditinggal sendirian di rumah," jawab Neta. “Oh.” Namun tetap saja Kenzo sangat mengkhawatirkan Neta yang tinggal sendirian di rumah. Zaman sekarang orang-orang ‘kan banyak yang enggak bener. Kalau bisa Kenzo ingin menemani Neta saja, eh. Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir pikiran liarnya. Sementara itu, Neta menaikkan sebelah alisnya melihat tingkah aneh seniornya di kampus itu. “Kakak kenapa?” Eh. Kenzo tersentak, lalu merutuki tingkah bodohnya di hadapan sang pujaan hati. “Enggak apa-apa. Beneran kamu berani sendirian di rumah?” Neta mengangguk yakin. “Iya, berani.” “Ya kalau kamu ngerasa takut sendirian di rumah, biar Kakak suruh Zahra aja nginep di sini, nemenin kamu.” Kenzo masih merasa khawatir meninggalkan Neta sendirian di rumah. Zahra adalah sepupu Kenzo yang juga teman Neta sewaktu SMA. Sekarang Zahra dan Neta kuliah di kampus yang berbeda. Zahra kuliah di kampus yang sama dengan Devan. Neta tersenyum. Ia merasa terharu dengan perhatian kecil yang sering diberikan oleh Kenzo. Andaikan saja Devan memperlakukannya seperti itu, mungkin ia akan sangat bahagia sekali. Sebenarnya dulu juga Devan sering bersikap sangat manis kepadanya di awal-awal masa pacaran. Devan memperlakukannya sangat baik. Tapi setelah tiga tahun mereka menjalin hubungan, sikap Devan mulai berubah. “Ya udah kalau kamu berani. Kalau gitu Kakak pulang ya.” Suara Kenzo menginterupsi. “Iya, Kak.” Kenzo pun kembali menghidupkan kembali mesin motornya. “Kalau ada orang yang enggak dikenal bertamu, jangan dibukain pintu, takutnya itu orang jahat. Dan kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak aja,” pesan Kenzo. “Iya, Kak.” “Ingat pesan Kakak, Net. Kakak pergi dulu,” pamit Kenzo. “Iya Kak, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut.” Motor Kenzo pun meninggalkan area komplek rumah orang tua Neta. Setelah motor Kenzo tidak terlihat lagi di tikungan jalan, barulah Neta masuk ke dalam rumahnya. *** Di sisi lain, tampak sepasang manusia berbeda gender tengah memadu kasih di sebuah ranjang empuk yang terletak di sudut ruangan. Hingga kegiatan panas mereka terganggu oleh suara ponsel milik salah satu dari mereka. “Dev, hp kamu bunyi tuh!” Devan mendengus kesal. Ia pun mengambil ponselnya yang ia simpan di meja rias milik Gina. Devan mengutuk orang yang sudah mengganggu kesenangannya. Devan menghela napasnya melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Neta” Lagi-lagi gadis itu yang mengganggu waktunya. Dengan malas Devan pun mengangkat panggilan masuk dari pacar pertamanya itu. “Iya Net, ada apa?” Devan langsung to the point menanyakan apa maksud Neta menghubunginya. Devan kembali duduk di atas ranjang. Satu tangannya ia gunakan untuk memegang ponselnya, dan tangannya yang lain ia gunakan untuk hal lain yang membuat Gina menjerit kenikmatan. Sementara itu di seberang sana Neta tampak gugup dan takut setelah mendengar suara Devan yang tampak kesal. “Kakak lagi sibuk?” cicit Neta. “Iya!” jawab Devan sedikit ketus. Neta menggigit bibir bagian bawahnya. Sepertinya Devan marah. Apakah Neta menghubungi Devan di waktu yang salah? “Oh maaf, kalau gitu aku tutup—” Belum sempat Neta menyelesaikan perkataannya, Neta tidak sengaja menangkap sebuah suara lenguhan di seberang sana. Tunggu! Bukannya itu suara perempuan? “Kak, itu suara apa?” tanya Neta penasaran. Neta harap dugaannya salah. Devan tidak sedang bermain dengan seorang perempuan, seperti apa yang sering dikatakan oleh teman-temannya 'kan? Ya, teman-teman Neta sering menyuruh Neta untuk segera putus dengan Devan, karena mereka sering bilang jika Devan bukanlah pria baik-baik. “Oh, itu suara tv,” jawab Devan dengan santai. “Ya udah, kalau gitu aku tutup teleponnya.” Neta pun buru-buru memutus sambungan teleponnya. Neta duduk di pinggir ranjangnya sembari mengusap lelehan air matanya yang entah sejak kapan turun membasahi pipinya. “Apakah aku harus percaya sama kak Devan atau orang lain yang bilang kalau kakak laki-laki enggak bener?” gumam Neta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN