Bianca duduk sembari memeluk kedua lututnya. Dia melihat jauh keluar dari balik jendela kamarnya. Mengetahui kalau dia sedang mengandung buah dari perbuatan Alex, membuatnya kembali di timpa kesedihan. Dia tidak siap punya anak. Hingga saat ini dia belum bisa memaafkan perbuatan Alex. Bianca tidak menginginkan anak itu. Meskipun dia pernah mencintai Alex dan pernah memimpikan menikah dengan pria itu namun, dia tidak pernah bermimpi untuk memiliki anak. Terlebih dengan cara seperti ini.
"Pergilah! Aku tidak menginginkanmu," bisik Bianca pada perutnya. Berharap janin itu mendengarkannya lalu kembali pada sang pencipta. "Aku benar-benar tidak menginginkanmu. Kumohon pergilah," ucap Bianca seraya terisak kecil. Ini bukan pertama kalinya dia mengucapkan kata-kata itu pada janin tak berdosa itu. Sejak tahu kalau dia sedang mengandung satu minggu lalu dia terus mengucapkan kata yang sama. Dia bahkan hampir mencelakai dirinya untuk mengusir janin itu dari perutnya. Andai Janeta tidak datang saat itu, mungkin tidak hanya janin itu yang menghadap Sang Kuasa akan tetapi dia juga ikut serta.
"Jangan melukainya, Sayang. Dia tidak bersalah. Dan jangan coba-coba juga untuk melukai diri mu. Kalian berdua sangat berharga," kata Janeta saat itu. Bianca menghela napasnya lelah. Lelah menangisi semua yang terjadi pada dirinya, lelah mengahadapi rasa sakit yang sedikit pun tidak berkurang.
Bianca pindah ke tempat tidur, dia lalu membaringkan tubuhnya lalu menarik selimut sebatas perut. Bianca tahu dia tidak bisa terpuruk terus menerus. Dia harus bangkit dan melawan rasa sakitnya. Dia sudah mendengar kalau Om Lukas mengasingkan Alex ke luar kota. Harusnya itu bisa membuatnya lega, dia tidak akan bertemu dengan pria itu lagi untuk waktu yang lama.
Bianca menutup matanya, berusaha untuk memikirkan apapun. Besok pagi saat dia bangun, dia ingin memulai hidupnya yang baru. Bianca yang lebih kuat, Bianca yang tidak cengeng dan Bianca tanpa cinta. Dia tidak akan pernah menjatuhkan hatinya lagi untuk siapapun. Bianca ingin hidup untuk dirinya sendiri dan kedua orang tuanya. Hanya itu, tidak akan ada yang lain lagi.
***
"Pagi, Ma, Pa," sapa Bianca ceria pada kedua orang tuanya yang berada di dapur, Janeta yang sibuk membuat kopi serta Doni membaca sesuatu di tablet miliknya. Janeta dan Doni melihat Bianca dengan wajah terkejut. Ada harapan besar di mata keduanya. Bianca, untuk pertama kalinya keluar dari kamarnya setelah mengurung diri selama berhari-hari.
"Pagi, Sayang," balas Doni dan Janeta hampir bersamaan. Doni menutup layar tab-nya. Dia kemudian menarik satu kursi di sampingnya lalu mempersilahkan putrinya duduk.
"Papa seperti melihat pelangi hari ini," kata Doni seraya menatap putrinya lembut. Bianca mengerti dengan tujuan perkataan papanya. Dia balas tersenyum menatap pria paruh baya itu.
"Bi minta maaf iya, Pa. Bi sudah banyak membuat Papa susah." Bianca berucap pelan.
"Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah menyusahkan Papa. Papa yang seharusnya minta maaf. Maafkan Papa karena tidak bisa menjaga serta melindungi kamu. Papa tidak pernah menginginkan kamu melalui semua hal ini, Bianca." Doni mendongak menatap langit-langit ruangan itu menghalau air matanya turun. Penyesalan terbesarnya adalah tidak bisa melindungi Bianca permata satu-satunya yang dia punya dari orang seperti Alex. Andai dia tahu kalau Alex memliki niat busuk, dia tidak akan pernah membiarkan Bianca dekat dengan pria itu.
"Papa tidak salah. Tolong jangan minta maaf." Bianca menarik napasnya, tenggorokannya tercekat melihat kesedihan di mata Papanya. Bianca sudah berjanji pada dirinya, tidak akan pernah ada lagi air mata. Yang kemarin adalah yang terakhir kalinya.
Janeta menyajikan kopi dan teh untuk suami dan putrinya. "Ayo sarapan dulu," katanya. Dia mengelus kepala Bianca seraya tersenyum.
"Mama senang kamu turun untuk sarapan," ucap Janeta penuh haru. Dia lalu mengoleskan selai ke selembar roti kemudian memberikannya pada Bianca.
"Makasih, Ma." Bianca menerima roti itu lalu memakannya lahap. Ketiganya makan dalam diam namun perasaan mereka diliputi kegembiraan.
"Ma, Pa aku sudah mengambil keputusan untuk kedepannya." Bianca membuka pembicaraan setelah mereka pindah ke ruang keluarga.
"Apa itu?"
"Mulai hari ini aku mau Papa tidak mengundang Tante Mia lagi. Aku tahu dia bukan teman Mama atau pun Papa. Dia seorang psikolog, kan?" Doni menampilkan ekspresi terkejut sementara Janeta dia bersikap biasa saja. Sejak awal Bianca sudah menimbulkan kecurigaan dan Janeta menduga kalau Bianca akan mencari tahu kebenarannya.
"Kamu masih membutuhkan bantuannya-"
"Tidak, Pa. Aku sudah cukup menjalani terapi yang dengan Tante Mia. Mulai sekarang aku sendiri yang akan mendatangi Tante Mia jika aku merasa tidak baik."
"Baiklah, Papa setuju." Bianca senang mendengarnya.
"Mama juga setuju. Mama sudah melihat sendiri kalau kamu baik-baik saja serang," ucap Janeta menimpali.
"Aku juga memutuskan untuk melanjutkan sekolah segera setelah aku melahirkan bayi ini." Bianca ingin belajar lagi, dia ingin memiliki teman yang benar-benar memandangnya teman. Bukan karena ada inginnya. Selama menjalani masa sekolahnya dulu, dari SD hingga dia mendapatkan gelar sarjana tidak ada seorang pun yang benar-benar tulus ingin berteman dengannya. Semua orang mendekatinya hanya karena ingin mengenal Alex yang dekat dengannya.
"Lalu mengenai bayi ini. Aku setuju dengan Om Lukas. Biarkan Alex yang membesarkannya." Bianca ingin Alex merasakan susahnya membesarkan bayi seorang diri. Bianca juga tidak ingin menerima cacian karena membesarkan anak tanpa seorang suami di sampingnya. Daripada mengirimkan bayi itu ke panti asuhan bukankah lebih baik Alex yang membesarkannya?
"Papa mendukung apapun yang kamu putuskan. Asal kamu bahagia, Papa tidak akan melarang kamu."
"Mama tidak setuju mengenai bayi kamu, Sayang. Mama sanggup merawatnya selama kamu pergi." Janeta menatap perut Bianca. Biar bagaimana pun bayi itu tetap cucunya. Dia tidak rela kalau bayi itu harus hidup dengan Alex yang sekarang sudah susah. Bianca menggeleng.
"Aku tidak setuju. Alex harus menanggung akibat dari perbuatannya. Membesarkan bayi sendirian merupakan salah satu hukuman yang harus dia terima." Sejak awal Doni juga tidak mengharapkan kehadiran bayi itu. Melihatnya akan membuatnya semakin membenci Alex nantinya. Doni tidak akan sanggup hidup serumah dengan sumber kesusahan putrinya.
"Tapi-"
"Janeta, mengertilah. Bayi itu hanya akan mengingatkan kita pada penderitaan Bianca." Doni memotong pembicaraan istrinya. Janeta menunduk, dia tetap tidak setuju dengan keputusan itu. Ada banyak cara untuk menghukum Alex atas perbuatannya. Mereka tidak harus mengorbankan bayi yang tidak berdosa itu. Akan tetapi dia tidak akan memaksa mengubah keputusan Bianca sekarang. Dia masih memiliki banyak waktu sebelum bayi itu lahir. Janeta bertekad untuk mengubah keputusan Bianca. Dia meyakini kalau, perasaan keibuan yang wanita hamil alami pada umumnya akan muncul juga pada Bianca. Bianca pasti akan menyayangi anaknya suatu saat nanti dan tidak ingin berpisah dengannya.
Bersambung...