Malam ini Tita kembali ke apartemen dengan rasa lelah yang luar biasa. Rasanya Tita kehilangan hampir 90% energi yang ia miliki. Padahal biasanya, meski bekerja 22 jam sehari, energi Tita akan tetap gas pol.
Logikanya yang hanya secuil memerintahkan Tita untuk berjalan masuk ke kamar gadis itu saja dan segera tidur, namun hatinya yang bebal malah menghasut untuk menuju kamar Gin.
Tita sempat ragu beberapa saat di depan pintu kamar Gin, terganggukah sahabatnya ini jika ia masuk? Pasalnya sekarang sudah lewat tengah malam, namun Tita tidak tahan untuk sendirian saja. Hatinya gusar. Perlahan Tita mengetuk lalu membuka pintu, melongok ke dalam dan mengintip sahabatnya.
"Gin …,” panggil Tita hati-hati.
Gin yang tengah duduk di depan komputer menoleh sepintas. "Oi? Baru pulang?"
"Gue boleh masuk?"
"Tumben amat pake nanya," celetuk Gin spontan. Tanpa kentara diamatinya wajah Tita diam-diam.
"Boleh nggak?" desak Tita dengan wajah memelas.
"Mau masuk ya masuk aja," sahut Gin tidak peduli.
Tita mencibir sebal melihat reaksi Gin yang datar itu. Memang sahabatnya ini paling hebat dalam hal memperburuk suasana hati orang. Tapi seorang Tita tidak akan terganggu dengan hal semacam ini, dengan sama tidak pedulinya ia melangkah masuk dan duduk tanpa permisi di tempat tidur Gin. Diamatinya Gin yang terlihat tengah serius. "Lo lagi ngapain?"
"Ngedit video." Memang seperti inilah keseharian seorang Ginjiro Hayashi. Gin mencukupi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan kemajuan teknologi dan kemudahan dari dampak menjamurnya platform online tempat anak muda dapat menyalurkan bakat-bakat terpendam. Gin adalah seorang musisi Youtube yang memiliki 800.000 subscribers dengan penghasilan sekitar 700 juta per tahun. Modal wajah campuran dan nama Jepang yang melekat padanya menjadi salah satu faktor penting bagi karier Gin. Dijamin akan membuat gadis-gadis galau pencinta wajah oriental akan tergila-gila. Tapi kalau Gin sudah bicara ..., BEUH! Logat pedasnya persis preman Betawi! Hasil warisan ibunya yang merupakan produk Betawi tulen.
Keseharian Gin diisi dengan menciptakan lagu, mengaransemen musik, lalu menggaet penyanyi-penyanyi muda untuk menyanyikan lagu ciptaannya. Gin menyulap apartemen tiga kamar tidur miliknya menjadi studio mini, tempat ia mengaransemen musik, merekam video, kemudian mengeditnya sendiri. Di tempat ini juga ia menampung Tita, seorang sahabat yang membutuhkan tempat tinggal namun hanya memiliki budget pas-pasan.
"Gin …, gue tidur di sini ya?" Belum lagi mendapat izin dari Gin, gadis itu sudah lebih dulu merebahkan diri di tempat tidur. Entah mengapa, kamar Gin rasanya jauh lebih nyaman dari kamarnya sendiri. Padahal kamar Gin jauh dari kata mewah, rapi pun tidak. Kamar standar khas laki-laki pada umumnya saja. Tapi Tita selalu betah dan sekali masuk sulit untuk diusir.
Mendengar permintaan Tita, Gin otomatis berbalik cepat. Kedua alisnya terangkat ketika bertanya. "Lagi?"
"Please …." Tita memasang wajah super melas, berharap Gin akan iba padanya.
"Hm." Hanya gumaman kecil yang Gin berikan sebagai respon. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan jika Tita sudah meminta sesuatu, meski Gin tahu akibatnya. Malam ini lagi-lagi ia harus rela tidur di lantai. Bukan ia tidak mau tidur seranjang dengan Tita karena demi menjaga kesucian, hanya saja gadis itu terlalu lasak dan Gin tidak sanggup menahan siksaan tendangan sepanjang malam.
Tita tersenyum lega karena Gin meloloskan permintaannya dengan mudah. Selalu seperti itu sejak dulu. Tita selalu menang dan mendapatkan keinginannya. Setelah mengantongi izin, Tita bisa berbaring tenang di atas tempat tidur Gin. Pikirannya kembali melayang pada kejadian sial yang lagi-lagi dialaminya tadi. Lamunannya terganggu ketika tidak berapa lama kemudian Gin bangun dari kursi kerja dan berjalan menuju pintu.
"Lo mau ke mana?"
"Keluar bentar," sahut Gin singkat sambil menyambar jaket dan dompetnya.
"Jangan lama-lama."
"Bawel!" gerutu Gin sebelum keluar meninggalkan kamarnya.
Tita tidak tahu berapa lama Gin pergi, karena setiap kali berada di kamar sahabatnya, ia akan tertidur dengan mudah. Tidurnya yang baru berjalan beberapa menit itu terganggu ketika Gin membangunkannya.
"Sha …." Gin mengguncang bahu dewi titisan kebo yang berbaring nyaman di tempat tidurnya.
"Hm?" gumam Tita tanpa membuka matanya.
"Bangun."
"Hm?" Alih-alih bangun, kaki Tita malah bergerak-gerak mencari selimut Gin lalu menariknya.
Cepat-cepat Gin merampas selimut yang hampir menutup sempurna sampai ke dagu Tita. "Sha, bangun!"
"Apaan sih, Gin?" erang Tita jengkel.
"Bangun, cepetan!” Gin menarik paksa tangan Tita dan membuat gadis itu terduduk di sebelahnya. Begitu Gin yakin Tita sudah bisa duduk tanpa akan tumbang lagi, ia menjejalkan kantong belanjaan ke pangkuan gadis itu.
Dengan matanya yang sulit terbuka, Tita mengintip isi kantong belanjaan yang Gin bawakan. Rupa-rupanya pria itu pergi ke minimarket di bawah yang masih berada di kawasan apartemen Orchid Land juga. Namun Tita terheran-heran ketika menemukan isi di dalamnya.
"Ngapain lo beli cokelat segini banyak?" Mulai dari merk Cadblobor, Silverkong, KitatKetut, Tobkebeler, Kinderjerot, Chokit-Chekit, sampai merk cap Ayam Panggang, Tita bisa menemukannya di dalam kantong itu.
"Buat lo makan."
"Gue nggak pengin ngemil." Cepat-cepat Tita mengembalikan kantong berisi ransum itu pada Gin.
Gin mengambil salah satu cokelat dari dalam kantong secara acak. Dibukanya Kinderjerot yang berbentuk telur, menyerahkan bagian berisi mainan pada Tita, kemudian membuka bagian lain yang berisi bola cokelat dan s**u.
"Lo abis putus, kan?" tanya Gin sambil menjejalkan suapan pertama Kinderjerot ke mulut Tita.
Mata Tita mendelik horor. Hampir saja ia tersedak Kinderjerot yang baru saja masuk ke mulutnya. "Kok, tau?!"
Gin mengedik santai sambil mencebik.
Tita mencengkeram lengan Gin dan mengguncangnya. "Kapan gue cerita?"
"Lo nggak cerita." Gin terus saja menyuapi Tita dengan santai.
"Terus lo tau dari mana?" tuntut Tita. Wajahnya terlihat merana menahan rasa penasaran.
Gin mendengkus lalu tersenyum samar. Disentilnya kening Tita sebelum menjawab. "Gue apal banget muka lo kalo abis putus. Ini yang 31 kalinya gue liat muka lo kayak gini."
"Gin …!" seru Tita histeris. "Kenapa juga mesti lo itungin sih?!"
"Gue nggak itungin. Tapi emangnya gue apal aja," balas Gin datar dan santai.
"Tapi kan nggak usah lo sebutin juga di depan gue! Jadinya kan berasa banget nasib gue apek, Gin. Nyesek tau!” protes Tita kesal.
Tidak terima dengan omelan Tita, Gin balas menyalahkan gadis itu. “Lagian lo juga, sih! Udah tau tiap pacaran bakal putus, masih aja coba-coba. Heran gue, nggak ada kapoknya.”
“Ya gimana lagi, dong! Gue kan suka. Naksir.”
“Lo tuh gampang banget naksir, Sha. Bening dikit lo kepincut. Coba tahan diri kali-kali.”
“Tapi kan gue butuh pacar.” Tita terus saja membela dirinya.
“Butuh?” tanya Gin meremehkan. “Buat?”
“Ya biar ada yang sayang-sayanglah!” seru Tita jengkel. Pertanyaan Gin benar-benar membuat Tita dongkol. Masa hal seperti itu saja dipertanyakan!
“Si Cokodot masih kurang?”
“GIN!” Refleks Tita meninju pundak Gin. “Lo kira gue z******a?!”
“Sekarang gue tanya, emang cowok-cowok itu lebih sayang sama lo dibanding si Cokodot?” tanya Gin sinis.
Ditanya seperti itu, Tita jadi tidak berkutik. “Hm …, kayaknya nggak juga.”
Gin tersenyum sinis kemudian melanjutkan dengan lebih kejam. “Emang mereka lebih bisa ngertiin lo dibanding si Cokodot?”
“Hm ….” Tita bergumam pelan, ingin membantah namun akhirnya kembali pasrah. Ia menggeleng kecil.
“Nggak juga, kan?” cecar Gin puas. “Terus, emang mereka lebih setia dibanding-”
“STOP, GIN!” Cepat-cepat Tita membekap mulut Gin yang tidak berhenti mengoceh. Sahabatnya ini mulai keterlaluan. Tita harus mengambil langkah tegas sekarang juga. Ia mendelik kesal sambil bertolak pinggang lalu mulai memberikan serangan balasan untuk Gin. “Oke, Cokodot emang memenuhi semua kriteria yang lo sebutin, tapi dia bukan manusia, GINJIRO! Gue nggak bisa nikah sama gogok!”
Gin tergelak kencang sebelum akhirnya kembali bertanya datar. “Jadi lo nyari cowok buat dinikahin?”
“Demi ya, Gin!” jerit Tita putus asa. “Ya iyalah gue cari cowok buat nikah! Lo kira buat apaan?”