Suasana panas membakar hati Maxi de Luca. Netra biru pria itu berkobar amarah. Sungguh dia tak menyangka semalam telah dibodohi oleh seorang p*****r. Padahal seharusnya dia menikmati tubuh wanita itu, nyatanya dia justru tertipu dan wanita brengs*k itu justru mengambil bagian tubuhnya.
"SH*T!!! (Sial*n)" Geram Maxi de Luca menyadari kebodohannya yang luar biasa. Sungguh dia tak menyangka gadis perawan yang dia pikir lugu itu justru seorang penyusup. Wajah lembutnya yang dibalut make up tebal sungguh tak menghilangkan kepolosan wajahnya. Maxi de Luca masih ingat betapa menggairahkan wajah wanita itu. Bahkan dia mampu mengeras hanya karena menatap wajahnya. Padahal nyatanya dia belum menyentuh tubuh sang gadis.
"BAST*RD!!! (Brengs*k)" Pria itu semakin meningkatkan nada bicaranya akibat amarah. Sungguh baru kali ini dia merasa semakin bodoh. Bagaimana mungkin dia terpesona pada wajah polos penipu cantik itu. Sungguh ini adalah kesialan yang hakiki.
"Johnson!!!" Teriak Maxi de Luca memanggil anak buah kepercayaannya. Pria itu terus berteriak membuat Johnson yang mendengar gelegar suaranya pun segera berlari. Khawatir Maxi de Luca akan semakin mengamuk.
"Saya, Sir." Nafas Bruno Johnson tampak kembang kempis karena pria itu baru saja berlari. Berlomba dengan waktu demi menghindari amukan bos besarnya.
"Siapkan kendaraan. Kita ke rumah bordil sekarang," ucap Maxi de Luca dengan netra biru yang berkobar penuh amarah.
"Tapi bukankah tadi anda sendiri yang bilang untuk membawa Mami ke sini? Saya sudah memerintahkan salah satu anak buah anda untuk membawa Mami ke markas kita," ucap Bruno Johnson menjelaskan.
Tapi siapa sangka, Maxi de Luca justru semakin berkobar amarah. Pria itu benar-benar emosi bahkan tak sanggup menunggu. Tatapan matanya seperti iblis yang siap membakar manusia. Bahkan dari gerakan jemarinya yang arogan, Bruno Johnson bergidik ngeri karena dia yakin saat ini Maxi de Luca sedang dalam fase ingin mencuci tangan dengan darah manusia.
"Who is the boss here? Me or you? (Siapa di sini bosnya? Aku atau kamu?)" Teriak Maxi de Luca emosi. Hal itu tentunya membuat Bruno Johnson menunduk hormat.
"Maafkan saya, Sir. Mari saya antar," ucap Bruno Johnson. Sedangkan Maxi de Luca segera melangkahkan kakinya ke depan. Melewati Bruno Johnson dan menyenggol bahu anak buahnya dengan cukup kuat. Bruno Johnson pun segera mengikuti langkah bos besarnya.
Dengan tergesa pria itu segera menghubungi anak buahnya untuk menghentikan rencananya yang akan membawa sang mucikari ke markas. Kemudian pria itu segera memberitahukan pada anak buahnya untuk menyiapkan mobil ke depan pintu utama.
Tepat saat Maxi de Luca keluar dari pintu utama, mobil mewah keluaran Eropa dengan harga fantastis itu segera diparkir indah di depan pintu utama. Seorang pria berperawakan besar dan tegap pun keluar dari kursi kemudi demi membukakan pintu untuk sang bos. Kemudian memberikan kunci mobil pada Bruno Johnson.
"Faster!!! (Cepat!!!)" Teriak Maxi de Luca pada Bruno Johnson.
Dengan gerakan cepat Bruno Johnson segera menginjak pedal gas. Pria itu berusaha semaksimal mungkin mengendalikan laju Maybach hitam bertabur berlian milik bos besarnya. Suara gerung mobil itu benar-benar layaknya seperti suara seekor raja hutan yang mengaung. Membuat semua kendaraan menyingkirkan diri. Gerakannya seperti kilat yang meninggalkan angin kencang. Ribuan berlian yang ditabur pada body mobil termahal di dunia itu, tampak berkilau membias cahaya matahari. Begitu mewah dan menyilaukan mata.
Dan sebuah dering panggilan telepon membuat Bruno Johnson mengurangi kecepatannya. Pria itu melirik sekilas ke arah sang bos yang tampak menatap serius ke arah depan.
"Tyson menghubungi saya, Sir. Dia yang saya utus untuk membawa sang mucikari ke markas," ucap Bruno Johnson menjelaskan. Maxi de Luca pun segera bicara.
"Katakan padanya hentikan aksi mereka. Biar saya yang datang ke sana," ucap Maxi de Luca.
Bruno Johnson pun menyampaikan hal yang telah diucapkan oleh Maxi de Luca. Namun sayangnya mereka sudah dalam perjalanan menuju markas.
"Mereka ada di wilayah Perbukitan Cheviot yang menjadi batasan selang Skotlandia dengan Inggris," ucap Bruno Johnson pada Maxi de Luca.
Pria itu pun segera memerintah Bruno Johnson untuk segera ke wilayah tersebut. Bruno Johnson pun kembali menekan pedal gas dengan kuat. Pria itu meliuk-liukkan mobil mewah milik Maxi de Luca melintasi perbukitan menuju wilayah perbukitan Cheviot. Maybach hitam bertabur berlian itu tampak begitu lincah, layaknya seekor ular yang bergerak kencang meliukkan tubuhnya.
Dan akhirnya mobil itu berhenti saat melihat mobil milik anak buah Maxi de Luca parkir di tepi jalan.
Ciiitttt...
Suara derit rem menggema dan memekakkan telinga. Maybach hitam itu segera berhenti tepat di hadapan mobil sedan mewah milik anak buah de Luca. Tak lama kemudian sepasang sepatu kulit high quality melangkah keluar dari mobil mewah itu. Menampilkan sosok tampan nan arogan. Netra biru yang seindah safir kini tampak seperti mata elang yang hendak memangsa.
Sedangkan dari mobil sedan anak buah de Luca, turunlah beberapa anak buah de Luca dengan seorang wanita cantik yang sudah sampai di pertengahan abad. Wanita dengan make up super tebal dan pakaian yang ketat membalut tubuhnya. Sedangkan lengannya dicengkeram boleh anak buah Maxi de Luca.
Langkah tegap Maxi de Luca begitu dingin. Membawa aroma kematian yang nyata. Netra birunya seperti sorot mata elang yang menemukan mangsa. Setiap gerakannya begitu mengerikan di mata sang mucikari. Membuat tubuh wanita itu gemetar ketakutan. Terlebih lagi saat langkah tegap nan arogan itu berhenti di hadapannya.
"Apa ada yang membayar mu untuk suatu misi?" Tanya Maxi de Luca dengan suara baritonnya yang kental.
"Tidak ada, Tuan." Sang mucikari gemetar ketakutan layaknya bertemu dengan malaikat pencabut nyawa.
"Katakan dengan jujur," ucap Maxi de Luca kini meraih dagu sang wanita dan mendorongnya ke atas agar bisa menatap wajah itu.
"Saya bersumpah tidak ada yang meminta saya untuk melakukan suatu misi," ucap sang mucikari berusaha tenang dalam kondisi antara hidup dan mati.
"So... Siapa wanita itu?" Tanya Maxi de Luca membuat sang mucikari membisu. Sungguh dia tak tahu apa-apa. Yang dia tahu hanyalah, gadis yang seharusnya melayani Maxi de Luca telah kabur. Sedangkan sang perias dibuat pingsan dan diikat. Itupun dia temukan setelah di pagi hari.
"Saya benar-benar tidak tahu. Saya bahkan tak tahu kalau gadis yang seharusnya melayani anda kabur dari rumah bordil," ucap sang mucikari ketakutan.
"Kalian memang bodoh!!!" Teriakan Maxi de Luca begitu menggema. Wajahnya memerah berkobar api amarah. Bahkan Atmosfer di sekitar mereka berubah panas dan mencekam. Padahal nyatanya mereka berada di wilayah pegunungan yang seharusnya sejuk dan tenang. Sayangnya, Maxi de Luca adalah raja yang mampu mengubah suasana. Dari tenang menjadi begitu mengerikan hanya dengan aura yang dimilikinya.
"Maafkan saya, Tuan. Saya akan menggantikan semua kerugian anda. Saya juga akan ganti wanita itu dengan gadis polos sesuai selera anda," ucap sang mucikari berusaha bernegosiasi.
"Apa maksud anda, saya adalah orang yang kekurangan dana dan meminta ganti rugi? Begitu?" Maxi de Luca begitu tersinggung. Nyatanya dia bisa tidur beralaskan uang. Sungguh ini penghinaan baginya.
"Saya sungguh tidak bermaksud seperti itu, Tuan. Saya hanya..."
"Stop!!!" Teriakan Maxi de Luca membuat Sang mucikari menghentikan ucapannya karena ketakutan.
"Apa kau tahu siapa wanita yang menggantikan p*****r itu semalam?" Tanya Maxi de Luca mencengkeram rahang sang mucikari.
"Saya tidak tahu, Tuan. Sungguh."
Muak.
Inilah yang dirasakan oleh Maxi de Luca. Pria itu pun melepas cengkeraman tangannya dengan kasar hingga sang mucikari terhuyung ke belakang.
"Lempar dia ke jurang," perintah Maxi de Luca membuat sang mucikari berteriak ketakutan. Wanita itu memohon kepada sang penguasa. "Tuan, saya mohon jangan bunuh saya," ucap sang mucikari gemetar ketakutan. Wanita itu menoleh ke arah jurang yang dalam. Begitu curam dengan semak-semak belukar. Bahkan dipenuhi bebatuan yang tajam dan kasar. Sungguh dia bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika benar-benar dijatuhkan ke dalam sana. Tentunya nyawa yang dia miliki akan hilang dalam sekejap dengan raga yang hancur dan tak bisa dikenali. Ini adalah akhir yang paling buruk untuk manusia.
"Saya mohon," ucap Sang mucikari gemetar dengan air mata yang mengalir deras. Sungguh dia belum ingin mati.
Tapi sayang mereka memang tak punya hati nurani. Maxi de Luca memberikan perintah dengan menjentikkan jarinya. Sungguh sang mucikari begitu ketakutan, nyatanya nyawanya ada di ujung jari Sang mafia. Dan dia berteriak saat anak buah Maxi de Luca menggotong tubuh mungil sang mucikari.
"Aaaaa... Tuan, saya mohon," teriak sang mucikari ketakutan.
Senyum ibl*s itu muncul. Senyuman yang manis dari penguasa dunia hitam. Mafia kelas dunia yang dingin dan tak berhati nurani. Dan dia mengangkat wajahnya begitu arogan, kemudian kembali menjentikkan jari.
Anak buah Maxi de Luca sangat paham maksud dibalik gerakan arogan sang bos. Mereka pun. melempar sang mucikari ke dasar jurang.
"Hubungi Edward. Katakan rusak rekaman CCTV di wilayah perbukitan Cheviot," perintah Maxi de Luca pada Bruno Johnson.
Bruno Johnson pun segera menghubungi hacker terbaik yang menjadi orang kepercayaan Maxi de Luca. Hacker yang mampu meretas data apapun termasuk data pemerintah.
Maxi de Luca, bukan hanya penguasa, tapi dia juga jelmaan iblis pencabut nyawa.