3. Pertarungan Pertama

1963 Kata
Kembali ke drama penculikan  “Dasar sinting!” Iva meluapkan kemarahannya. Tidak ada yang lebih menjengkelkan Iva selain ekspresi sedingin es batu Fabian yang Iva lihat saat dia mengumpati pria itu. Pria itu sama sekali tidak memedulikan umpatan Iva. Yang Fabian lakukan kemudian adalah pergi dari ruangan tersebut setelah memanggil anak buahnya, John. John memegangi lengan Iva sambil memaksa wanita itu berjalan ke luar. Iva mengedarkan pandangan ke sepanjang koridor. Perasaan was-was kembali datang ketika pandangannya hanya mendapati beberapa pintu berwarna putih yang berderet di sepanjang koridor tersebut. Tempat apa ini? Hanya saat Iva berjalan menuruni anak tangga, Iva baru mengetahui bahwa ia sedang berada di sebuah gedung kosong. Entah gedung apa, yang jelas gedung kosong itu tampak menyeramkan bagi Iva. Beruntung, malam tadi Iva tidak sadarkan diri saat dirinya dibawa ke sana. Karena jika tidak, Iva bisa mati terduduk lantaran membayangkan peristiwa horor yang akan dilewatinya. “Masuk!” perintah John setelah membukakan pintu mobil jenis van berwarna hitam. “Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Iva dengan nada geram. “Diamlah. Karena kalau tidak, aku akan mengikat tanganmu lagi. Mau?” ancam John. Iva menggeleng. Dia lalu masuk ke van, ke jok penumpang tengah tanpa protes lagi. Wanita muda itu hanya bisa menduga-duga keberadaannya sekarang dan ke mana orang-orang itu akan membawanya. Hiruk pikuk kendaraan dan aktivitas orang-orang di sekitar jalanan yang tertangkap netranya, sedikit banyak sudah menjawab rasa penasarannya. Iva mungkin masih berada di Jakarta, pikirnya. Perjalanan yang memakan waktu kurang dari tiga puluh menit itu membawa Iva ke sebuah rumah besar yang megah berdesain modern dengan jendela kaca besar di setiap sudut dan dikelilingi benteng tinggi. Beberapa saat setelah Iva turun dari van, sebuah sedan hitam berlogo L dalam bentuk elips berhenti di samping van. Tanpa menduga lagi, Iva sudah tahu mobil itu dikendarai oleh siapa. Si raja culik yang menyebalkan. “John, bawa dia ke kamar!” perintah Fabian sesaat setelah ia turun dari mobilnya. Iva melotot kaget. Jiwa pemberontaknya mendadak terpanggil. Dia melangkah mundur. Dengan wajah tegang, Iva melayangkan protes kerasnya. “Kalian mau apa? Jangan macam-macam denganku!” “John.” Fabian tidak memedulikan protes Iva. Ia justru memerintah John sekali lagi dengan suara rendah tapi keras. “Baik, Pak.” John lalu mencekal tangan Iva dan menarik wanita itu untuk mengikuti langkahnya memasuki rumah. Namun, Iva dengan berani menepis tangan John dan menendang pangkal paha John hingga pria itu merintih kesakitan dan jatuh terduduk sambil memegangi Mr.P-nya yang bersembunyi di balik celana jeans. Iva ingin tertawa melihat reaksi John, tetapi keinginannya untuk segera kabur lebih kuat dari apa pun. Wanita itu berbalik lalu mengambil langkah seribu. Sayangnya, Iva terlalu disibukkan oleh rasa panik sehingga kewaspadaannya terabaikan. Pikirannya hanya terfokus pada John. Apakah pria itu akan mengejarnya atau tidak, hal itu yang memenuhi kepala Iva hingga tanpa sadar, tubuh Iva membentur sesuatu yang keras. Iva menabrak tubuh Fabian. Dia nyaris terjengkang seandainya Fabian tidak bertindak cepat. Fabian meraih, menahan, dan menarik punggung Iva dengan tangan kuatnya sehingga tubuh wanita yang sudah condong ke belakang itu kembali berdiri tegak. Kedua tangannya yang tidak sengaja melingkar erat di tubuh Iva mempersempit jarak di antara mereka dan memicu desiran aneh yang tiba-tiba merayap ke seluruh tubuhnya. Menyadari hal itu, Fabian kembali mengundang amarahnya, bahkan merangkul emosi tersebut. Iva bukan siapa-siapa dan seharusnya dia membenci Iva karena wanita itu bisa jadi bekerja sama dengan sang mantan untuk menyembunyikan anaknya. Fabian melepaskan lingkaran tangannya dari tubuh Iva, tetapi kemudian ia mencekal tangan Iva dan menatap tajam wanita itu. “Kamu jangan membuatku kesal atau aku akan membuatmu menyesal,” ancam Fabian. Iva menelan ludah dengan susah payah. Meskipun begitu, ia tidak ragu membalas tatapan tajam Fabian. “Ngancam doang, enggak punya nyali!” Fabian tersenyum sinis. Ia lalu menarik tangan Iva dengan kasar dan memaksa wanita itu mengikuti langkahnya. Beberapa kali Iva hampir terjatuh, tapi ia berhasil mengimbangi langkah Fabian yang panjang dan cepat hingga melewati tangga dan tiba di lantai atas rumah tersebut. “Heh, cowok sinting! Kamu tidak tahu kamu sedang berurusan dengan siapa. Jangan sampai, ujung-ujungnya kamu yang nyesel!” Iva membombardir Fabian dengan sergahannya. Fabian seperti ditulikan. Dia tidak menggubris ucapan Iva. Pria itu nyaris membanting pintu setelah mendorong Iva masuk ke sebuah kamar. “Kamu tidak punya hak untuk bicara. So, tutup mulut cerewet kamu itu!” Fabian melayangkan peringatan keras sambil terus mendorong bahu Iva hingga Iva nyaris membentur dinding. “Aku harus tahu alasanku berada di sini. Kamu tidak bisa sembarangan menyekap orang!” Iva menyembunyikan ketakutannya dengan sergahan. Fabian mendekatkan wajahnya ke wajah Iva, membuat wanita itu terkurung oleh tatapan bengisnya. “Kamu tahu alasanku menyekapmu di sini. Kalau kamu mengatakannya, aku akan melepaskan kamu.” “Kamu kan ayahnya. Usaha dong. Cari dia. Enggak ada gunanya kamu ngancam aku. Aku tidak tahu di mana anakmu.” Iva bersikeras tidak mengatakan soal Abby kepada Fabian. Iva tidak yakin kalau Fabian ayah yang baik. Dilihat dari cara pria itu menculik dan memperlakukannya, mungkin isi surat yang ditemukan bersamaan dengan ditemukannya Abby adalah benar. Hidup Abby dalam bahaya. “Oke. Aku akan mencarinya dan selama itu pula kamu akan tinggal di sini.” Fabian melengkungkan bibirnya tersenyum sinis. “Sebagai tawanan.” Mata Iva melotot dan secara otomatis kemarahannya meluap dalam teriakan. “Apa?!” “Jangan berisik!” Fabian memperingatkan dengan suara tertahan di tenggorokan. “Jangan sampai suara cemprengmu mengganggu pendengaranku.” Iva mencebik lalu menanggapi respons Fabian dengan cara yang sama. “Bodo amat! Syukur banget deh kalau telingamu jadi congek.” “Kalau begitu, kamu akan tidur di gudang bawah tanah bersama tikus dan kecoa.” Kali ini Fabian benar-benar marah. Fabian menyambar dan mencekal tangan Iva dengan cepat. Pria itu lalu menarik tangan Iva, tapi Iva bertahan di tempatnya berdiri. Terlanjur kesal, Fabian mengerahkan tenaga yang cukup kuat untuk menarik tangan Iva. Tubuh Iva pun secara otomatis ikut terseret. Tanpa persiapan yang cukup, Iva tidak bisa mengimbangi langkahnya sehingga dia tersandung kakinya sendiri dan terjatuh dengan posisi berlutut di atas karpet wol yang melapisi lantai kamar. Rasa nyeri di lututnya membuat wanita itu memekik dan meringis. Sesaat kemudian Iva mendongak dan melayangkan tatapan setajam siletnya pada Fabian. “Nyebelin! Dasar cowok gila, sinting, tak beradab, barbar, congek pula!” Sumpah serapah Iva terlontar dengan deras. Fabian berhasil mengembalikan sisi liar Iva. Ambyar deh cita-cita jadi perempuan baik yang selalu bisa berkata dan berlaku dengan santun. Bukannya marah, Fabian justru tersenyum penuh kemenangan. Baginya, sangat menyenangkan melihat Iva tersiksa seperti itu. Dia bisa membalas keangkuhan Iva tanpa harus berusaha lebih keras. “Kualat!” ejek Fabian. Iva mengerucutkan bibirnya. Kesal. Dia celingukan mencari pegangan untuk bisa berdiri kembali lantaran lututnya masih terasa nyeri. Sialnya, dia tidak menemukan satu pun benda yang bisa dijadikan pegangan di sekitarnya. Tanpa basa-basi, Fabian mengulurkan tangan untuk membantu Iva berdiri. Dia menggertakkan gigi saat Iva menolak bantuannya. Baiklah. Mari lihat seberapa kuat wanita itu bisa melakukannya, pikir Fabian. Fabian bersedekap. Dia membiarkan Iva berusaha sendirian untuk berdiri. Wajah Iva yang sedikit pucat dan rintihan pelan yang keluar dari bibir wanita itu saat mencoba berdiri dengan susah payah sebenarnya membuat Fabian iba. Namun, dia hanya bisa menyembunyikan perasaan itu jauh di dasar hatinya. “Masih mau berteriak-teriak seperti di hutan?” Fabian memprovokasi. Iva memalingkan muka. Dia tidak ingin lagi beradu argumen dengan Fabian. Pria itu yang berkuasa di sana. Seribu bantahan dan penolakan yang Iva ungkapkan, semuanya tidak akan berarti di mata Fabian. Iva memperingatkan dirinya sendiri. “Untuk sementara, kamu bisa tidur di sini. Tapi kalau kamu mengacau, apalagi sampai suara jelekmu itu mengganggu telingaku, aku tidak segan-segan memindahkanmu ke bawah. Biar kamu tidur bareng tikus!” imbuh Fabian lalu meninggalkan Iva di kamar tamu tersebut. Iva menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mimpi apa dia kemarin malam sampai harus mengalami masalah pelik seperti ini? Iva bertanya-tanya dalam hati sambil berjalan ke sisi ranjang. Sialnya, sampai saat itu pun Iva masih belum tahu nama Fabian. *** Cahaya terang menyilaukan menerobos kaca jendela besar tanpa tirai. Iva mengerjap-ngerjap berusaha untuk membuka mata lebih lebar. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kaku. Iva bahkan merasakan seluruh ototnya seperti terputus saat dia berbalik menatap langit-langit. Begini banget sih rasanya, batin Iva. “Abby!” Iva terkesiap dan langsung bangkit dari tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang sambil menekan d**a. Detak jantung yang mengencang dan perasaan panik berhasil menyedot darah dari wajah Iva. Iva tampak sepucat mayat. Bayangan Abby dengan cepat memenuhi kepalanya. Perasaan takut dan cemas berdenyut di setiap nadinya memikirkan nasib anak itu. Empat bulan bukan waktu yang singkat untuknya mengenal Abby. Meskipun awalnya sangat sulit merawat Abby karena minimnya pengalaman, tetapi kini Iva mulai terbiasa dengan Abby. Dia menyayangi gadis kecil itu dan tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya meskipun ayah kandungnya sendiri. “Abby. Semoga saja anak buah cowok sinting ini tidak bisa menemukannya. Semoga saja Rieke membawa Abby ke rumah Mas Ray.” Iva berbicara kepada dirinya sendiri. Iva kemudian berjalan ke arah jendela. Pandangannya jatuh ke kolam renang di bawah sana. Namun, tiba-tiba Iva harus menelan kesiap. Bayangan benda-benda yang ada di sekitar kolam renang lebih pendek, hampir sejajar. Iva percaya saat itu bukan pagi hari lantaran sengatan matahari terasa lebih panas. Iva berbalik. Pandangannya menyusuri setiap sudut kamar mencari jam. “Sial. Jam berapa sekarang? Bagaimanapun caranya, aku harus bisa pergi dari rumah ini.” Suara daun pintu yang berayun melemparkan pandangan Iva ke sana. Seorang wanita paruh baya bertubuh gempal yang mengenakan pakaian hitam dan putih masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi sepiring nasi dan lauknya serta segelas air putih. Dari penampilan wanita itu, Iva bisa menebak kalau wanita itu seorang asisten rumah tangga. “Makan siangnya saya simpan di sini ya, Non.” Wanita itu meletakkan nampan di atas meja di samping ranjang. “Terima kasih.” Iva memperhatikan wanita itu tersenyum ramah kepadanya. Ini kesempatan untuk mengorek informasi. Keramahan seseorang harus ada manfaatnya, pikir Iva. “Mbak, eh, Bu,” panggil Iva gugup. Dia tidak tahu harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa. “Panggil saja saya Bu Nur. Semua orang di rumah ini memanggil saya begitu,” kata wanita itu sambil tersenyum. Iva mengangguk. Oke. “Bu, ini rumah siapa ya? Mm, maksud saya, rumah ini milik siapa?” Bu Nur mengerutkan dahi dan memandang heran pada Iva. Namun, akhirnya dia membuka suara. “Rumah ini milik Pak Fabian.” “Pak Fabian?” “Lha, kok tamunya Pak Fabian tidak tahu kalau ini rumah Pak Fabian?” Bu Nur menanggapi dengan nada bercanda seolah-olah pertanyaan Iva adalah basa-basi wanita itu. “Kenapa emangnya, Non?” Oh, jadi si gila itu namanya Fabian. Iva lalu menggeleng sambil tersenyum palsu. “Tidak apa-apa. Bercanda.” “Kalau begitu, silakan dinikmati makanannya, Non. Kalau butuh buku-buku bacaan, nanti saya bawakan ke sini. Pak Fabian mungkin pulangnya malam.” Iva mendapati celah untuk bisa kabur. Atau setidaknya, dia bisa mencari cara untuk menghubungi kakaknya. “Apa Pak Fabian sering pulang malam, Bu?” “Sejak Bu Evelyn kabur membawa lari Non Libby, Bapak semakin jarang di rumah. Dia pulang kalau mau tidur saja,” jelas Bu Nur. “Bu Evelyn itu—“ “Istrinya Bapak,” potong Bu Nur, “Non Libby itu anaknya.” Oh. Iva mengerti sekarang. Libby mungkin nama sebenarnya dari Abby. Berhubung anak kecil yang ngomong, Libby jadi Abby. “Kok dia bisa kabur?” “Saya juga kurang ngerti, Non. Sejak Non Libby lahir, mereka kayak hidup masing-masing gitu.” “Begitu, ya?” Iva mengangguk-angguk mengerti. “Bu, apakah saya boleh numpang menelepon? Saya ada urusan sangat penting.” Bu Nur menatap Iva selama beberapa saat. “Bapak berpesan—“ “Iva!” Panggilan familier membuat Iva sontak menoleh ke arah pintu. “Mas Ray!” Senyum semringah Iva mengembang di bibirnya. Fabian harus tahu kini dia berurusan dengan siapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN