Lila baru menutup mata saat mendengar bunyi notifikasi di ponselnya yang ia taruh diatas nakas. Ia lalu membuka matanya lagi kemudian meraih ponsel itu
Tampak sebuah nomer baru di sana.
"Hai, Lila. Udah tidur? "
Lila mengernyit melihat pesan baru itu. Siapa yang mengiriminya pesan?
"Ini Bara. "
Lila langsung melebarkan mata. Ternyata yang menghubunginya adalah Bara. Tapi darimana laki-laki itu tahu nomor ponselnya?
"Hai, Bara. " Balas Lila.
Detik, menit, jam berlalu namun tidak ada balasan lagi dari lelaki itu. Seharusnya Lila tidak menunggu seperti anak remaja yang menantikan balasan pesan dari gebetannya. Merutuki tindakannya sendiri Lila akhirnya memilih pergi ke alam mimpi.
Pagi ini Lila bangun kesiangan yang berakibat semua aktivitas yang dilakukan sebelum berangkat bekerja harus dikerjakan dengan cepat. Mandi cepat, dandan cepat, dan tanpa sarapan.
Lila menghembuskan nafas dari mulut setelah keluar dari mobil. Lega karena tidak terlambat meski perutnya kini kelaparan. Langkahnya yang tadinya agak cepat kini melambat dan terhenti saat melihat dua orang yang baru keluar dari gedung rumah sakit. Hera dan Bara. Mereka berjalan beriringan dengan Hera yang merangkul lengan Bara. Tampak sangat serasi. Pantas saja lelaki itu semalam tidak membalas pesannya.
Astaga... Kenapa juga Bara harus membalas pesannya. Memangnya dia orang penting. Lila juga harus mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terlalu berharap serta kebaperan terhadap laki-laki itu. Bara tidak mungkin menyukainya. Sudah ada Hera yang berada di sisinya.
***
"Makasih, ya, ma, udah nyetokin makanan di kulkas aku. " Cengir Lila yang duduk di meja makan.
"Kamu itu sering lupa makan. Di sediain makanan aja lupa makan apalagi nggak ada setok makanan didalam kulkas. " Omel mama yang masih sibuk menata wadah kotak yang berisi makanan serta buah kedalam kulkas. "Kerja boleh, sibuk juga boleh tapi jangan lupa makan. "
"Iya, ma. " Lila kembali mencomot potongan buah melon yang tadi sudah di potongkan oleh ibunya.
"Mama itu pengen kamu itu segera nikah, Lila. Supaya ada yang bisa ngingetin kamu makan dan ngomelin kamu kalau lagi bandel. "
"Mama aja udah cukup, kok. Nggak perlu tambahan orang lagi. " Lila terkekeh.
"Tapi mama juga mau ada yang jagain kamu, sayang. " Mama sudah menutup pintu kulkas lalu duduk di salah satu kursi meja makan.
"Aku mau fokus sama residen aku di rumah sakit, ma. Biar cepat lulus. "
"Tapi kalaupun kamu menikah juga nggak jadi masalah. "
Benar. Memang tidak menjadi masalah. Tapi masalahnya dia mau menikah sama siapa? Calonnya belum ada. Lila juga belum fokus untuk mencari kandidat yang tepat untuk menjadi imam serta ayah dari anak-anaknya.
"Gimana hubungan kamu sama Bara? "
Sejak kedatangan ibunya, Lila sudah merasa wanita yang sudah melahirkannya itu akan membahas masalah ini.
Hubungannya dengan Bara?
Ditanya seperti itu tentu saja Lila tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu dia dan Bara di jodohkan. That's it. Tidak ada hubungan lanjutan diantara mereka. Laki-laki itu pernah menghubunginya tapi tidak berlanjut. Yang ada dia tahu jika Bara masih berhubungan dengan wanita yang sama sejak dulu.
Melihat kediaman anak bungsunya Ira bisa menebaknya.
"Kamu nggak suka dengan Bara? "
Lila langsung menatap ibunya. Bukan itu. Bukan karena hal itu. Dia menyukai laki-laki itu dari dulu. Kalaupun ditanya sekarang apa dia masih menyukai Bara, jawabannya masih iya. Tapi nyatanya laki-laki itu tidak menyukainya. Ada Hera yang masih bersamanya dan di cintainya.
Untuk berkata jujur pun Lila tidak sanggup pada ibunya. Apalagi kalau sampai kakeknya tahu. Laki-laki tua itu akan kecewa. Misalkan perjodohan ini tidak berlanjut, ia harap Bara lah yang mengakhirinya. Sebab laki-laki itu punya alasan kuat untuk menolak permintaan kakeknya.
"Kalau kamu nggak setuju, kamu bisa nolak, La, " Ujar ibunya.
"Apa bisa, bu? " Pertanyaan itu langsung meluncur begitu saja dari bibir Lila.
Ira sendiri tidak tahu jawabannya. Kemungkinan ayahnya akan marah besar jika cucunya menolak. Seharusnya ia bertanya dulu pada putrinya. Bukannya menerima langsung permintaan ayahnya. Tapi di sisi lain dia juga ingin anaknya segera menikah.
"Kalau boleh mama tau kenapa kamu nggak suka sama Bara? "
Bukannya tidak suka tapi ada wanita lain yang di cintai laki-laki itu
Sayangnya Lila tidak bisa mengatakannya terus terang.
"Padahal ibu pikir dia tertarik sama kamu. "
Dalam hati Lila ingin tertawa sekeras-kerasnya sebab hal itu tidak mungkin.
"Usai makan malam kemarin, ibu Bara kirim pesan ke mama. Katanya Bara minta nomer kamu. "
Atau boleh di bilang mamanya minta nomer ponselnya untuk di berikan pada Bara biar mereka bisa melakukan pendekatan.
Lila masih diam.
"Apa dia sudah hubungi kamu? "
Lila mengangguk pelan.
"Kalian bahas apa aja? "
Lila mendesah pelan lalu berucap, " Dia kirim pean ke aku 'Hai Lila. Ini aku Bara. Kamu udah tidur? ' terus aku balas 'Hai Bara' dan selesai. Nggak ada pesan lanjutan lagi. " Lila memilih jujur saja.
"Cuma itu saja? "
"Iya."
"Atau mungkin dia ketiduran karena capek kerja makanya dia nggak melanjutkan obrolan kalian. "
Mungkin. Dan saking terlalu capeknya sampai detik ini tidak ada kelanjutan pesan lagi. Dan pagi ini Lila melihat dia dengan pacarnya.
Lila melanjutkan kalimat itu dalam hati.
"Aku ke kamar mandi dulu ma, udah kebelet. " Lila berusaha menghindar ibunya. Malas menjawab pertanyaan-pertanyaan mamanya.
***
"Wine." Tawar Gama sambil mengangkat gelas tingginya didepan Bara yang baru duduk di sebelahnya.
"No. Thanks. " Tolak dia Bara.
Malam ini Gama mengajak Bara untuk bertemu di bar langganan mereka. Kedua sahabat itu sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Why? "
"Aku nggak bisa mabuk sekarang. Aku juga harus kembali ke rumah sakit. " Terang Bara.
Keduanya duduk didepan meja bartender. Bara sendiri memilih minuman yang tidak mengandung alkohol.
"Masih nemenin Hera di rumah sakit? "
"Ya, begitulah. "
Gama mengangguk mengerti.
"Aku denger dari kak Candra kalau kamu dijodohin. "
"Ya, begitulah. "
"Dengan seorang dokter? "
"Iya."
"How is she?
Bara melirik sahabatnya sebentar.
"Dia cantik, pintar, baik. "
"Apakah tidak jauh beda dengan Hera? "
Bara mengedikkan bahu. Tangannya sibuk memutar gelas yang ada di meja bartender.
"Jujur aku kaget waktu denger kabar ini. Kamu tau kenapa? Sebab nggak nyangka aja kalau kamu mau di jodohin. Bukannya sedari dulu kamu ingin mencari pasangan kamu sendiri. Tidak melibatkan orang tua. "
"Ini permintaan kakek. " Bara jujur saja. Memang kenyataannya seperti itu.
"Dan kamu Terima? "
"Of course aku Terima. Apalagi ini permintaan kakek. Sekarang kakek sakit-sakitan. Apa aku harus sejahat itu harus menolak keinginan dia? Bukannya sebagai cucu yang baik aku harus mewujudkan permintaan kakek. Ya... Walaupun awalnya aku merutuki perbuatan kakek yang seenak jidatnya membuat keputusan untuk menjodohkan aku dan cucu temannya. "
"Dan bagaimana dengan Hera? "
Bara memilih diam, enggan menjawab.