Tiba-tiba Edna menghentikan langkahnya secara spontan tanpa perlu berkata ada apa hingga Dhaffin terjungkal dari gendongannya. Atau memang sejak awal wanita yang menggendongnya layaknya sekarung beras itu secara sengaja menurunkan dirinya dengan cara sekasar dan semengagetkan itu. Tubuhnya sakit karena berbenturan dengan lantai kotor yang dipijak oleh kedua kaki Edna. Berusaha untuk bangkit menggapai posisi duduk sementara perempuan itu berdiri dengan cara yang kaku. Dan ketika Dhaffin memperbaiki posisinya dan melirik pada penyebab dari terjatuhnya dirinya. Rupanya lagi-lagi rintangan. Didepan sana terdapat dua orang yang menghampiri mereka berdua keduanya menyeringai mungkin merasa menang dan berhasil untuk memojokan dirinya beserta Edna. Belum lagi muncul dua orang dari sebelah kiri, dan nyata sekali orang-orang asing itu bekerja untuk mengepung mereka berdua. Jelas sudah bila ini adalah alasan yang tepat bagi Edna untuk berhenti melangkah daripada pelarian mereka berdua. Selain dari itu, Dhaffin tak habis pikir bila segala kronologis ini terjadi hanya karena dirinya. Bingung sekali dia menerka apa yang menyebabkan orang-orang tak dikenal ini maju dan keluar sebanyak itu demi menangkap dirinya yang bahkan tak paham atas situasi yang terjadi sekarang ini.
Belum habis segala spekulasi terputus. Seorang maju tanpa berkomentar apalagi memberi tanda, diayunkannya tangan miliknya yang sedang memegang tongkat kayu kearah Edna. Namun karena gerak refleks yang dimiliki Edna, wanita itu berhasil menahannya dengan sebelah tangan dibantu kakinya yang ikut aktif bekerja dengan cara menendang perut si pelaku penyerangan brutal. Melihat rekannya terpojok oleh Edna seluruh orang yang mengepung mereka lantas maju secara serempak. Dhaffin yang masih berada dalam posisi duduk terpuruk membenarkan posisinya menjadi lebih siaga dan berdiri. Edna terkepung. Tapi anehnya tidak satupun dari orang-orang itu berniat melukai dirinya seolah dia memang diperuntukan untuk dibawa hidup-hidup. Tapi kenapa?
Dan terjadi lagi hal yang begitu mengejutkan bagi Dhaffin. Suatu kondisi dimana Edna yang tiba-tiba melompat begitu tinggi, yang kemudian memberikan sebuah tendangan memutar yang cukup keras kepada lawannya diudara dengan begitu mudah dan bertenaga. Hasilnya serangan tersebut berhasil menghantam sekaligus menumbangkan satu orang diantara seluruh lawan yang megepungnya. Apalagi titik yang terkena tendangan tersebut adalah wajah yang kontan pula membuat beberapa rekan dari si lawan ikut tumbang karena terhantam tubuh objek yang ditendang oleh Edna. Tak perlu memberi jeda waktu, Edna kembali beraksi dengan bermodal kepalan tinju ditangan untuk menghajar orang terdekatnya. Sebelah kakinya pun terulur bak ombak tajam. Menghantam dagu sang lawan yang muncul secara tiba-tiba padanya. Menyerang tanpa tedeng aling aling. Dengan mata Edna yang super jeli, tangan wanita itu terulur memungut balok kayu yang tergeletak didepan mata. Menggunakannya sebagai senjata untuk menghantam si lawan dengan kekuatan penuh hingga dia terhuyung kebelakang sebelum benar-benar jatuh tersungkur ke lantai tanah. Lima orang tumbang dengan mudah. Tersisa dua orang yang masih berusaha untuk bangkit dan berdiri. Mereka tak juga menyerah untuk melakukan perlawan yang tersisa. Melihat usaha yang sedikit mengharukan mungkin dimata Edna, wanita itu sedikit menyeringai sebelum pada akhirnya tanpa ampun dirinya kembali menyerang dengan menghantamkan tongkat kayu ditangannya tepat ke tulang belikat lawannya sebelum si lawan bisa berdiri dengan benar. Satu lagi yang tersisa mendapat hadiah amukan dari Edna. Wanita itu menghentakan kakinya tepat di wajah. Secara brutal tanpa belas kasih sedikitpun. Sungguh, Dhaffin hanya dibuat melongo atas aksi gila wanita itu menghancurkan seluruh lawan yang mengepungnya. Dia benar-benar adalah definisi dari monster cantik yang tanpa belas kasihan. Seolah sisi feminimnya menghilang diudara berganti aksi luarbiasa dari seorang perempuan yang tak dapat Dhaffin ragukan lagi kekuatan dan pengalamannya.
“Ayo!” tanpa menunjukan sedikitpun gurat kelelahan. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk disambut pada Dhaffin. Ketika terdapat jeda sekaligus melihat gelagat si pemuda yang masih shock, Edna tak perlu buang waktu selain menautkan jemarinya pada Dhaffin tanpa permisi sebetulnya lebih pada memaksa. Sekali lagi dirinya kembali ambil posisi sebagai seorang pemimpin yang lantas menuntun Dhaffin untuk kembali melanjutkan pelarian tanpa akhir ini. Padahal dalam kondisi ini Dhaffin masih dipenuhi oleh berbagai hal yang belum dapat dia proses secara utuh. Terlalu cepat dan tentunya sangat menegangkan. Sensasinya berbeda dengan dirinya yang melihat adegan action di film. Meski cepat namun Dhaffin masih bisa terpaku dan membayangkan jika apa yang dia saksikan barusan adalah sebuah adegan slow motion yang biasa ada di film film genre action yang tentunya tanpa hal hal yang didramatisir secara berlebihan. Setelah semuanya Dhaffin bahkan tak percaya bahwa Edna bahkan tak sempat memberikan dirinya sendiri waktu untuk bernapas sejenak. Dia terlihat sama stabilnya seperti orang biasa tanpa adanya sesuatu yang menguras tenaga. Seolah kejadian tadi bukan apa-apa. Sebenarnya dia ini apa?
“Edna. Bagaimana bisa kau terlihat seperti tidak terjadi apa-apa setelah melakukan hal mengerikan barusan?” Dhaffin bersuara. Nyaris melengking karena berusaha mengambil nafas saat dirinya terengah oleh sebab aktivitas berlarinya kembali. Hasilnya dia terlihat seperti seorang fanboy mengerikan yang baru saja melihat idola perempuannya lewat didepan mata.
Pernyataan barusan mengundang sebuah seringai, katakanlah demikian. Sepertinya Dhaffin barusaja membuat sisi percaya diri dan arogansi seorang Edna nampak keluar dari sarangnya. “Kau suka itu?”
Apa sekarang Dhaffin terpana? Wanita ini terlihat sangat amat keren sekali sekarang. Dia yang dingin dan cuek memberinya sebuah senyuman meski bukan jenis senyuman manis yang biasanya selalu dia dambakan dari seorang wanita. Dhaffin bahkan tak percaya jika dirinya memiliki kesempatan langka untuk berdiri pada garis yang sama dengan wanita ini. Dekat dengannya dan bahkan mendapat perlindungan darinya meskipun itu sedikit melukai perasaannya
“itu...” dia tak bisa mengaku selain menggantungkan kalimatnya seperti itu. Sejujurnya ya, Dhaffin menyukai aksi wanita itu. Tapi disatu sisi, itu malah memukul mundur dirinya sendiri. Harga dirinya sebagai seorang lelaki seolah menguap karena Edna jauh lebih perkasa daripada dirinya. Seperti peran yang tertukar. Namun dirinya sendiri tak menampik itu. Dia mengaku jika dirinya hanyalah sosok pria pecundang yang berdiri dibelakang wanita untuk kemudian mempertaruhkan segala harap dan kepercayaan penuh pada wanita ini. Wanita yang misterius dengan segala hal yang ada padanya.
“Sialan!”
“Kenapa kau menjawab dengan kasar begitu sih?” tiba-tiba Edna mengerem langkahnya secara mendadak lagi. Dhaffin mendecak sebal saat lagi-lagi ada orang yang menghambat mereka kembali “oh.. apalagi kali ini?”
“Egor!” Desis Edna kentara sekali dirinya marah, karena suaranya yang terdengar menggeram tatkala menyebutkan satu nama. Suara nya yang seperti itu lagi-lagi membuat Dhaffin merinding, bulu kuduknya meremang. Seperti beberapa menit yang lalu ketika melihat Edna bertarung sendirian untuk melindungi dirinya. Ketika nama itu diujarkan, Dhaffin bisa melihat sosok pria tinggi dengan badan kekar yang lagi-lagi sepertinya ada untuk menyabotase pelarian mereka. Wajahnya tidak terlalu kentara jelas sebab oleh minimnya penerangan. Sedikit mengherankan sebenarnya bagaimana Edna tahu jika laki-laki itu adalah si pemilik nama tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya bermodal cahaya terang dari bulan purnama, Dhaffin sendiri hanya bisa melihat jaket kulit yang dipakai pria itu berikut delana panjang, dipadu sepatu boots kebesaran, dan rambutnya yang sepanjang bahu. Giginya terlihat putih namun mengerikan sebab dia menyunggingkan senyum lebar tak wajar sebagai sapa pada dirinya dan Edna. Dhaffin hanya bisa mengepalkan jarinya kuat-kuat untuk menahan rasa ketakutan yang keluar dari dalam dirinya tanpa diminta. Menurut intuisinya -Dhaffin yakin jika orang ini benar-benar berbahaya.
“Yo Luxor lama tak berjumpa! Tidak kusangka rupanya kau masih ingat padaku.” katanya membalas panggilan Edna padanya. dirinya bahkan melangkah dengan cara yang lambat untuk mendekati mereka berdua. Hentakan dari kedua kakinya terdengar begitu nyaring. Mungkin karena seluruh keadaan yang sepi. Seperti pengiring antara suara desah nafas kelelahan Dhaffin juga Edna yang sudah kelelahan karena pelarian mereka berdua. Wajahnya mulai terlihat nampak jelas, dimulai dari terlihatnya pancaran mata yang terang kontras menguarkan hal yang mencekam sekaligus intimidasi yang kental.
“Minggir!”
“Aku ingin pangeranmu Luxor.” Tunjuknya lagi tepat pada Dhaffin yang berdiri di sisi Edna. Melihat keinginan yang menggebu pada dirinya, Edna bergerak menyembunyikan tubuhnya dibelakang meski upaya itu sia-sia sebab dirinya lebih tinggi dari Edna. “Bolehkah?” Pria bernama Egor itu berkata lagi. Dengan nada suara yang dibuat-buat. Dan itu sangat menjijikan jika boleh jujur.
“Kau pikir aku akan mengizinkanmu sialan?!”
Egor tertawa nyaring, miris pula sebab tubuhnya semakin mendekat kearah mereka berdua. Dia tak terpengaruh sedikitpun terhadap gertakan yang Edna layangkan pada laki-laki itu. Dia menanggapinya terlalu santai. “Kau tidak bisa memonopolinya sendirian begitu Edna. Sifatmu yang satu itu belum juga berubah dari dirimu ya? Uh.. benar-benar menyebalkan.”
“Mulutmu yang terlalu berisik itu juga masih berkicau seperti dulu. Sekarang siapa yang sedang kau jilati b******k?”
“Apa itu ada kaitannya denganmu? Apa kau masih dendam padaku ?” melihat daripada percakapan yang terjadi diantara mereka Dhaffin merasa keduanya pernah terlibat satu sama lain dan berakhir dengan tidak baik. Tapi mengapa Edna bisa mengenal pria mengerikan ini? bagaimana bisa mereka terhubung dan apa yang menyebabkannya bisa terikat dimasa lalu dengan pria ini? belum tuntas pikirannya menerka nerka, Dhaffin malah mendapati tawa melengking dari Egor. Pria itu sepertinya masih belum puas untuk mengejek Edna. “Apa kau akan menghajarku lagi seperti dulu? Dengar kau adalah orang yang paling bodoh seantero dunia karena membiarkanku hidup hingga hari ini. Padahal jika kau menghabisiku pertemuan kita tidak akan terjadi. Dan kita tidak akan lagi bersebrangan seperti ini. Padahal dulu kau memiliki kesempatan untuk memutus karmik ini. Tapi kau tidak melakukannya dengan benar. Keberuntungan tidak akan datang dua kali Nona.”
Dhaffin bisa merasakan adanya reaksi tubuh yang tidak biasa dari Edna. Tubuh wanita itu menegang. Oleh sebab itu tangan yang menggenggam jemari pun turut mengerat. Mencengkramnya begitu kuat. Dhaffin meyakini akan ada bekas merah yang tercetak disana, segera. Pola merah yang akan menjadikan tanda bisu bila mereka berdua pernah berpengangan tangan terlampau kuat hanya karena dipicu perbincangan yang tidak dirinya mengerti sama sekali. Namun satu hal, kemarahan jua rasa takut pada diri Edna seolah tersampaikan secara penuh kedalam benaknya. Wanita itu sedang resah dan Dhaffin turut merasakan hal yang sama. Dia tahu itu. Walaupun rasa takut dan segala kumpulan energi negatif itu terang-terangan sedang wanita itu tahan, namun rupanya tidak berhasil sepenuhnya. Ketergaran yang dia usahakan untuk tetap terjaga pula malah memilukan untuk dilihat. Bukankah mata tidak bisa berbohong? Pancaran matanya bergeming sesaat, tidak lagi mengancam apalagi menguarkan intimidasi kuat seperti sosoknya yang selalu begitu setiap saat.
Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang membuat dirimu takut Edna? Apa yang kau takuti dari pria bernama Egor yang kini berdiri dihadapan kita?
Suara hati Dhaffin mungkin tidak akan pernah terdengar dan tersampaikan. Dan dalam hitungan detik saja, tubuh Edna menghantam tubuhnya secara kuat hingga dirinya terdorong kebelakang. Edna rupanya menahan sesuatu dihadapan tubuhnya. Orang asing itu –Egor— mendorong sesuatu yang panjang tertutup oleh sarung hitam. Mungkinkah itu pedang? Darimana dia membawa benda itu ? apa sejak tadi?
Edna tak membiarkan dirinya sendiri terpojok untuk durasi waktu yang lama. Wanita itu bergerak memberikan perlawanan dengan menendang tubuh Egor hingga pria itu terdorong kebelakang. Pegangan Egor terhadap senjatanya sesaat kemudian melonggar. Dan hal tersebut membuat kain yang menutupi senjatanya tersingkap dengan sempurna. Benar saja anggapan Dhaffin semula. Itu adalah pedang. Sinar rembulan membuatnya lebih mengkilap lagi. Sangat indah namun juga menerornya. Keadaan sepertinya tidak berimbang dan jelas situasi ini buruk bagi Edna.
“E—edna..” suara Dhaffin sedikit bergetar, membuatnya sendiri kesal karena tidak bisa melakukan tindakan apapun untuk bisa membantu. Sebagai gantinya dia hanya mampu meremas amplop coklat yang sedari tadi stagnan ditangannya sejak awal. Sebuah hal yang sia sia dan tidak menghasilkan apa-apa sebenarnya.
“Mundur!” Edna membalas Dhaffin dengan cara berbisik. Sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Wanita itu bahkan melangkah kedepan dengan cepat. Mendorong tubuh Egor kedepan dengan tendangannya, sambil melompat tinggi. Egor yang tidak bersiaga atas perlawanan secara tiba-tiba tersebut hampir saja kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terjatuh ke belakang. Namun beruntung dia masih bisa berdiri atas bantuan daripada pedangnya yang merupakan aset berharga yang dimilikinya sekaligus sebagai penyokong untuk dirinya agar tetap bisa berdiri meskipun bertumpu pada benda itu. Dia sendiri bahkan membalas serangan dari Edna dengan mengayunkan pedangnya untuk menggores paling tidak bagian tubuh Edna. Namun Edna dengan gesit bisa menghindari serangan itu dengan berguling kesamping, beruntung baginya karena pedang tajam yang hampir saja menjangkau tubuhnya bisa dia hindari dengan mulus.
“Jadi sekarang kau memilih untuk bertahan. Kenapa Luxor ? apa sekarang kau mulai takut padaku hah ? apa sekarang kau mengakui perbedaan besar diantara kita?” Egor tertawa lebar penuh kemenangan. Meskipun serangannya nihil dan tidak memberikan efek apapun kecuali Edna yang menghindar darinya tentu saja. Suaranya yang terlalu nyaring nyalak layaknya suara kelelawar penghisap darah. Kini Edna terpojok. Sementara dirinya sendiri masih terduduk tak berdaya di sini. Apa ada hal yang bisa dia lakukan untuk paling tidak meringankan sedikit perjuangan Edna untuk melindungi dirinya? Apa yang mesti dia lakukan? Tidak?