Pernikahan keduanya berjalan dengan lancar. Senyum bahagia terpancar dari wajah Chelsea, ia memeluk erat lengan Angga yang berdiri di sampingnya. Ia tak mau memejamkan mata, takut semua ini hanya mimpi yang akan segera berakhir. Terlalu indah untuk menjadi nyata dan jika kejadian hari ini hanyalah bunga tidur, maka ia rela tak terbangun selamanya.
Resepsi besar-besaran di hotel mewah berbintang lima disiapkan dalam waktu dua minggu. Tentu saja biaya pernikahan mereka disponsori oleh ayah Chelsea. Sesungguhnya, Angga sudah menolak dan ingin menikah di catatan sipil saja, akan tetapi ayah Chelsea menentangnya dan menjadikan resepsi sebagai salah satu syaratnya menyetujui pernikahan mereka. Keduanya pun wajib menempati rumah berlantai dua yang sudah disiapkan Jacob setelah menikah nanti.
Angga merasa harga dirinya diinjak-injak, akan tetapi tak mampu berbuat apa pun demi Chelsea dan calon bayi mereka. Seharusnya, dirinya yang mengambil tanggungjawab penuh atas gadis yang telah sah menjadi istrinya. Namun sayang, Jacob masih tak rela dan kerap mengatur apa yang harus ia lakukan dan mana yang tidak.
“Kamu kelihatan nggak bahagia,” bisik Chelsea setelah mereka duduk kembali sehabis menyalam para tamu undangan.
Bagaimana Angga bisa bahagia, bila dirinya terlihat seperti parasit. Yang menumpang dan dianggap tak berguna. Uang tabungannya pun tak diterima oleh ayah Chelsea untuk sedikit saja meringankan biaya yang akan dikeluarkan lelaki paruh baya itu.
“Kau pikir, uang segitu bisa buat apa?”
“Untuk saat ini, hanya ini kemampuan saya, tapi saya akan menghasilkan lebih banyak uang untuk Chelsea dan keluarga kecil kami.”
“Cih!” lelaki paruh baya itu membuang wajah, “Semua itu nggak semudah kata-kata yang baru saja kamu ucapkan. Bawa kembali uangmu karna nggak akan membantu sama sekali. Belikan saja sepatu Chelsea. Harga sepasang sepatunya saja bisa lebih dari uang yang kau berikan itu!”
Masih teringat jelas di benak Angga. Bagaimana lelaki itu meludahi amplop coklat yang ia berikan sebagai uang hantaran yang ia siapkan untuk melamar Chelsea. Memang jumlahnya tak banyak bagi orang seperti Jacob—sepuluh juta—jumlah yang pastinya teramat banyak bagi Angga. Ia mengumpulkan uang itu dengan susah payah selama lima tahun, yang ingin ia gunakan untuk pendidikannya atau memulai usaha kecil. Mungkin uang segitu hanya bisa membeli dua pasang sepatu yang selalu Chelsea kenakan ke kampus, atau mungkin hanya sepasang? Uang yang tak ada nilainya di mata orang seperti Chelsea dan ayahnya.
Pada akhirnya, Angga hanya bisa mengalah dan mengambil kembali uang tersebut. Namun ia memberikannya pada Chelsea, meminta wanita itu menabungnya untuk masa depan bayi mereka nanti. Tak tahu kebutuhan mendadak apa yang memerlukan mereka untuk menggunakan uang itu nantinya.
Chelsea menatap Angga sendu saat tak menerima respon apa pun dari lelaki itu. Ia pikir, Angga memiliki rasa yang sama seperti dirinya, hingga seharusnya lelaki itu sama bahagianya dengan Chelsea, akan tetapi Angga tampak murung.
“Kamu merasa terpaksa?” tanya Chelsea lagi.
Pertanyaan Chelsea membawa Angga kembali ke alam nyata. Ia menggeleng. Ia bahagia karna pada akhirnya cinta keduanya bisa bersatu, hanya saja, sulit untuk menerima fakta bahwa dirinya direndahkan hingga jatuh ke titik paling bawah.
Angga mengusap lembut wajah Chelsea dan tersenyum menenangkan. “Aku nggak terpaksa, Chel. Sudah ku bilang kalau aku mencintaimu dan aku bersungguh-sungguh saat mengatakannya, bukan hanya untuk membuat ayahmu luluh.”
Semudah itu Angga mengobrak-abrik hati Chelsea. Ia merasa bahagia bukan main, senyum terukir jelas di wajah cantiknya. Ia menyandarkan kepalanya pada lengan Angga.
“Makasih banyak karna kamu nggak menyerah, Ga.”
“Aku nggak akan menyerah demi kita.”
Keduanya saling bertukar senyum. Resepsi pernikahan keduanya berlangsung cukup lama. Walau lelah, Chelsea tak mengeluh karna semua ini bagai mimpi yang menjadi nyata.
***
Angga tersenyum kecut saat memasuki rumah yang mereka tempati setelah pernikahan. Bukan karna rumah itu jelek dan sebagainya. Malah terlalu mewah bagi dirinya. Ia yang belum mempunyai penghasilan tetap merasa tak pantas untuk tinggal di rumah seperti ini.
“Chel ... baiknya kita tinggal di kontrakanku aja.”
Chelsea menghentikan langkah dan meletakkan koper di samping tubuhnya. “Apa yang salah dengan rumah ini?”
“Nggak ada yang salah. Hanya saja, tempatku bukan di sini.”
“Maksudmu, tempatmu bukan di dekatku yang notabene adalah istri sahmu?”
Angga menggeleng. “Bukan itu maksudku.” Angga memeluk Chelsea, tak ingin gadis itu berpikiran macam-macam.
“Semua ini adalah pemberian ayahmu. Seharusnya, aku yang menanggung semua kebutuhanmu, Chel. Jika terus disuapi oleh ayahmu, aku merasa telah kehilangan harga diriku sebagai seorang lelaki.” Angga memejamkan mata, menarik napas, lalu menghelanya perlahan.
“Dia hanya ingin yang terbaik buat kita, Ga. Aku yakin, papa nggak bermaksud menginjak harga dirimu. Dia hanya mau memberi kita kenyamanan.”
Angga melepas pelukannya. Ia tahu, Chelsea tak mungkin sependapat dengannya. Walau bagaimanapun, Chelsea terbiasa hidup nyaman. Apa hak nya mengajak gadis itu tinggal di kontrakan yang hanya cukup diisi dengan kasur berukuran king.
“Jika aku punya banyak uang nanti. Kita pindah dari sini ya?”
Chelsea tersenyum, lalu mengangguk setuju. “Semangat ya, Sayang.” Senyum Chelsea mengembang, “Aku akan selalu mendukungmu, Ga.” Gadis itu mengecup pipi Angga.
Senyumnya menular pada Angga. Semudah itu Chelsea menghiburnya. Kata-kata gadis itu seakan mampu menambah semangatnya. Angga memeluk tubuh Chelsea, menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya, lalu menatap gadis itu penuh kasih.
“Apa hal yang paling kamu inginkan, Chel?”
Chelsea tampak berpikir sesaat, lalu senyumnya merekah. “Kamu.”
Angga tergelak. “Selain aku?”
Chelsea kembali berpikir, lalu menggeleng. “Nggak ada lagi.”
Senyum Angga mengembang. Dirinya beruntung begitu dicintai oleh gadis yang selama ini memikat hatinya. Saat melihat Chelsea dalam dekapannya, sesaat ia lupa jarak perbedaan yang selama ini membuatnya takut. Kini, seakan gadis itu tercipta memang hanya untuk dirinya.
“Kalau kamu, apa yang paling kamu inginkan?”
Angga tampak berpikir keras, lalu berbisik pelan. “Membawamu ke tempat tidur.”
Pipi Chelsea menghangat dan ia yakin jika semburat merah jambu telah menghiasi wajahnya. Angga tersenyum menggoda dan mempertipis jarak di antara wajah mereka. Jantung keduanya berdebar liar, dengan irama yang sama, menghayutkan dan menghangatkan hati.
Angga mempertemukan bibir mereka, lalu melumat bibir Chelsea dengan lembut, keduanya seakan meleleh dalam kehangatan yang mereka bagi. Chelsea bahagia bukan main dan ia harap waktu akan berhenti saat ini juga, membiarkannya lebih lama lagi menikmati cinta yang selama ini ia dambakan.
Seperti inilah cinta yang selalu ia impikan. Bahagia, hangat, dan penuh tawa. Mungkin, dongeng tak selamanya hanya menjadi cerita penghantar tidur, akhirnya ia dapat menemukan akhir bahagia dari kisah cintanya. Perjalanan mereka memang masih panjang, akan tetapi ia yakin, bersama Angga semua rintangan mampu mereka hadapi.
Dirinya memang masih terlalu muda untuk mengenal cinta. Terburu-buru untuk menjadikan lelaki itu miliknya, namun ia tak menyesal sama sekali.
Dirinya mencintai lelaki itu lebih dari yang Angga tahu.