Kembali mengekori perempuan itu seperti seekor anjing yang patuh. Dhaffin sendiri tak menyangka dirinya akan semudah itu menuruti perkataan wanita itu bagai orang yang dungu. Namun dalam benaknya segala spekulasi pun juga beberapa hal yang terjadi dalam waktu singkat membuatnya yakin dia berada dalam bahaya dan tiada siapapun yang dia bisa percayai termasuk wanita didepannya kini. Sambil merutuki kakinya yang keram. Juga bayangan mayat yang berada di apartement kesayangannya. Semua bercampur baur menjadi satu. Dhaffin tak bisa membayangkan bagaimana perempuan itu menghabisi seluruh pria dewasa berbadan kekar itu dengan mudah bagaikan menepuk seekor nyamuk. Dan sialnya itu malah mengusik hati juga menambah kegusaran didalam hati. Didekapnya tubuh miliknya sendiri dengan kedua tangan. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghapus seluruh ingatan yang tidak diperlukan. Entah dirinya dibawa kemana yang pasti kegelapan mulai menyambangi. Hanya ada cahaya yang berpendar dari lampu jalanan. Meskipun hal tersebut tidak cukup untuk menerangi dirinya yang kalut. Terlalu banyak hal rumit yang berada diisi kepalanya.
“Sebentar lagi kita tiba.” Ujar Edna dengan suaranya yang jernih dan tenang. Sementara itu tas besar yang berisi pakaian dan keperluan sehari-hari Dhaffin masih tersampir dengan apik dibahu kecilnya. Dia sama sekali tidak terlihat terganggu dengan itu. Malah Dhaffin merasa jika wanita itu seperti tidak membawa apapun. Tidak menganggap jika tas yang tersampir dibahunya adalah sebuah beban. Padahal Dhaffin tahu beratnya lumayan bisa membuat dirinya yang seorang pria merasakan sakit pinggang hingga dua hari kedepan.
Meski memiliki mulut untuk bisa menjawab, Dhaffin lebih suka keheningan. Seluruh kata yang ada dihatinya tak dia suarakan. Memilih diam mungkin adalah salah satu opsi terbaik setidaknya untuk saat ini. Ketika situasinya cukup baik untuk bicara, mungkin Dhaffin baru akan menyuarakan segala unek unek yang ada dikepalanya. Meskipun masih menjadi tanda tanya besar baginya, untuk apa orang-orang tak dikenal tersebut menargetkan dirinya. Kabur dari Edna bukan pilihan bijak, dia pernah menghadapi situasi tak mengenakan tanpa wanita itu dan ya, dia tak mau mengulangi hal bodoh itu lagi. Lagipula wanita ini bilang dia ditugaskan untuk menjadi penjaganya, menjadi seorang pengawal yang menjamin kesalamatan dirinya. Seharusnya itu cukup membuatnya tenang. Namun tentu saja tidak semudah itu. Dia masih tetap waswas kalau-kalau wanita ini hanya membual. Bisa saja dirinya lah yang justru adalah musuhnya bukan ?
Nafasnya dipaksa kembali dipacu lebih banyak, ketidak teraturan tersebut dikarenakan mereka berdua harus berjalan menuju kearah tangga ke atas lantai basement yang cukup tinggi. Lantai enam. Gila! Padahal bukankah akan lebih menghemat waktu jika mereka menaiki lift ketimbang berjalan kaki dengan naik tangga. “Bukankah akan lebih efektif kalau kita naik lift ?” akhirnya Dhaffin bersuara saat matanya menangkap adanya lift yang tersedia. Tapi perempuan bebal itu sama sekali tidak menggubris saran briliant itu dan malah tetap bergerak melaju kearah tangga.
“Aku tidak ingin mengambil resiko.” Katanya singkat tanpa berbalik. Dan kemudian Dhaffin dipaksa berpikir. Ah, untuk pertama kalinya dia merasa bisa membaca pikiran wanita itu. Meski hanya asumsi Dhaffin rasa Edna hanya mencari pelarian yang bisa membuatnya tetap bergerak bebas. Jika mereka menaiki lift. Bisa saja hal buruk terjadi dan mereka berdua tidak memiliki tempat untuk lari. Karena asumsi tersebutlah, Dhaffin mafhum dan tak lagi mengoceh. Dia masih sayang nyawa. Tentu saja.
Meski begitu, dia tak bisa membohongi dirinya sendiri lebih jauh. Tangannya yang mencengkram pinggiran tangga mengindikasikan sekali jika dirinya sudah tak bertenaga. Melakukan tindakan kecil itu untuk berusaha menopang tubuhnya yang telah lelah. Kenapa pula tempat parkir harus ada diatas sih ? setelah melewati perjalanan terjal. Akhirnya Dhaffin bisa melihat beberapa mobil dan motor yang terparkir di atas sini. Meskipun tidak begitu banyak seperti dugaannya. Edna melangkah mantap menuju salah satu motor besar yang berada didepan sana. Merogoh jaketnya mengeluarkan kunci. Keadaan terlalu tenang, sesuatu yang seharusnya Dhaffin lega akan hal itu malah menimbulkan kecurigaan.
Dugaannya tepat ketika sesuatu yang mendesing dengan cepat melewati wajahnya. Tepat ditelinga kananya. Sebelum bisa bereaksi dan menerka benda apa itu. Edna dengan cepat beraksi melempar tas besar yang berada dipunggungnya. Menarik tangan Dhaffin dan dengan cepat menempatkan pemuda itu dibelakang tubuhnya. Mereka berlindung dibalik tembok tebal. Tak dia hiraukan bagaimana objek yang dia selamatkan mengaduh kesakitan karena ditarik secara tiba-tiba hingga punggung pria itu menghantam tembok. Edna lebih berfokus pada musuh yang berhasil melesatkan peluru pada Dhaffin meskipun pelurunya meleset.
Suara desingan lagi, dan kali ini bukan hanya sekali melainkan berkali-kali. Spontan pria itu dengan tidak eloknya mencengkram jaket Edna dengan kuat. Kepanikan jelas tergambar diwajahnya. Suara yang ditimbulkan oleh desingan itu benar-benar membuat telinga terpekik. Kelewat bising. “Sialan!” Dhaffin bisa mendengar umpatan keras yang Edna suarakan ditengah upayanya untuk melindungi dirinya juga Dhaffin.
“Berjuanglah..” seperti orang bodoh Dhaffin malah mengatakan hal yang tidak berguna ditengah baku tembak yang terjadi sekarang. “Serius mereka menembaki kita ?” dan lagi-lagi Dhaffin malah bertanya hal t***l yang sudah jelas terjadi.
“Kau pikir ini tidak serius ?” balas Edna dengan nada yang kelewat dingin dan tajam. Perempuan itu merogoh lagi kantongnya mengeluarkan isi peluru dan mengisinya dengan cepat. Kemudian balas menembaki para b*****h yang sedari tadi menghujankan peluru mereka kearah dua manusia yang berjuang untuk hidup tersebut. “s**t!” umpatnya lagi.
Dhaffin tidak bisa berbuat apapun untuk membantu Edna. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Pria itu hanya menutupi telinganya dengan kedua tangan seraya menutup kedua matanya. Orang-orang diluar sana masih saja menembaki tanpa henti. Satu hal yang membuat dirinya dirundung ngeri adalah asumsi soal berakhirnya hidup mereka berdua disini. Demi Tuhan Dhaffin merinding bukan main.
Edna masih bertarung didepanku, wanita itu terus melancarkan serangan balasan yang cukup mematikan dan berhasil mematahkan beberapa dari mereka. Meskipun ada yang telah tumbang mereka malah kian bertambah seperti amoeba yang membelah diri ketika yang satu mati. Dhaffin tahu jika posisi mereka terjepit saat ini, dan Edna sedang berada dalam situasi merepotkan sendirian. Meski begitu Dhaffin tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Seperti pecundang dia malah diam memeluk dirinya sendiri. Jika dirinya adalah kura-kura Dhaffin jamin akan lebih memilih masuk kedalam cangkang ketimbang mesti melawan. Anehnya meski keadaannya tidak memungkinkan perempuan itu tak sedikitpun menurunkan performa. Dia membuat Dhaffin meyakini jika wanita itu akan melindunginya. Dengan segenap kekuatan yang dia punya. Namun, apakah harus semati-matian itu ? bukankah dirinya ini hanyalah sosok yang merupakan sekadar tugas bagi wanita itu ?
Sebuah decitan mobil berhasil mengalihkan perhatian. Dhaffin yang sedari tadi menutup mata memberanikan diri untuk membiarkan matanya berfungsi sebagai mana mestinya. Sebuah mobil sedan hitam menerjang datang kearah mereka berdua. Musuh kah ? ketika seluruh tubuhnya dilanda tremor Dhaffin melirik kearah Edna. Diluar dugaan perempuan itu tersenyum tipis.
“Bantuan.” Gumamnya. Seringai terlihat terbit sepenuhnya padahal beberapa saat lalu wajahnya begitu tegang. Perlahan getaran ditubuhku sedikit demi sedikit berkurang. Jika Edna bilang bantuan setidaknya itu berarti orang-orang yang berada didalam sedan hitam itu adalah sekutu. Lebih banyak orang lebih baik ketimbang satu orang. Bukankah begitu ?
Mobil itu memang betul-betul bala bantuan untuk mereka berdua. Dhaffin diyakinkan atas aksi nyata mobil tersebut yang dengan gagahnya menerjang musuh. Menabrak mereka tanpa peduli soal nyawa. Seolah para manusia yang menyerang kami hanyalah hama yang pantas untuk dibasmi keberadaanya. Tak lama terdengar teriakan menggema, sepertinya musuh kurang ajar itu berhasil dibereskan. Ketika Dhaffin berada dalam situasi tertekuk dan Edna rasa pria itu akan mengalami sedikit trauma. Dengan tanpa dosa dirinya memeluk pria itu. Membenamkan wajah pria itu dalam peluknya. Membagi rasa meski Edna merasakan adanya sentakan kecil atas tindakannya. Namun perlahan kondisi pria itu mulai tenang. Sedangkan bagi Dhaffin dia merasa begitu nyaman dan hidup. Hanya dengan mendengar suara detak jantung Edna yang konstan. Aneh sekali wanita itu bisa setenang ini padahal beberapa saat lalu dia bertarung antara hidup dan mati demi melindunginya. Sebaliknya Dhaffin malah merasakan jika ketidaknormalan berada dalam tubuhnya. Jantungnya memacu kelewat kencang seperti dentum drum yang berirama.
Suasana hening. Seluruh kebisingan telah berlalu. Menghilang begitu saja. Edna mendorong Dhaffin dari peluknya kemudian menarik tangan pria itu untuk mengikuti dirinya. Tak lupa pula wanita itu juga menyeret tas milik pria itu untuk ikut bersamanya. Mereka berdua mendekati mobil sedan yang bertindak sebagai si penyokong nyawa. Ketika mendekat seorang pria telah berdiri diluar mobil dengan kedua tangan yang terlipat didepan d**a. Pria itu berwajah sangar dengan rambut gondrong terikat. Sebuah bandana hitam melekat didahinya menyembunyikan tato yang masih pula tersembul tak seluruhnya tersembunyikan. Pakaiannya serba hitam, dengan senapan yang stagnan disisi tubuhnya. Kedatangan mereka berdua disambut seringai lebar. “Yo Luxor, jadi kali ini kau belum mati juga ya?”
“Dasar b*****h!” Dhaffin sudah tidak lagi mempermasalahkan soal betapa kasarnya mulut Edna. Namun yang membuat dahinya berkerut adalah cara pria sangar itu memanggil namanya. Luxor ? bukankah nama perempuan ini Edna ?
“Luxor itu siapa ?” seperti biasa Dhaffin menyesali ketololannya. Untuk apa dia sekepo ini pada urusan perempuan itu dan si sangar yang lebih mirip preman itu ?
“Itu kode name.” Dan setidaknya Edna masih mau menjawabnya meskipun pertanyaan yang Dhaffin buat terkesan bodoh.
“Oh begitu..” Dhaffin tak tahu lagi harus bicara seperti apa. Sebab wanita itu seperti telah berubah. Diawal pertemuan dia yang terlihat percaya diri itu menjadi pribadi dingin yang sialnya malah membuatnya penasaran. Apa memang karakter sesungguhnya dari Edna adalah memang seperti ini ? dia seperti wanita yang berhati beku.
“Tersenyumlah cantik, kau tahu kalau aku hanya bercanda. Tentu saja aku tidak akan membiarkanmu mati—eh? Dia si Tuan Muda ?” tanya orang itu lagi. Dia melihat kearah Dhaffin dengan tajam, seperti sedang memelototi. Apalagi ketika matanya melirik kearah tangan Edna yang masih pula menggenggam tanganku. Merasa ditatap dengan kerutan didahi yang terlampau kentara Dhaffin dengan tahu dirinya melepaskan genggaman tangan Edna dari tangannya. Sungguh ditatap seperti itu membuatnya canggung. Dia lebih terlihat seperti orang yang ketahuan selingkuh. Meski itu terdengar berlebihan.
“Ya, dia Dhaffin.” Edna dengan cuek masuk kedalam mobil tanpa terganggu sedikitpun. Wanita itu melipat tangannya pun dengan kakinya juga. Dia menggerakan kepalanya sebagai isyarat bagi Dhaffin untuk mengikutinya juga. Namun ketika akan mengikuti, tangannya ditahan oleh pria gondrong itu.
“Oy.. kau pikir akan kemana sekarang?”
“Masuk.”
“Kalipa. Jangan mengulur waktu. Dan kau, masuk.” Dhaffin mulai kebingungan sekarang, tanpa perkenalan tanpa penjelasan, lalu sekarang perintah lagi. Meskipun Dhaffin sedikit bisa bernapas lega karena dirinya lepas dari situasi menegangkan beberapa saat lalu dan masih memiliki oksigen untuk bisa dia pergunakan untuk bernapas.
“Jangan memusuhinya Kalipa. Dia client kita. Dan tugas khusus yang diberikan ketua pada Luxor.” Seorang pria lain terdengar ikut campur dalam percakapan. Pria itu lebih santai dan kalem daripada pria gondrong yang kini sudah melepaskan jegalan tangannya pada Dhaffin. Dan pria dibalik setir kemudi tersebut setidaknya terlihat baik dan ramah. Pada akhirnya Dhaffin memasuki mobil dan duduk disebelah Edna. Diikuti oleh pria gondrong yang dipanggil Kalipa yang juga duduk di kursi belakang yang secara paksa mendorong Edna untuk berada ditengah-tengah. Perempuan itu menghela napas. Tubuhnya yang kecil dia angkat dari kursi penumpang kemudian meloncat kekursi depan. Duduk dengan nyaman disana. Kontan hal tersebut disambut tawa oleh pria yang duduk dikursi kemudi.
“Kalian bertiga lucu sekali sungguh.” Tawanya terdengar renyah. Tapi, firasat tak enak malah menghantuinya. Dhaffin merasakan adanya aura buruk dari pria yang duduk disisinya sekarang. Apa sekarang dia harus meringkuk dibagasi daripada harus duduk bersebelahan dengan pria sangar ini ?