TASM 1

1149 Kata
Praakkkk…. "Arrrggg…" teriakan keras itu membuat Linda yang baru saja ingin tidur mulai mengerjapkan matanya. Menggerakan tubuhnya, Suara bising dari luar kamarnya terdengar sangat keras. Mengganggu tidurnya. Merasa penasaran Linda segera beranjak dari ranjang memastikan apa yang terjadi di luar. Langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar sedikit terbuka. Dan kedua orang tuanya sedang bertengkar di depannya. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Dia sembunyi di balik dinding putih. Dia tertunduk, mengigit bibirnya yang terus gemetar, Rasa takut, dan terluka melihat orang tuanya tidak pernah berhenti bertengkar setiap mereka pulang. Linda menahan isakan tangis. Sembari mengepalkan tangannya sangat erat. Penuh dengan kebencian. Ingin rasanya berteriak di antara merak. Tapi, kedua kakinya terasa kaku. Sangat sulit melangkah jauh ke depan. "Kamu mau kemana?" tanya Brion, papa Linda. Dia mencegah istrinya untuk pergi. "Kamu tetap di sini. Dan aku yang akan pergi dari sini. Karena aku yang akan menceraikanmu lebih dulu." tajamnya. Suara itu seketika melukai hati Linda. Sekujur tubuhnya kaku seketika. Betapa bertanya apa yang dirasakannya. Tidak pernah dapat kasih sayang dari mereka. Dan sekarang, ini yang dia lihat. Hancur! Terluka, Sakit! Iya, amat sangat sakit. "Apa kamu? Kamu mau menceraikan aku?" balasnya tak kalah tajam. Oliver mama Linda itu menarik sudut bibirnya sinis. "Oke, aku terima." "Aku tidak suka pada wanita yang selalu pergi dengan laki-laki lain. Dan senang-senang dengannya." "Apa yang kamu lakukan dengan wanita itu? Sama saja kamu juga telah melukai hatiku. Kamu bersenang senang dengan wanita muda. Dan aku, apa salahnya denganku.. Hah…" Oliver memelotot, membuat kedua kelopak katanya terbuka lebar. "Melakukan apa? Aku tidak pernah melakukan apapun dengan wanita lain" "Bulshit! Kamu bermalam dengan wanita muda. Dan dia itu, seumuran dengan anak kita. Apa kamu tidak malu." Wanita itu mengulurkan telunjuk tepat di wajah Brion. "Kenapa kamu bermesraan dengannya. Apa kamu tidak memikirkan gimana nasib anak kita nantinya." lanjutnya kemajuan menggebu. "Harusnya kamu yang mikir. Apa kamu pernah melihat anak kaku sedetik saja. Apa kamu pernah bersamanya. Tidak! Kamu tidak pernah sama sekali peduli dengan anak kamu." Brion meninggikan suaranya. Dia bangkah sudah mengangkat tangannya. Bersiap menampar mamanya. Tetapi, papanya tertegun, dia tidak tega. Dan memilih melemparkan tangannya meluapkan kekesalannya. Dia mengepalkan tangannya sangat erat menahan emosinya. Oliver menghela napasnya. Menelan ludahnya mencoba menerima keadaan. "Kenapa diam, tampar aku! Tampar saja!" Oliver ibunya mendorong dorong tubuh ayahnya. "Oke… Bagi orang b******n seperti kamu. Memang wanita selalu salah. Dan kamu tidak mikir gimana diri kamu sendiri. Begitu buruknya. Lebih buruk dariku." Oliver mendorong d**a Brion dengan tangannya. "Diam!" bentaknya. Seketika tubuh mamanya menciut. Dia mulai takut dan hanya bisa dia menatap kemarahan suaminya. "Jangan egois dengan dunia kamu sendiri. Harusnya kamu mikir. Kenapa aku tidak betah denganmu. Dan itu karena kami sendiri terlalu egois. Dengan suami kamu saja, kamu tidak perduli. Apalagi dengan anak kamu." lanjutnya. penuh dengan perasaan kecewa. Ke dua bola mata mengibarkan api kemarahan yang menjalar seluruh ruangan. Aura ruangan itu semakin mencengkam penuh dengan marah yang mengibar di tubuh mereka berdua. Suara Oliver yang semula keras. Kini ibunya hanya bisa diam. Menerima caci maki yang di lontarkan padanya. Antara menyesal dan takut. Oliver memegang kepalanya. Menutupi ke dua telinganya. "Hentikan!" teriaknya sangat keras. "Aku tidak akan pernah tinggal diam. Dan sekarang lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan pernah lagi bertemu dengan anakmu." "HENTIKAN…. HENTIKAN SEMUANYA." teriak Linda. Ia memejamkan matanya. Menutup kedua telinganya. Tubuhnya duduk lemas di lantai. "Kenapa kalian selalu bertengkar." "Jangan bertengkar lagi." ucapnya lirih. Oliver dan Brion menoleh. Mereka berlari menghampirinya saat melihat Linda duduk dengan tubuh lemas. "Pa, Ma.. Apa yang kalian bicarakan. Apa kalian tidak bisa kecilkan suara kelian." suara serak sedikit keras itu membuat pertengkaran mereka tertunda. "Sayang, kenapa kamu belum tidur." tanya Oliver. Dengan tangan memeluk punggung Linda. Dan tangan kanan mengusap rambutnya. "Ma, jangan pernah pergi dari sini." Linda memohon. "Tidurlah sekarang. Jangan ikut campur." ucap Brion. "Kau mana bisa tidur jika suara kalian membuat aku tersiksa." tegasnya. "Apa kalian tidak malu bertengkar di depan anak kalian." "Tapi kita---" "Oke… Kalau kalian tidak bisa bersama. Aku yang akan pergi dari sini." Linda bangkit dari duduknya. Ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. Menatap sekilas ke arah kedua orang tuanya Dan berlari meninggalkan orang tuanya. Langkah kakinya begitu keras menuruni anak tangga. "Linda… tunggu! Papa bisa jelaskan semuanya." "Aku tidak perduli apa kata Papa." teriak Linda, Dan.. Braaakkk… Suara pintu tertutup begitu keras. Linda terus berlari menjauh dari rumahnya. Sementara papanya tak bisa mengejarnya. Dia yang sudah terlalu tua. Tak bisa berlari lebih jauh lagi. "Itu semua gara-gara jamu. Sekarang anak kita pergi dari rumah." sindir Oliver. "Bisa diam tidak! Kamu hanya bisa bicara tanpa mencegahnya. Semua juga kesalahanmu. Sekarang jika kamu mau pergi juga silahkan. Aku sudah bukakan pintu untukmu pergi." Brion mempersilahkan Oliver untuk keluar. Dengan tangan kanan ke menjulur ke depan. Oliver berdengus kesal. Dan segera menginjakkan ke dua kakinya keluar. Dengan langkah penuh emosi. *** Di sebuah Club malam. Linda meluapkan semua emosinya. Meminum beberapa whisky sekaligus. Tanpa perdulikan seseorang melihatnya. Dia terlihat begitu geram saat membayangkan tentang keluarganya. Apalagi sekarang keluarganya telah hancur. Kasih sayang yang ia rindukan dari dulu terasa sangat sirna. Semua terasa begitu cepat. Hingga perpisahan terjadi pada mama dan papanya. "Aku tidak mau hidup seperti ini." teriak Linda. Lalu meneguk satu gelas whisky berkali-kali, dan. Braakk…. Ia meletakkan tangannya sangat keras di meja. "Kenapa? Kenapa hidup aku seperti ini." gumam Linda. Tak kuasa isakan tangis mulai terdengar dari suaranya. "Aku. tidak mau seperti ini." gerutunya. Linda melipat ke dua tangannya di atas meja. Menyembunyikan wajahnya di sela-sela lengannya. Wanita cantik itu terus menangis tersedu-sedu. "Apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku. Aku seakan hidup di jaman yang salah. Aku terlihat seperi w************n. Dan orang tua aku tidak pernah perduli denganku." "Linda, mau sampai kapan kamu minum terus." suara laki-laki di balik bar itu terdengar begitu jelas. Linda mengangkat kepalanya, melayangkan sebuah senyuman samar padanya. Lalu menyembunyikan wajahnya lagi. Wanita itu mengangkat tangannya. "Aku tidak ingin berhenti minum." gumamnya. "Linda, kamu sudah mabuk. jangan paksakan dirimu untuk terus minum." ucap Beny. Pegawai bar di sana. Dia sudah kenal lama dengan Linda. Setiap wanita itu galau. Dia selalu menghabiskan waktunya di bar. Tapi, kali ini Linda sudah terlalu banyak minum. Hingga dirinya tak mampu mengangkat kepalanya lagi. "Aku antar kamu pulang." ucap Beny. Dia segera keluar dari dalam bar. Dan mencoba menolong Linda. "Tidak usah, aku bisa sendiri. Jangan pernah menolongnya. Aku tidak apa-apa." Linda mencoba untuk berdiri Ia menepis tangan Beny di pundaknya. "Kamu yakin?" tanya Beny memastikan. "Aku yakin, aku akan panggil temanku nanti." ucap Linda. Tersenyum samar Dia bangkit dari duduknya. Dan mulai berjalan sempoyongan. Bahkan dia hampir beberapa kaki terjatuh. "Linda, kamu tidak bisa lagi berjalan. Aku akan antar kamu." ucap Beny. "Aku bisa sendiri. Udah, cepat kembali bekerja. Nanti boss kamu marah." ucap Linda. Mencoba menguatkan dirinya untuk berjalan keluar. Tubuhnya terlihat lunglai tanpa tukang. "Aku tak kuat lagi." gumam Linda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN