Kepalan tangan tiba-tiba melayang kearah dua orang yang sedari tadi mencengkram tangan Dhaffin dengan keras. Edna memukulnya hingga salah satu dari mereka sampai terjembab kelantai. Melihat adanya peluang rubuh dari sang musuh, wanita itu menarik bahu Dhaffin dengan kuat agar pemuda itu berada dalam jangkaunnya. Merebutnya dari seorang pria yang berpakaian polisi. Sang polisi terlihat begitu kebingungan atas aksi yang Edna pertontonkan secara live. Meski begitu Edna tidak begitu saja berbaik hati, karena hanya dalam hitungan detik sebuah tendang mendarat diperut pria itu hingga pria itu jatuh berlutut dilantai memegangi perutnya yang baru saja di hajar.
Keyva dan Ivanka menyusul Edna yang telah lebih dahulu membuat dua orang roboh dalam hitungan waktu singkat. Mereka berdua menjadi penghalang bagi beberapa musuh lain yang mulai mendekat untuk menjangkau Dhaffin kembali. Jumlah mereka bahkan dikerahkan dua kali lipat daripada beberapa saat yang lalu. Ditambah pula dengan beberapa polisi yang ikut turun tangan dalam bentrokan yang terjadi. Terlalu diluar dugaan. “Ah.. sialan! Bawa dia pergi!” Keyva berdecak saat matanya dengan awas menatap seluruh musuh yang siap menyerang.
“Kami akan menahan mereka disini, setidaknya bisa memberi waktu bagi kalian untuk kabur.” Ivanka berkata pula, memberi satu perintah mutlak pada Edna yang kemudian langsung mengangguk dan menyeret Dhaffin dengan paksa bersamanya. “Aku tahu kau bisa menjaga dia.”
Edna menyeret Dhaffin untuk berlari bersamanya, menyusuri jalan padat yang menatap mereka dengan penasaran. Mereka berdua berlari tanpa mau peduli terhadap keributan yang terjadi dibalik punggung mereka. Baik dirinya maupun Edna berusaha mengacuhkan hiruk pikuk yang sepertinya sudah dimulai dibelakang sana. “Jangan menengok kebelakang. Biarkan mereka bekerja dengan tenang.” Pinta Edna sambil terus mencengkram tangannya dengan kuat.
Nafas Dhaffin kembali terputus-putus. Rasa panas yang menghujam tenggorokannya benar-benar menyiksa. Edna berbelok kearah kanan menuju gate nomor dua puluh sembilan. Tujuan yang tertera disana adalah moskow. Apa? moskow itukan rusia?
Beberapa orang polisi yang berjaga didepan pintu menuju pesawat, sejenak membuat Dhaffin berniat untuk berhenti melangkahkan kakinya sendiri. Namun apa yang Edna lakukan justru sebaliknya, wanita itu sama sekali tidak mengendurkan kecepatan langkahnya. Tidak ada niatan baginya untuk memperlambat. Yang Dhaffin rasakan justru wanita itu malah melangkahkan kaki semakin cepat. “Tu.. tunggu sebentar Edna—“
Edna merogoh kantong celananya mencari cari sesuatu. Sampai kemudian Dhaffin melihat wanita itu mengeluarkan dompet dari sakunya. Tapi jika diperhatikan lebih mirip pasport daripada dompet meskipun bentuknya lebih kecil dari pada yang Dhaffin ketahui. Edna berjalan dengan cara yang wajar dengan tangan yang masih menggenggam tangan Dhaffin dengan erat. Wanita itu menunjukan apa yang berada ditangannya kepada para petugas polisi yang sedang berjaga dengan pembawaan diri yang begitu tenang. Tak hanya passport Edna juga memperlihatkan kartu identitas berupa sebuah tanda pengenal pada para polisi yang masih pula enggan membuka jalan bagi mereka berdua. “Agen dari unit rahasia divisi 19 Grandblue Society Federation! Biarkan kami lewat!” suaranya yang menggema dan tegas memerintah pada seluruh polisi yang berjaga. Tak kenal takut meskipun mereka semua berbadan besar dan tinggi.
“Kami tidak bisa membiarkan siapapun lewat. Meskipun kau anggota GSF sekalipun!” sanggah seorang polisi yang masih tetap bersikukuh memblokade jalan baginya dan Edna. Bahkan pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya. Lebih tepatnya pada saku pistol yang terdapat pada sisi celananya. Mengarahkannya pada dahi Edna. Namun wanita itu sama sekali tidak gentar. Dengan sigap dia malah menyentuh pistol yang mengarah didahinya dengan sebelah tangan.
“Ketua Zaki akan menjelaskan situasinya pada kalian semua. Atau jika tidak percaya dengan apa yang aku ujarkan kalin bisa memastikannya sendiri dengan membunuhku disini dengan resiko kalian dibantai oleh ketua kalian sendiri atau membiarkan kami lewat!” seketika para polisi itu terdiam, sikap kaku mereka perlahan mengendur bahkan pria yang menodong Edna menggunakan pistolnya bahkan memasukan kembali pistolnya kedalam tempatnya. Wajah mereka menyiratkan ketakutan yang besar. Pria itu lantas melirik kearah para polisi dibelakangnya lalu mengangguk. Dan tepat setelah dia melakukan itu, para polisi merenggang dan membuka jalan untuk dapat Edna dan dirinya lewati. Meski mereka berdua dapat melewati jet bridge tanpa halangan apalagi terluka. Tetap saja, kehadiran mereka berdua yang penuh dengan pengawalan ketat terlalu menarik perhatian dari orang banyak. Satu hal yang ada dikepalanya saat itu. Risih.
“Edna siapa yang kau sebut dengan ketua Zaki ?” Dhaffin berkata pada Edna yang berdiri disisinya. Ingin tahu siapa si pemilik nama sampai seluruh polisi yang memblokade jalan baginya bahkan memberikan pengawalan setelah Edna menyebut nama itu.
“Dia adalah ketua divisiku. Sekaligus salah satu penanggung jawab dari seluruh pos kepolisian Grandblue.” Pertanyaan tersebut Edna jawab tanpa perlu menoleh pada dirinya. Wanita itu tetap melangkah dengan pandangan yang lurus kedepan.
Dhaffin sulit mempercayainya. Berapa banyak anggota GSF sebenarnya sampai mereka bahkan memiliki pekerjaan ganda dan tersebar dalam pemerintahan.
“Dan satu hal lagi, apa yang akan kita lakukan di moscow?” tanya Dhaffin lagi. Karena informasi destinasi mereka dia baru ketahui detik ini. Mengapa pula harus sampai keluar negeri ?
“Honeymoon?”
Jawaban dari Edna yang berkata sedatar itu tanpa emosi sialnya malah membuat dadanya berdebar tidak karuan. Ah.. Sepertinya Dhaffin memiliki masalah dengan tubuhnya.
***
Awan berwarna putih bersih seperti sebuah kapas bila dilihat dari bawah, sekarang nampak seperti kabut putih dari atas sini. Sementara itu, langitnya juga berwarna biru terang yang membuat mata lentiknya nampak fokus pada pemandangan diluar jendela sana. Melihatnya dari samping seperti ini ketika wanita itu tidak melakukan apa-apa dan hanya bernapas. Dia terlihat seperti wanita biasa. Wanita yang memang memiliki kehidupan biasa, seorang wanita yang mungkin dapat dia gapai dengan usaha. Digapai? Memikirkannya membuat Dhaffin terlihat bodoh sekarang. Untuk pertama kalinya dia terpikirkan untuk melihat Edna dari sudut pandangnya sebagai seorang pria. Wanita itu luar biasa. Tak pernah seumur hidupnya dia dipertemukan dengan wanita setangguh dia, sekharismatik dan indepeden macam dirinya. Membuat dirinya merasa minder sebagai seorang pria saat berdiri sejajar dengannya. Namun sesuatu dalam diri memang tak bisa dia cegah. Ada sesuatu yang berbeda darinya meskipun wanita itu berkata tidak mungkin untuk menjalin hubungan dengan seseorang karena akan melibatkan nyawa dan kondisi berbahaya. Tapi Dhaffin rasa dia jatuh hati pada Edna. Dia tidak bisa lagi menyangkalnya, oleh sebab berkali-kali dadanya selalu bereaksi bila wanita itu menatapnya, bila wanita itu bicara padanya, menyentuhnya, atau berada dalam jarak terlalu dekat saat bersamanya. Edna cantik. Fisiknya yang mungil namun lincah mendukung performanya. Dia bisa jadi apa saja. Seolah dia tak membutuhkan pria dalam hidupnya. Ah.. lagi lagi hatinya sakit dengan fakta itu.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Dhaffin tanpa sadar berkata, memperhatikan Edna yang tak juga bergerak dari posisinya memandang langit dari tempat duduknya. Sedikit kaget sebab Dhaffin tak menyangka akan berkata demikian saat Edna terlihat tak tertarik untuk berkomunikasi dengannya. Meski begitu wanita itu tetap menoleh padanya. Menjeda lamunannya sendiri yang telah diganggu si pemuda. Matanya yang biasa nyalang dan tajam kali ini memandang Dhaffin dengan redup. Sesuatu yang amat sangat Dhaffin benci dari sorot mata cantik wanita itu. Dia tak menjawab selain memberi Dhaffin sebuah gelengan. Kembali dia memutar kepalanya untuk melihat pemandangan langit yang dirasa mungkin lebih menarik ketimbang menjawab tanyanya yang garing. Menyerah. Dhaffin tahu dia tidak bisa berbuat banyak untuk menarik perhatian itu. Namun sedikit terkejut, dirinya mendapati ada jari jemari yang lentik menyentuh pipinya dengan lembut, hangat. Dhaffin mendapati uluran tangan itu berasal dari Edna yang kontan langsung mencetak semburat merah serta panas dipipinya.
“Minumlah sesuatu, Dhaffin. Bibirmu terlihat agak kering.” Katanya dengan nada datarnya yang biasa. Meski terkesan acuh dan tak acuh tapi tetap saja hatinya tidak bisa diajak berkompromi. Pikirannya malah dirasuki oleh spekulasi akan adanya percikan romansa yang semestinya tak perlu keluar disaat seperti ini. Tanpa menjawab Dhaffin berpaling muka. Barangkali bisa menyembunyikan rasa panas yang menjalar serta debaran jantung yang bertalu talu semakin tak bisa dikontrol. Dhaffin takut sendiri, takut bila Edna sadar dan membuat wanita itu jadi tidak nyaman. Padahal apa yang wanita itu lakukan hanyalah jenis perhatian antar teman yang tidak perlu disalah artikan dengan kepedulian yang mengarah pada rasa cinta. “Dhaffin..”
“Aku tidak haus.”
“Tapi kurasa kau butuh itu, setidaknya untuk menenangkan dirimu. Detak jantungmu tidak normal kau perlu tenang.” Ujaran dari wanita itu mendapat respon berupa mata yang terbelalak kaget dari Dhaffin. Edna menyadari debaran jantungnya? Sial ini memalukan. Karena sesungguhnya debaran jantung ini tidak berkerja oleh sebab pelarian mereka saat menghindar dari para pria berbaju hitam. Melainkan disebabkan oleh Edna sendiri yang menyentuhnya tanpa permisi dan memberinya perhatian lebih. Benarkah dia tidak sepeka itu membedakan yang mana karena takut dan yang mana karena grogi? Wanita itu bahkan menyodorkannya sebotol air mineral kedepan wajahnya. Terlihat serius.
“Kau ini pemaksa ya.” Dhaffin berusaha keras untuk terdengar normal sebelum mengambil air mineral yang wanita itu sodorkan. Kemudian meneguknya secara perlahan. Air yang dingin tersebut mengalir seakan dalam gerak lambat merambat mengalir pada tenggorokannya yang kering. Seperti gurun sahara yang membutuhkan air serta menerima hujan disiang hari. Begitu melegakan.
“Are you okay right now?” Edna kembali bertanya. Lagi-lagi mempertanyakan sesuatu yang tidak dapat Dhaffin hindari. Wanita itu pandai menilai situasi dan memaksanya untuk menjawab. Meskipun suaranya terdengar begitu tenang untuk ukuran orang yang memaksa. Namun sekali lagi, Dhaffin tidak bisa membantah bila Edna adalah satu-satunya orang yang dapat dia percayai diantara sekian banyak orang yang dia temui di muka bumi. Wanita itu adalah satu-satu tempat yang bisa menjadi sandarannya ketika dirinya lelah. Sekali lagi karena keterpaksaan sebab tiada opsi pilihan.
Dhaffin menghela napasnya sesaat sebelum melirik kembali kearah Edna yang seakan telah menelanjangi dirinya. Mengintip apa yang tersembunyi didalam pikirannya. Kali ini lebih pada satu nama yang dirinya dapati dari beberapa pengejar yang berusaha menangkapnya tadi. Memori otaknya kembali memutar pada kejadian beberapa saat lalu masih teringat jelas dan segar dalam ingatan. “Ini memusingkanku. Orang-orang itu mengatakan satu nama padaku..”
“Orang suruhan Vladimir?” sahut Edna, kali ini dirinya telah sepenuhnya menaruh atensi lebih terhadap Dhaffin. Menerka sesuatu yang dia pikir adalah satu hal pasti baginya. Karena daripada sebuah pertanyaan itu lebih terdengar seperti sebuah statment.
“Bukan.” Dhaffin menggeleng. “Mereka mengatakan sesuatu soal nama lain.. mereka bilang mereka adalah orang suruhan tuan Alex.”
Edna terdiam, kali ini membuatnya melirik lagi Edna mencari sesuatu yang barangkali sebuah petunjuk dari dirinya. Namun yang dia dapati malah lirikan yang terlalu tajam untuk dibilang sebagai respon atas satu nama yang terselip dalam kata-katanya. Meski begitu, dirinya terlihat tengah berpikir keras juga. Tidak jarang bagi Dhaffin untuk melihat Edna yang seperti ini. Dia selalu memutar otak sendirian dengan hasil yang tidak tertebak siapapun. Jalan pikirannya memang sesulit itu. Seperti ribuan kode yang tak dapat dipecahkan hanya dengan sedikit usaha.
“Bagaimana menurutmu?” sedikit penasaran Dhaffin bertanya pada Edna yang masih membisu dengan dunianya.
“Apa?”
“Soal orang bernama Alex ini. Apa kau mengenalnya?” Dhaffin ingin mengetahui pendapat dirinya.
“Kupikir mereka tidak salah, dan kurasa mereka juga tidak berbohong.” Edna menjawab meski terdengar begitu ragu.
“Maksudmu apa ?”
“Sudahlah, lebih baik kau istirahatkan saja tubuhmu itu. Perjalanan kita masih panjang. Waktunya kau tidur dan jangan menggangguku” sanggah Edna lagi. Membuat Dhaffin sekali lagi mencium adanya rahasia dari wanita itu. Lagi-lagi dia mengubah topik seenak jidatnya. Edna selalu seperti itu bila pembahasan yang dia ajukan serius dan krusial.
“Kenapa kau selalu mengganti topik saat aku bertanya hal yang serius ?” sebelah tangannya terangkat bahkan menutup paksa sepasang matanya rapat-rapat.
“Tidur saja!” bantahnya dan kali ini Dhaffin kehilangan kata untuk bisa membalasnya titah wanita keras kepala itu.
***
Moscow, Rusia. Seumur hidupnya Dhaffin tidak akan menyangka bila dirinya mendapatkan sebuah kesempatan untuk menginjakan kakinya keluar dari negara yang telah membesarkannya. Namun satu hal yang dia dapati berbeda dari negarnya yakni cuacanya yang terlalu dingin sampai membuat giginya bergemeletak. Kedatangan mereka ke negara ini rupanya bertepatan dengan adanya musim salju. Sangat wajar apabila suhunya lebih dingin daripada yang biasanya. Semua yang bisa dilihatnya melalui matanya hanyalah tebaran salju yang putih juga dingin berpadu dengan tembok-tembok bangunan yang memiliki warna tak begitu mencolok. Rata-rata hanya berwarna broken white, merah mata, coklat muda lembut, dan beberapa barisan warna dalam kelas nude lainnya. Pemandangan yang tidak terlalu menarik bila dibandingkan dengan negara lain yang hangat semacam prancis atau mungkin italia. Namun meski terlihat monoton tetap memberikan kesan sebab ini adalah negara pertama yang dia kunjungi, meskipun bukan dengan label wisata.
Dingin dan kehampaan terasa sekali meski masih ada sedikit kehangatan dari balik awan yang mataharinya sedang mengintip. Ah dan jangan lupakan pula dengan jaket tebal yang entah bagaimana sudah Edna persiapkan setibanya mereka tiba di airport beberapa menit yang lalu. Oke lupakan soal deskripsi, karena saat ini Dhaffin yang so tahu dan ingin membantu sedang disibukan dengan peta di memo canggihnya. Mencari sebuah tempat yang Edna katakan sebagai tujuan mereka.
“Sudah kau temukan?” Edna menegurnya. Hal tersebut sukses memecah keheningan dan sekali lagi membuat Dhaffin menjadi sosok yang tidak berguna bagi wanita itu padahal satu-satunya hal yang dia inginkan hanyalah berpartisipasi dan membantu. Tangan Edna yang masih stagnan berada disaku jaketnya terlihat mengerat, ketika angin berhembus melewati mereka. “Kau sudah menemukan jalannya?” tanyanya lagi karena Dhaffin tak kunjung menjawab.
“Sebentar lagi.” Dhaffin membalas dengan mata yang masih berfokus pada memo disebelah tangannya. Jari-jari pemuda itu masih sibuk mengetik sesuatu terlihat sudah mulai mencapai batas. Dan Edna tahu bila Dhaffin mulai frustasi saat ini. “Ini sedikit lebih sulit dari yang aku kira.” Aku Dhaffin lagi, saat dirinya tak kunjung dapat memahami teknologi baru ditangannya.
Edna tak berkomentar lagi, wanita itu lebih memilih mengamati keadaan sekitar yang tergolong sepi. Sampai kemudian wanita itu bergerak setengah menyeret Dhaffin yang masih disibukan dengan mainan barunya. Menghampiri seorang wanita setengah baya yang sedang berjalan. Tubuhnya yang kecil terlihat tenggelam dalam balutan jaket beserta syal yang dia kenakan. Lagi-lagi warna monokrom. Edna menegur wanita itu dengan sopan. Dhaffin terdiam menganga tak percaya saat dengan lancarnya Edna berbincang dengan wanita itu. Bukan bahasa inggris, melainkan bahasa asing yang merupakan bahasa pribumi negara ini. Bahasa Rusia yang benar saja.. apa Edna ini orang jenius sampai dengan entengnya berkomunikasi dengan bahasa yang termasuk bahasa paling sulit dipelajari itu? Wanita itu benar-benar hebat dan kompeten.