Part 32

1514 Kata
Oh, tidak! Jessica memejamkan matanya, setelah ini pasti ia akan mendapat masalah lantaran telah membuat kesalahan kepada penumpang first class. Apalagi yang di hadapannya ini bukanlah orang sembarangan dan bukan orang yang memiliki hati yang lembut untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain. Harusnya ia berhati-hati, tidak ceroboh seperti ini. Ia telah membuat kertas penting yang mungkin memiliki nilai kontrak milyaran ini berubah warna dari putih menjadi kuning karena jus mangga yang baru saja ia bawa. Suasana di cabin first class ini pun terasa mencekam. Dua asisten pribadi Gian sudah ketar-ketir melihat ekspresi bosnya. Bahkan salah satu di antara mereka langsung mengangkat kertas itu agar tulisannya tidak terlalu luntur. "Ma-maaf, sa-saya enggak sengaja," ucap Jessica terbata-bata. Bahkan ia tidak berani mengangkat wajahnya, menatap mata Gian yang kini memancarkan aura permusuhan. "Sial banget gue hari ini," batin Devan. Gian menghela napasnya berat, tanpa banyak kata, laki-laki itu berlalu menuju toilet meninggalkan Jessica dan kedua asistennya yang masih dilanda rasa syok. Jessica melirik ke arah asisten perempuan Gian yang juga tengah menatapnya dengan tajam. Dan tatapan asisten Gian barusan berhasil membuat ia salah tingkah. "Biar saya bereskan kekacauan ini," ucap Jessica. Kedua asisten pribadi Gian pun mempersilakan Jessica membereskan kekacauan yang telah diperbuat olehnya. Tak lupa mereka juga mengawasi Jessica yang sedang membersihkan bekas minuman yang tumpah barusan karena letak tumpahannya dekat dengan dokumen-dokumen penting perusahaan. "Ceroboh banget, sih," bisik asisten pribadi bossnya yang perempuan. Dan entah kenapa ia sedikit terganggu dengan tatapan sinis perempuan itu. Ia tahu ia bersalah karena telah membuat kekacauan. Namun apakah pantas wanita itu menghakiminya begitu saja? "Jadi asisten pribadi si judes aja sombongnya minta ampun. Enggak tahu aja lo, kalau gue cucu dari pemilik Tiger Air," batin Devan. Baru kali ini ia merasa terhina dengan seseorang dan secara tidak langsung orang itu meremehkannya. Padahal selama ini ia selalu disanjung-sanjung dan disegani oleh orang lain, baik di dunia Devan maupun di dunia Jessica. Sepertinya ia harus mencari tahu siapa wanita itu agar suatu saat nanti jika ia kembali bertemu dengan wanita itu di dunia Devan, ia akan memberinya pelajaran. "Tunggu aja pembalasan gue," batin Devan berapi-api. Tak berselang lama Gian sudah kembali dari toilet. Masih dengan raut datarnya, laki-laki itu menghampiri kursinya. "Pak--" Belum sempat Dania menyelesaikan perkataannya, Gian sudah lebih dulu menyela. "Saya enggak apa-apa," potong Gian. Dengan santainya laki-laki itu kembali duduk di tempatnya dan tak menghiraukan keberadaan Jessica yang menjadi biang onar kekacauan ini. Dia kembali fokus pada pekerjaannya. "Sekali lagi saya minta ma--" "Iya, sudah saya maafkan," potong Gian. Tunggu, apa Jessica tidak salah dengar? Gian tidak memperpanjang masalah barusan? Apa ini sungguh-sungguh? Bukan hanya Jessica saja terkejut dengan perkataan Gian, melainkan kedua asisten pribadi laki-laki itu juga sama terkejutnya. Mereka berdua tidak menyangka boss mereka akan dengan mudah memaafkan kesalahan pramugari di hadapan mereka ini, padahal kesalahannya termasuk kesalahan fatal. Selain itu bossnya ini bukanlah tipe orang yang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain, karena Gian bukanlah tipe orang penyabar. Jadi kali ini mereka merasa takjub dengan sikap tenang Gian. "Kalau begitu saya permisi. Jika Anda butuh sesuatu, panggil saja saya," ucap Jessica sebelum ia pergi dari cabin first class ini. Selepas kepergian Jessica, Gian pun menghela napasnya panjang. Ia menyuruh asisten pribadi laki-lakinya itu untuk membuatkan laporan baru setelah laporan yang tadi rusak karena bagian atasnya terkena tumpahan jus mangga pesanannya tadi setelah mereka sampai di Sidney. "Baik, Pak." Setelah mendapat instruksi dari bosnya itu, mereka berdua pun kembali duduk di bangku mereka dan menikmati sisa-sisa perjalanan mereka dengan mengkaji ulang dokumen-dokumen yang mereka bawa ke Sidney. *** Nabila mengerutkan keningnya saat menyadari wajah sepupunya yang terlihat pucat. Padahal tadi sepupunya itu terlihat baik-baik saja. "Lo beneran enggak kenapa-kenapa?" tanya Nabila. "Iya ih, gue enggak kenapa-kenapa," jawab Jessica. "Tapi muka lo pucet banget. Kalau lo sakit atau ngerasa enggak enak badan, mendingan lo minum obat dulu sana. Gue enggak mau lo kenapa-kenapa," kata Nabila. "Gue--" Belum sempat Jessica menuntaskan perkataannya, seseorang sudah terlebih dahulu menyela hingga membuatnya kesal. "Udah deh, jangan keras kepala! Kalau emang lagi sakit udah sana minum obat dulu, terus istirahat!" celetuk Fika yang sejak tadi menyimak obrolan kedua saudara itu. Eh, jangan salah paham dulu. Fika sedang tidak perhatian kepada Jessica kok. Ia hanya refleks saja menimpali obrolan mereka. Dan lagi sangat merepotkan jika Jessica jatuh sakit sekarang saat mereka masih dalam bertugas. "Cie, perhatian banget, sih," goda Nabila. Fika memutar bola matanya malas dan kembali sibuk memainkan rubik yang sengaja ia bawa dari rumah untuk ia mainkan di dalam pesawat saat ia merasa kebosanan seperti ini. Begitulah keadaan di cabin belakang di mana tempat para crew air beristirahat sejenak dari tugas mereka. *** Tak terasa pesawat Tiger Air boeing 774 akhirnya landing dengan selamat di kota Sidney, Australia. Setelah semuanya siap, satu persatu para penumpang pun keluar dari cabin pesawat termasuk Gian dan kedua asisten pribadinya. "Tunggu!" "Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu." Jessica mengerutkan keningnya. Ada hal apa yang ingin dibicarakan Gian padanya? Apakah ini terkait masalah tadi dan laki-laki itu akhirnya memperpanjang masalahnya sekarang setelah mereka sampai di bandara? "Kalian duluan dulu, saya ada perlu dengan--" Gian menjeda perkataannya, ia membaca nama Jessica lewat name tag yang terpasang di seragam wanita itu. "Mbak Jessica," sambung Gian. Kedua asisten pribadi itu tampak saling lirik, namun tak urung menuruti perintah bos mereka. Walaupun mereka penasaran sebenarnya ada apa dengan bos mereka dan pramugari itu. Selepas kepergian dua orang asisten pribadinya itu, Gian pun mulai membuka obrolan dengan Jessica. Namun bukan masalah insiden tadi, melainkan hal lain yang juga membuatnya terkejut dan tidak pernah disangkanya sebelumnya. "Cepetan dong, waktu saya enggak banyak!" desak Gian karena Jessica tak kunjung memberikan nomor ponselnya. "Ma-maaf," balas Jessica dengan gugup. Dengan lincah jari-jari lentik Jessica menari-nari di atas layar touchscreen ponsel milik Gian, mengetikan deretan angka yang menjadi nomor ponselnya. "Makasih. Kalau ada waktu luang saya bakal hubungi kamu, untuk membahas pertanggung jawaban kamu atas insiden tadi!" ucap Gian sebelum pada akhirnya dia ikut keluar bersama para penumpang lainnya. Selepas kepergian Gian, tanpa sadar Jessica menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia merasa bingung dengan tingkah Gian. Dia terlihat cuek dan menyebalkan, namun terlihat misterius dan susah ditebak. "Aneh banget, sih. Ternyata mau di sini atau di sana, si item sama-sama enggak jelas!" gumam Jessica. *** Sementara itu di belahan dunia lain, tepatnya di sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi, tampak kedua orang laki-laki dengan setelah rapi khas pegawai kantor tampak saling berbincang di sebuah ruangan. Mereka berdua tampak terlihat obrolan yang serius. "Saya lebih suka desainnya yang seperti ini, namun di bagian sampingnya saya ingin seperti desain yang ini," ucap Chandra seraya menunjuk dua buah desain bangunan yang sudah Jana buat. Chandra saat ini sedang ada di kantor Jana yang bergerak di bidang konstruksi. Dan Chandra sedang berdiskusi mengenai desain bangunan yang akan dikerjakan oleh perusahaan konstruksi milik keluarga Jana, karena rencananya Chandra akan memperluas bidang bisnisnya. Chandra ingin membuat sebuah bangunan di mana akan dijadikan restoran untuknya. "Baik, berarti saya tinggal ubah yang sampingnya saja, ya, biar sesuai sama yang ini," kata Jana yang dibalas anggukan kepala oleh Chandra. Sambil menunggu Jana membenarkan desainnya. Chandra mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan Jana. Ruangan itu tampak rapi dan tak ada yang special karena layaknya ruang kerja pada umumnya. Namun ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatiannya, saat netranya tak sengaja menemukan potret dua orang berbeda gender saling berpelukan. Chandra menyipitkan matanya, mencoba memperjelas penglihatannya. Benar, ia mengenal dua orang dalam foto tersebut. Yang satu adalah Jana dan yang satu lagi adalah Jessica. Seketika rasa cemburu pun menjalar dalam hatinya. "Maaf, jika pertanyaan saya sedikit lancang, apakah pak Jana sudah menikah?" tanya Chandra hanya untuk sekedar basa-basi saja, karena ia sedang mengorek-ngorek informasi mengenai hubungan laki-laki di hadapannya itu dengan sang pujaan hati. "Belum, tapi saya sudah memiliki seorang kekasih," jawab Jana. "Wah, kirain pak Jana udah menikah, ternyata masih lajang," balas Chandra. "Apa yang di foto itu pacarnya pak Jana?" tanya Chandra. Dalam hati ia harap bukan Jessica orangnya. Jana pun menoleh ke arah meja kerjanya yang di sana terdapat sebuah figura berukuran sedang yang sedang memperlihatkan potret dirinya dengan Jessica beberapa tahun yang lalu, sebelum hubungan mereka menjadi dingin karena kesalahan fatal yang sudah ia perbuat. "Iya, itu pacar saya. Kami udah lama pacaran, terhitung sejak kami masih SMA," kata Jana. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Tiba-tiba ia membayangkan jika apa yang dikatakannya itu adalah kenyataan. Pasti akan indah sekali. Mendengar jawaban Jana, hati Chandra tiba-tiba saja mencelos. Kenyataan yang tak pernah ia duga sebelumnya akhirnya keluar dari mulut Jana. Jadi sesuatu yang mengganjal hatinya sampai saat ini adalah mengenai informasi ini. "Tunggu, bukannya Jana itu cuman sebatas sahabatnya Jessica aja, ya?" batin Chandra. Ini Jana yang sedang halu menganggap Jessica kekasihnya atau memang kenyataannya seperti itu, ya? "Wah, udah lama banget berarti hubungan pak Jana dengan pacarnya. Saya kira baru sebentar," kata Chandra. "Iya, hubungan kita emang sudah berjalan lama dan rencananya kami berdua akan bertunangan dalam waktu dekat ini," ucap Jana dengan wajah berseri-seri. Namun berbeda dengan raut wajah Jana yang memperlihatkan kebahagiaan, Chandra justru terlihat melow. "Sial! Gue enggak akan biarin pertunangan itu terjadi! Jessica cuman milik gue!" batin Chandra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN