5

1583 Kata
Reza memaksa matanya untuk terbuka karena ia merasakan kulit dahinya seperti tertarik dan itu sakit. Pria itu meringis karena ternyata ia menggerakkan tangan yang ditusuk oleh jarum infus untuk memeriksa dahinya. “Hai..” ucap suara yang tentu saja Reza kenal dari arah kanannya. “Num?” tanya Reza bingung, kenapa ia kembali bertemu dengan Hanum padahal ia sudah mengantar bocah ini ke rumahnya semalam. “Thanks god, lo masih ngenalin gue,” ejek Hanum yang juga bernada lega. Reza memejamkan mata untuk mengingat apa yang menyebabkan pagi-pagi ia sudah berhadapan dengan wajah juniornya itu dan juga selang infus yang menempel pada kulit tangannya. Kemudian Reza membawa tangan lainnya utuk mengusap kedua wajahnya. Saat ini ia merasa kesal dan juga lega. Jika saja ia tidak mendapat kecelakaan tersebut maka sudah dipastikan ia bisa melihat Uci dan mungkin lebih, dan pria itu lega karena ia tidak jadi mengalami kemungkinan lebih tersebut yang hanya akan membuat Uci semakin sulit untuk ia gapai. Semalam Reza sangat marah, ia bisa saja melakukan sesuatu diluar akal sehatnya pada Uci. “Lo pasti girang, Bang,”  Hanum memperhatikan lebam di jidat kiri pria yang ia panggil Abang. Hanum sama sekali tidak senang karena wajah tampan favoritnya tampak tidak memiliki nilai seni lagi. “Karena gue berakhir disini? Dan dimana ini, Num?” Reza teringat sesuatu. “Big NO! Karena demi lo, gue jadi batalin jalan-jalan bareng berondong kemaren. Oh, ini rumah sakit pastinya,” dengus Hanum. Sebenarnya ia dan para panitia seminar kemaren akan jalan-jalan selama dua hari tapi ya sudahlah, pria babak belur di depannya ini jauh lebih penting. “Dan kenapa lo bisa tau gue ada disini?” “Karena mereka menghubungi orang terakhir yang kontekan sama elo. Dan ada apa sampai lo kelayapan sampai kesana? Lo ga mabuk kan semalam??” Reza menunjuk gelas di meja di samping brangkarnya dengan gerakan mulut, enggan memberikan jawaban untuk Hanum. Gadis itu dengan tanpa protes memberikan apa yang Abang Reza kesayangannya mau setelah membantu Abang Reza tercintanya untuk setengah duduk. Ia akan memulai belajar menjadi istri yang baik mulai sekarang, meskipun ia sangat tidak mensyukuri apa yang Reza alami, tentu saja. Selagi menerima suapan bubur yang rasanya sangat tidak karuan karena Reza bahkan tidak bisa mengenali sedikitpun MSG di dalamnya, Reza sibuk dengan hapenya menghubungi orang tuanya yang tentu saja sudah murka. Ia yang sangat bersemangat untuk melamar Uci dan sekarang ia pula yang tidak ada di tempat. Namun yang tersambung padanya hanya suara operator. Hanum mematung melihat tingkah Reza yang mengalihkan tatapannya dari hape yang berdering dan juga wajahnya, begitu terus. “A-angkat aja kali...” ucap Hanum gugup. “Halo, Ma,” “...” “Bang Edo kan juga udah minta lanjut aja tanpa Ejak, ma,” ucap Reza rada takut setelah barusan disembur oleh Mamanya. “...” “Iya Ma.. Ejak sedang sama dia,” Reza menatap ragu pada Hanum dan ia mengangkat tangan yang dipasangi infus ke udara meminta Hanum untuk tetap diam. Mau tidak mau, sebagai calon istri yang baik Hanum menuruti perintah pangeran hatinya dengan mengatupkan bibirnya kembali. “Dan sama sekali engga macam-macam, Ma,” ringis Reza, lagian bukan salah Mamanya juga. Semua orang juga akan mengira hal yang sama dengan sang Mama saat mengetahui Reza dan calonnya bermalam di luar dan tanpa memberitahu keluarga, dan diperlengkap dengan tidak ada satupun dari hape mereka yang bisa dihubungi sejak semalam. “...” “Oke, Ma.. Papa ga ngamuk kan, Ma?” Setelah sambungan teleponnya dengan Mama putus, Reza meletakkan hape dengan kikuk sementara Hanum tampak sangat antusias. Hanum menyodorkan wajahnya terlalu dekat dengan Reza, ia melupakan bahwa saat ini sikapnya tampak seperti cewek murahan. “Mama lo tau kalo lo lagi sama gue, Bang?” “Hah???” “Mama lo.. beliau bilang apa sampai lo harus bilang kita ga ngapa-ngapain?” tanya Hanum mengerling genit. “Apa maksud lo dengan ga ngapa-ngapain?” Reza dibuat bingung dengan gadis cantik beberapa inci di depannya ini. “Jadi kita lagi ngapa-ngapain?” kali ini cengiran Hanum semakin lebar, untung saja Reza sudah menjatuhkan hatinya pada orang lain jauh sebelum ia mengenal gadis itu karena kalau tidak Reza pasti sudah bertekuk lutut di hadapan Hanum. Tidak hanya handal di dapur, Hanum punya senyum yang mematikan dan itu penilaian yang sangat objektif dari Reza Alaric Sagara. “Eh oon, gue bilangnya ga macam-macam kan tadi? Ketahuan banget kan otak lo rada ngeres,” kemudian Reza mendorong jidat mengkilap Hanum agar semakin menjauh dari wajahnya. Saat bicara dengan mamanya barusan Reza sama sekali tidak menganggap Hanum, ia tidak berniat mengganti kata dia yang sebenarnya ditujukan untuk Uci menjadi Hanum. Jadi ketika Reza mengatakan ia tidak macam-macam, yang ia maksud adalah dirinya yang tidak macam-macam dengan Uci. >>>>  Bian mematung melihat siapa yang barusan ia tabrak dadanya, lagian siapa suruh orang ini berdiri di depan pintu tanpa memencet bel sama-sekali? Ingin bersikap ketus namun Bian teringat kekonyolannya malam itu. “Pap- Papa ga ada di rumah.” Sial, kenapa orang ini hanya memperhatikannya? Bukannya menjawab, apa segitu ga sudinya ngomong sama Bian lagi? Kalau begini jangan salahkan Bian menggunakan kosa kata yang ia dapatkan dari bang Raka. Lucknut memang mantan satu ini. “Aku mau pergi.” Lagi, Bian kembali tidak mendapatkan sahutan, bikin makin gugup aja. “Ak- aku ga bisa biarin kamu tetap tinggal di sini. Rumah mau aku konci dan ga mungkin aku biarin orang asing jaga rumah,” ucap Bian akhirnya bisa ketus meskipun di awal agak tersendat, terima kasih pada Dafka masih tidak menjawab perkataannya. “Lo maunya apa sih?” pertanyaan ini benar-benar menyuarakan isi hati Bian, membuat keduanya menatap pada arah datangnya suara. Tapi ini tentu saja bukan Bian yang bicara, meskipun putus Bian tidak akan mengubah cara bicaranya sendiri. “Fateh?” tanya Bian pada sosok yang selama ini cukup sering saling sapa dengannya. Fateh adalah temannya Adri dan Adri adalah orang yang Bang Raka inginkan untuk jadi pacar Bian. Mau tidak mau Bian jadi kenal dengan si Fateh Fateh ini. “Kemari lo Bian! Calon pacar lo ga bisa jemputin dan jangan pake bengong. Lo ga liat gue lagi bawa anak raja?” ucap Fatih melirik ponakanya, Danis, yang berpangku tangan ditambah wajah cemberut. Oh astaga kenapa pula bocah banyak maunya ini pakai acara kangen segala padanya sampai Kakak tercintanya mengirimkan Danis padanya untuk beberapa minggu ke depan. Jangan bilang di Padang sana Kakak sedang pedekate dengan calon Bapak tirinya anak ini. “Om, aku-” “... tau! Gue tau lo laper...” potong Fateh kesal pada ponakannya. “Aku kebelet tau!” ucap Danis kesal, ia memang kelaparan tapi sekarang ia harus pipis. Melihat Om yang masih tidak mempercayainya, Danis turun dari motor dan berlari ke pacar Omnya. “Aku boleh pakai toilet Tante pacar kan?” tanyanya dengan nada memohon. “Eh bocah! Bukan pacar gue itu!” teriak Fatih marah. “Bo-boleh...” demi apa? Bian salah tingkah? Bian tergagap memandang bocah rupawan yang hanya setinggi pahanya, ya meskipun Bian bukan cewek yang tingginya patut dibanggakan, dari jaraknya dengan Dafka saja terlihat bahwa Bian hanya sedagu cowok itu. “Tampan sekali,” bisiknya, lalu gadis itu cepat-cepat menuntun si bocah tampan menuju toilet yang saat ini sangat dibutuhkannya. Dafka dan Fateh berdiri saling membelakangi, keduanya kesal dengan kehadiran masing-masing. Mengabaikan Dafka yang bahkan mantan pacarnya sendiri tidak pernah tau bagaimana pikirannya, Fateh malah bersungut-sungut seperti cewek yang mendapati pacarnya tertangkap melirik cewek lain. “Coba aja lo nonjok gue kaya lo bikin konco gue bonyok, abis lo! Kalo bukan karena masalah cewek yang mana itu bukan cewek yang gue taksir, udah gue beri lo. Lagian cewek semekot gitu aja pake diributin, standar kalian ckckck sedih gue,” batin Fateh. Tak lama kemudian ia melihat ponakan centilnya sudah berpegangan tangan dan terlihat malu-malu pada Bian. “Ini anak emang kompian Emaknya banget ya, ganjen. Duh bocah!! Lo kan cowok, ngapain pake tersipu begitu? Gue sapu juga lo.” “Umurnya berapa, Teh?” tanya Bian yang tampak sudah termakan tipu daya setan kecil kesayangan Ayahnya Fateh ini. “Dua setengah tahun,” ucap Fateh mempelototi ponakannya agar segera kembali ke sisinya. Ngapain lama-lama pegangan tangan sama cewek yang jauh lebih tua darinya? Memang nanti Fateh harus menyempatkan satu atau dua jam untuk menguliahi bocah ini tampaknya. “Yang  benar itu dua tahun tujuh bulan tiga belas hari,” Danis memberengut karena Om Fatehnya tidak ingat berapa tepatnya umurnya, padahal semalam baru diingatkan. “Ini mantan lo ngapain? Ganti status jadi tukang pukul lo?” “Om! Mama kan udah bilangin jaga mulut di depan orang,” si bocah tampan yang sama sekali tidak menunjukkan kecadelan saat ia bicara menatap Omnya dengan kedua tangan di pinggang sambil mendongak menatap dengan tatapan intimidasinya. “Wah pinter banget, teh? Namanya siapa tadi? Gue boleh pinjem dia?” tanya Bian yang sudah merendahkan tubuhnya, menatap Danis penuh kekaguman seperti tatapan cewek ketika melihat tas hermes, dior dan kawan-kawannya. “Buset, mulut lo equal banget sama si tengik Adri.” Rasanya Dafka sudah menantikan kedua makhluk yang datang tidak diundang itu untuk berhenti bicara omong kosong namun si bocah justru mengancam Fateh bahwa ia akan mengadukannya pada Adri. Mata Dafka melotot mendengar bagaimana kata sapaan yang bocah itu gunakan untuk orang yang tempo hari ia buat babak belur, Daddy. Jadi ini anaknya Adri? Apa anak hasil hubungan di luar nikah ya? “Dan stop panggil cewek ini Tante pacar karena dia bukan pacar gue! Pangil dia Mommy.” Fix, Dafka tau perkiraannya benar. Jadi Adri menggunakan anaknya untuk mendapatkan hati Bian. Cih, menyedihkan sekali. “Mommy?” ucap Danis dengan nada bimbang sambil menengadah meneliti perempuan dewasa yang tadi membantunya mengancingkan celananya. “Lagi,” pinta Bian girang. Bian ingin mendengar kata itu sekali lagi, astaga apa Bian harus punya anak secepatnya? Tapi kalau ia punya anak apakah anak itu akan setampan bocah ini? “Sialan tapi gue harus mengakui kalo tingkah lo emang seajaib Adri,” ucap Fateh gusar kemudian mengangkat ponakannya seperti karung, tanpa diminta Bian mengikuti arah kemana si bocah menggemaskan pergi. “Eh?” Bian menatap pada pemilik lengan yang mencekalnya yang menyadarkannya bahwa sejak tadi Bian mengabaikannya. “Jangan ikut cowok itu!” “Untuk seorang yang bahkan tidak pantas disayangi oleh siapapun, kamu terdengar konyol dengan laranganmu,” Bian merogoh tas kecilnya, “Urusan kamu sama Papaku kan? Kali ini saja aku biarkan kamu di rumah karena kamu mahasiswa kesayangan Papa,” ucap Bian sambil menyodorkan kunci rumah pada Dafka.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN