Rahasia di Kolong Meja

Rahasia di Kolong Meja

book_age4+
2
IKUTI
1K
BACA
dark
love-triangle
submissive
twisted
sweet
serious
mystery
whodunnit
school
villain
like
intro-logo
Uraian

"Aku menyukai orang yang salah, itu berawal dari rahasia di kolong meja yang kusembunyikan darimu!” Mata dan bibirku berkerut getir menatap sepasang mata yang juga berkerut seakan bertanya padaku setelah membaca sepucuk surat pembunuhan berantai dari teman sebangkuku.

chap-preview
Pratinjau gratis
Kertas Minyak Merah Muda
‘Aku Menyukaimu,’ tulisku dalam sepucuk surat berwarna merah muda yang berbentuk segitiga. Melipatnya menjadi bagian segitiga kecil laksana hati yang kan bersemayam di kolong mejanya. “Apa yang kau lakukan di kolong mejaku?” tanya siswa yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku dengan ransel coklat yang menggantung di salah satu bahunya. “Ini kolong mejaku,” sahutku sembari menyembunyikan tangan yang gemetar di kolong meja yang tak terbatasi kayu.  Menunduk ke kolong meja lalu mengambil lipatan kertas minyak merah muda itu. Seenaknya saja ia langsung merobek setelah membacanya. “Itu dari sahabatku!” ketirku menatap sobekan-sobekan kertas terjatuh ke lantai di antara bangku dan meja, langsung saja diinjak dengan kedua sepatu hitamnya saat dirinya duduk di bangku yang juga tak terpisahkan. “Ini ... bangkuku!” lirihku masih berdiri menatap dirinya membuka ransel yang sangat besar. “Sahabatmu Bagas?” Buku-buku besarnya dikeluarkan, ditaruhlah di dalam kolong meja. “Bukan itu ... Zeta,” sahutku dengan pelan duduk di bangku, yaitu di samping dirinya. Sontak saja tanpa sadar, kalimat itu memanggil sahabatku yang sedang berdiri merangkul tas kecil putih di samping mejanya. Aku pun menghampiri dirinya yang menatap diriku lalu kutepuki pundaknya sembari memanggilnya, “Zeta!”  “Ada apa?” tanyanya seraya melepaskan selempang tas. Setelah meletakkan tas itu di atas meja, ia pun ikut denganku. “Kenapa, kenapa kamu membicarakanku dengan pria kulkas itu?” tanya Zeta seakan berkeluh kesal padaku bersamaan dengan tangan-tangannya yang bergelantungan di pembatas besi lapangan basket. Aku pun tidak menjawab pertanyaannya alih-alih diriku lebih memilih untuk menggenggam tanganku sendiri, menjaga kehangatannya dari serangan angin lapangan yang tak terduga. “Apakah kau menyukainya?” tanya Zeta kembali padaku dengan mata melotot hingga memperlihatkan putih bawah bola matanya.  “Astaga,” gumamnya seperti bisikan. Siswi dengan kepemilikan dahi lebar itu pun membentur-benturkan dahinya pada pembatas besi yang dingin. “Kau jatuh hati pada pria ‘brrbrr' itu ..! Apakah kau waras, dia itu tinggi hati, besar hati, berhati batu...?” bentaknya kemudian ia sambung kembali, “Ingin rasanya aku menggigit bibirnya!” bisiknya yang dalam sekejap mata, dirinya sudah membengkokkan besi pembatas lapangan dengan gigi-gigi tajamnya. Semua murid melongok sahabatku itu termasuk juga Bagas yang tertawa dari kejauhan sembari memegang bola basket. Sekuat tenaga kugunakan untuk menghentikan aksi seruduk tanduknya. Namun, malah seluruh tenaganya yang keluar hingga bokongnya mendorong pinggangku sampai diriku terjatuh. “Apa?” teriak sahabatku itu sembari langsung membalikkan badan hingga menabrak guru olahraga dibelakangnya. Terangkulah Zeta dalam pelukan pak guru itu, adegan cerobohnya mengakibakan romansa yang bisa kunikmati secara gratis. Kedua tanganku pun mengarah untuk menutup pipiku yang merona karena malu akan dirinya. Menyentuh pipi, bau aneh pun mulai tercium.  “Azeta ... kamu kan yang kemarin belum bayar kembalian?” Aroma itu semakin kuat bercampur antara aroma saus gurih dan daging busuk.  “Tidak, Pak. Memangnya ada pembeli membayar kembalian ... kenapa bapak silat lidah dengan saya, kapan juga Bapak tahu nama saya?” Aku pun memperhatikan bibir guru olahraga itu karena setiap dirinya berbicara aroma itu semakin menjadi-jadi hingga saat ini aroma itu berubah menjadi bau kotoran manusia, kencing bercampur tanah, dan kecut darah pembalut wanita. “Bapak sering melihat kamu kabur sehabis menerima kembalian lebih,” sahut bapak itu membuat diriku menghempas-kempiskan hidungku. Mencoba untuk mencium bau busuk yang berasal dari kejauhan, yaitu bau mulutnya. Namun, saat lubang hidungku berkembang kempis kembali bertepatan dengan guru olahraga termangu pada Zeta begitu juga dengan Zeta yang bengong menatapku, aku mulai menyadari asal bau itu, yaitu dari kedua telapak tangan gemetar yang menempel di pipiku. “Ana, apa kehilangan akal sehat, kau itu sedang mengendus-endus kotoran!?” tampik sahabatku itu pada guru olahraga. Zeta pun meraih getaran kedua tanganku yang penuh akan warna kecokelatan. Mengajak diriku untuk kabur bersamanya, meninggalkan jejak kotoran yang baru saja terinjak dan tersentuh oleh diriku sendiri.  “Dinginkan kepalamu sebentar ... berhentilah gemetar!” bentak Zeta seraya membersihkan kotoran-kotoran yang bercampur tanah dari telapak tangan yang kian bergetar. “Ini hanya kotoran, bukan kejahatan! kenapa kau selalu gemetar, Ana?” tanya Zeta dengan halus padaku setelah dirinya menarik nafas. Roknya pun digunakan sebagai lap oleh dirinya sendiri untuk membersihkan tangannya secara bergilir karena salah satu tangannya selalu menarik tanganku untuk tetap berlari bersamanya. “Lihat! sekarang kotoran, kejahatan atau apa pun itu akan dapat dibersihkan, kau tinggal menghilangkan bekasnya saja walaupun baunya masih dapat diendus,” cetus Zeta dengan seringai. “Mungkin kau akan menanggung rasa malu. Namun, itu hanya sementara, tenang saja, diluar sana masih berkeliaran penjahat yang membungkam mulut rakyat dengan uang. Kau bisa membeli parfum mahal lalu menutupi bau itu sampai seluruh siswa melupakan bekas atau jejak yang seharusnya tidak tertempel di tangan putih bersih ini.” “Dunia sudah terbalik dan orang-orang akan mencium wangi tanganmu, mengangkatmu tinggi-tinggi tanpa mereka sadari bahwa mereka sebenarnya telah mencium kotoran lainnya.” Zeta terbahak-bahak sembari berjalan mundur memegang kedua tanganku yang getarannya mulai terhenti seakan ucapannya ada benarnya. Dirinya menatap diriku yang juga sedang menunduk dan menatap kedua telapak tanganku yang berwarna putih pucat kian dipenuhi warna merah darah. Tertubruklah diriku dan dirinya pada sahabatku yang lainnya, yaitu Ika. Seketika saja setelah membalikkan badannya Zeta bertanya pada Ika, “Aku tidak melihatmu di lapangan, Apa kabar?”  “Sangat baik, Zet. Maaf ya tadi aku lagi periksa berkas dari kelasmu, kamu baikkan?” tanya balik Ika pada diriku dan juga Zeta sembari mengambil kertas-kertas yang terjatuh ke lantai, aku pun ikut membantunya. “Apakah aku tidak terlihat murah hati, kenapa kupingmu memerah Ika..?” tanya Zeta yang sedang berdiri dengan tangannya di pinggang, aku pun memberikan kertas itu kepada Ika. “Benarkah..?” tanya Ika, siswi yang berumur 16 tahun dengan rambut panjang yang terbalut karet merah tua, terbalut tinggi seperti kunciran ikat kuda di kepalanya. Memegang kuping dan mengambil kertas yang kuberikan. “Murah hati, maksudmu apa, Zet?” tanya Ika sembari memiringkan kepala dengan tangan yang masih mengurut-urut telinganya kembali. “Sudahlah,” ucap Zeta langsung masuk kelas, meninggalkan aku dan Ika di depan pintu kelas keras yang berwarna merah tua.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
214.3K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.0K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.2K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.6K
bc

TERNODA

read
193.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook