6. Someone?

1254 Kata
"Daf, lo hari ini keren banget mainnya. Pertahanin terus ya, biar lo bisa jadi anggota tim nasional," laki-laki dengan rambut gondrong yang diikat itu menepuk pelan pundak Ardaffin. Ardaffin yang sedang duduk mengikat tali sepatunya sontak berdiri ketika melihat siapa sang pelaku. Ardaffin tersenyum tulus, "makasih bang Putra." Selain klub futsal di SMA Trisatya, Ardaffin juga menjadi anggota salah satu klub sepakbola yang ada di kotanya. Fireant FC namanya. Iya. Artinya semut api. Meskipun tergolong hewan yang sangat kecil, tetapi semut mempunyai sifat yang patut dicontoh. Semut bekerja sama dengan tujuan untuk membangun sarang dan mengumpulkan makanan. Saat satu ekor semut sedang kesulitan mengangkat makanan maka anggota koloni yang lain akan datang untuk membantu. Semut tidak akan membiarkan satu anggota koloninya kesusahan, selalu bersama-sama dalam menghadapi segala tantangan yang ada. Anggota Fireant FC pun juga harus seperti itu. Api sendiri melambangkan semangat para anggota Fireant FC yang selalu panas membara untuk memenangkan pertandingan. Itulah sedikit gambaran tentang alasan penamaan klub sepak bola yang diikuti Ardaffin. Namun semut api itu memang ada. Semut api adalah spesies yang terkenal galak dan bisa menggigit orang yang mengganggunya. Bisa saja anggota Fireant FC juga menggigit tim lawan yang mengganggu mereka sama seperti semut api 'kan? Sepulang sekolah Ardaffin latihan sepakbola bersama dengan para anggota Fireant FC. Jadwal latihan Ardaffin seringkali bentrok dengan jadwal latihan futsal di SMA Trisatya. Itu terjadi ketika Fireant FC maupun klub futsal SMA Trisatya akan mengikuti kejuaraan. Seperti sekarang. Setelah latihan futsal di sekolahnya, laki-laki itu harus kembali latihan sepakbola bersama anggota Fireant FC. Lelah? Tentu saja! Meskipun begitu Ardaffin tetap harus melakukannya. Putra berdecak seraya menggeleng pelan. "Gue udah nganggep lo kayak adek sendiri. Udah jadi tugas gue buat selalu dukung lo. Jadi nggak usah berterimakasih kayak gitu," Putra merangkul pundak Ardaffin. Ardaffin terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Iya bang." Putra mengangguk kecil lalu bergerak melepaskan tangannya yang merangkul pundak Ardaffin dan beralih menatap laki-laki di sampingnya, "gimana kalo hari ini gue traktir makan di tempat makan kesukaan lo?" Putra juga merupakan anggota Fireant FC. Usia Putra lebih tua tiga tahun dari Ardaffin yang berusia tujuh belas tahun. Keningnya berkerut samar, Ardaffin berpikir ini sudah waktunya makan malam tidak ada salahnya untuk makan terlebih dahulu sebelum pulang. "Oke deh bang." • • Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ardisa sekarang berada di depan pintu kamar Ardaffin. Tujuannya ke sana untuk berbicara sesuatu kepada anaknya. Setelah pulang dari tempat latihan sepak bola, Ardaffin langsung pergi ke kamarnya dan menolak untuk makan malam. Katanya sebelum pulang Ardaffin sudah makan bersama temannya. Tok tok Ardisa mengetuk pintu berwarna hitam itu, namun tidak ada sahutan dari sang pemilik kamar. Ardisa mengerutkan keningnya, apa Ardaffin sudah tidur? Perlahan Ardisa membuka pintu, berdiri diantara pintu kamar yang terbuka lebar. Ardisa tersenyum kecil, putranya ternyata sedang tidur. Wanita itu mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Ardaffin, ya mungkin besok pagi lebih baik. Pergerakan Ardisa yang akan menutup pintu terhenti saat melihat baju futsal berwarna hijau milik Ardaffin tergeletak di atas pinggiran kasur. Ardisa menggelengkan kepalanya, sepertinya Ardaffin terlalu lelah hingga lupa untuk meletakkan bajunya di keranjang pakaian kotor. Ardisa berjalan memasuki kamar Ardaffin, tepatnya mendekati kasur berseprai abu-abu yang ditempati oleh putranya. Wanita itu sedikit membungkukkan tubuhnya, satu tangannya digunakan untuk mengambil baju futsal milik Ardaffin. Baju futsal itu sudah dipegangnya, Ardisa menatap Ardaffin yang tidur terlentang dengan kedua tangan sedang memeluk sebuah bingkai foto. Dahinya mengernyit, sepertinya Ardisa tidak pernah melihat bingkai foto berwarna biru muda tersebut. Wanita itu penasaran tentang sosok yang ada di bingkai foto itu, sampai membuat Ardaffin memeluknya ketika tidur. Ardisa berdiri di samping anaknya yang tertidur, dengan gerakan pelan wanita itu meraih bingkai foto dipelukan Ardaffin. Tampaknya Ardaffin tertidur sangat pulas, sehingga tidak merasa terganggu sedikit pun oleh pergerakan Ardisa. Ardisa membalikkan bingkai foto yang dipegangnya. Ardisa melebarkan matanya, terkejut kala mengetahui siapa sosok yang ada di sana. Keterkejutan Ardisa lalu berganti dengan senyuman. Ternyata anaknya sudah dewasa. • • "Kamu mau berangkat sekolah sekarang? Ini baru jam enam lho." Ardisa mengamati Ardaffin yang sedang duduk di teras rumah seraya mengikat tali sepatunya. Entah apa yang merasuki anaknya hari ini. Ardaffin yang biasanya berangkat sekolah pukul tujuh pagi sekarang tiba-tiba ingin pergi ke sekolah lebih awal. Laki-laki itu mendongak, menatap wajah sang bunda yang berdiri di belakangnya. "Nggak sekarang kok, Ardaf nunggu Basraka dulu." Ardisa mengangguk, kemudian mendudukkan dirinya tepat di samping kiri Ardaffin. Wanita itu mengelus kepala Ardaffin, membuat tangan Ardaffin berhenti mengikat tali sepatunya dan memilih menatap sang ibu. Ardisa menatap Ardaffin dengan sendu, tangan kanannya kini memegang pundak sang putra, "maaf ya. Kamu pasti capek banget kan?" Ardisa sering diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar anaknya saat malam hari. Wanita itu selalu melihat raut kelelahan yang terpasang di wajah Ardaffin ketika sedang tidur. Sesekali anaknya mengigau dalam tidurnya, mengatakan bahwa Ardaffin sudah sangat lelah dengan semua tuntutan ayahnya. Saat pagi Ardaffin melakukan kewajibannya sebagai pelajar dan setelah pulang sekolah Ardaffin harus pergi ke tempat latihan Fireant FC. Ardaffin juga mengikuti ekstrakulikuler futsal di SMA Trisatya. Jadwal Ardaffin seringkali bentrok dengan jadwal latihan futsal di SMA Trisatya. Itu terjadi ketika Fireant FC maupun klub futsal SMA Trisatya akan mengikuti kejuaraan. Seperti kemarin contohnya. Setelah latihan futsal di sekolahnya, laki-laki itu harus kembali bermain sepak bola bersama anggota Fireant FC. Itu membuat Ardaffin harus mengorbankan waktu istirahatnya. Belum lagi Danu yang berencana akan menambah kegiatan Ardaffin dengan memberikan pelatih pribadi. Bayangkan betapa lelahnya anaknya itu. Apakah Danu akan menyiksa anaknya hingga impian itu terwujud? Kenapa suaminya itu tidak belajar dari kesalahan di masa lalu? Ardisa selalu merasa bersalah karena tidak bisa membuat Danu melepaskan Ardaffin dari impian yang tidak bisa suaminya gapai. Ardaffin menggapai tangan Ardisa, menggenggam erat telapak tangan itu. Ardaffin menggelengkan kepalanya, "jangan minta maaf Ma, ini bukan salah Mama. Ardaf sendiri yang ingin mewujudkan impian papa." Ardaffin menatap Ardisa dengan sorot mata penuh keyakinan, berusaha menyakinkan sang ibu bahwa laki-laki itu baik-baik saja. Ini adalah pilihan Ardaffin, tidak seharusnya Ardisa merasa bersalah. "Tapi Mama—" "Udah Ma, jangan kayak gini lagi!" Laki-laki itu memotong ucapan Ardisa, nada bicaranya menjadi lebih tegas namun masih ada kelembutan. Ardaffin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Bukan kali saja Mamanya meminta maaf gara-gara merasa bersalah karna masalah sepak bola ini. Pertama kali Ardisa meminta maaf, wanita itu berakhir menangis setelah perdebatan soal siapa yang salah dengan Ardaffin. Ardisa yang merasa bersalah terus saja meminta maaf sedangkan Ardaffin terus mengatakan kalau itu bukanlah kesalahan sang ibu. Pembicaraan itu terus berlanjut dan ditutup oleh Ardisa yang menangis. Ardaffin tidak ingin Mamanya mengeluarkan air mata lagi. Ardisa mengangguk lesu lalu melepaskan tangannya dari genggaman Ardaffin, "Mama gak janji." Ardaffin menghela nafasnya, "terserah Mama deh." Wanita itu terkekeh kecil melihat wajah pasrah putranya. Ardisa mengamati Ardaffin yang kembali mengikat tali sepatunya yang sempat tertunda. "Kamu nggak mau ngenalin seseorang sama Mama?" Ardaffin menegakkan tubuhnya, menatap Ardisa dengan alis berkerut bingung. "Seseorang?" Ardisa mengangguk antusias. "Iya, orang yang kamu suka mungkin?" Wanita itu mengucapkan kata terakhirnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Ardaffin tersedak air liurnya. Semburat merah perlahan muncul di kedua pipinya, laki-laki itu langsung memalingkan wajahnya ke samping. "A-apaan sih Ma." Ardisa tertawa kecil karna respon Ardaffin yang diluar dugaan. Jarang-jarang Ardisa menyaksikan anaknya salah tingkah. Sepertinya Ardaffin benar-benar sedang menyukai seseorang. "Kamu ingat kan? Papa pernah bilang kalau kamu…" Ardisa menyorot Ardaffin dengan tatapan menyuruh sang anak agar melanjutkan ucapannya. "Boleh pacaran asalkan tetap fokus sama tujuan Ardaf sekarang," Ardaffin meneruskan perkataan Ardisa. Tentu Ardaffin ingat betul dengan wejangan yang disampaikan oleh Danu Pradipta yang terhormat. "Nah jadi… kapan kamu kenalin dia sama Mama?" • • •
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN