23. I'm Suffer

1711 Kata
Embusan napas panjang dan kasar terdengar dari kursi belakang sebuah mobil sport pabrikan Jerman yang kini sedang terparkir di depan gerbang perumahan elit di kawasan Manhattan. Tiga orang pria dalam balutan tuxedo hitam masih berada di dalam mobil terebut. Dua di antara mereka tengah mencaramahi seorang pria yang sedari tadi terus mendengkus. “What the f**k!” Dan tak berhenti mengumpat dengan sangat kasar. Seorang pria pertengahan tiga puluh mendengkus dari balik kemudi. Dia menoleh ke kaca spion. Tepat saat itu juga, sepasang manik biru memberikan tatapan mematikan kepada pria itu. “Demi Tuhan, Darren. Mau sampai kapan kau seperti ini, hah?” tanya pria bermata hijau itu. “Diam kau!” desis Darren. Pria yang duduk di kursi depan kembali mendengkus. Dia memutar pandangan pada pria yang duduk di sampingnya. “Jo?” panggil pria itu. Yang dipanggil tak menggubris. Bahkan hingga panggilan ke-tiga. “Jo!” Pria itu kembali memanggil dengan nada menyentak membuat Jonathan bergeming. Pria itu mengerjap, lalu dengan cepat memandang si pria bermata hijau di sampingnya. “Y- ya,” jawab Jonathan. Pria itu menoleh ke belakang. Memandang sahabatnya yang memasang wajah masam. “You okay?” tanya si pria bermata hijau. Jonathan memandang pria itu dengan pandangan ragu. Kedua sudut bibirnya bergerak. Pria itu mengulum bibir, memperlihatkan lesung pipinya ketika wajahnya mengulas senyum palsu. “I’m okay, Dylan.” “Oke,” kata pria bermata hijau bernama Dylan itu. Dia adalah kakak Darren. Pria itu kembali menatap sang adik dari kaca spion. “Darren, demi Tuhan. Berjanjilah padaku, bahwa kau tidak akan mengacaukan malam ini.” Darren mendesah kasar. “Entah apakah kau layak disebut Kakak, Dylan. Tapi harus kukatakan kalau kau sama tidak bermoralnya dengan si kepar^t tua bangka itu.” Bola mata Darren membesar. Berkilat-kilat memancarkan api yang siap menghanguskan kakaknya saat ini juga. “Kalian biad^p!” Lanjut Darren. Napasnya berembus kasar dan panas. Dylan bisa merasakannya. Bagai pedang yang menusuk dari punggung hingga ke uluh hatinya. Sekali lagi Dylan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan desahan. “Aku tahu kau menderita, Darren. Aku paham kalau kau-“ “No,” sergah Darren dengan nada pelan, tapi tajam. Pria itu menggelengkan kepalanya. “Kau tidak akan pernah tahu dan kau tidak akan pernah paham apa yang aku rasakan. Orang-orang yang bilang kalau mereka simpati, kalau mereka kasihan dan kalau mereka peduli padaku, aku berani bersumpah demi mendiang ibuku kalau mereka hanya melontarkan omong kosong. Aku ….” Darren menunjuk dadanya dengan kasar. “Akulah satu-satunya yang paham bagaimana rasanya. Aku sakit dan aku sekarat, tetapi aku masih bisa berdiri. Memandang gadis yang kucintai bersanding dengan pria paling kepar^t dan paling tak bermoral. Yang lebih membuatku menderita, adalah aku tak bisa membunuh pria itu. Aku ingin sekali pergi dan mencekik lehernya, tapi aku tidak bisa.” “Darren, please ….” “No, Dylan!” hardik Darren. Dia kembali menggoyangkan kepalanya. Matanya dilapisi cairan bening dan napasnya mulai bergemuruh di d^da. “Aku hancur, Dylan,” desis suara bass berat itu. Dadanya mengembang seiring dengan tarikan napasnya yang berat lalu mengembis bersamaan dengan rasa sakit yang teramat menyayat hatinya. “Dan jika ada yang bilang bahwa mereka mengerti dengan perasaanku, maka aku akan sangat benci. Aku muak. Kau ke apartemenku. Membujuk Jonathan karena kau tahu kalau hanya dialah satu-satunya orang yang tak bisa kutolak. Kau manfaatkan sahabatku agar aku kemari dan melihat penderitaan itu. Padahal kau tahu bagaimana aku depresi dan bagaimana aku sekarat. Kau hanya menuruti perkataannya.” “Darren.” “Kau bonekannya.” Darren tak peduli dan berucap sambil terus menaikkan nada bicaranya. “Kau hanya perduli dengan harta, tapi kau tidak pernah perduli dengan apa yang aku alami. Demi Tuhan, Dylan. Kau bahkan bisa mengambil semua bagianku. Aku tidak pernah peduli dengan hartanya. Aku tak pernah meminta apa pun padanya. Aku hidup dengan ibuku selama bertahun-tahun sampai akhir khayatnya. Aku tak pernah datang pada pria itu dan aku sungguh tak pernah menginginkan apa pun. Tapi dia sangat kep^rat. Tak cukup dengan menyakiti ibumu, dia juga menyakiti ibuku dan sekarang dia membunuh nyawaku dengan cara paling tidak bermoral. KATAKAN PADAKU DYLAN APAKAH PRIA ITU LAYAK DISEBUT AYAH?!” teriak Darren. Dylan tak dapat membantah. Kata-kata adiknya benar-benar menyayat seantero perasaannya. Jantungnya bagai diremas dengan perasaan menyakitkan. Hingga yang bisa dilakukan Dylan hanyalah menjatuhkan tatapan. Lelaki itu membanting dahinya ke stir mobil dan dia melakukannya berulang kali. Dylan mendesis. Meringis lalu memaki dengan suara berat. Sementara Darren membanting punggungnya ke belakang. Pria itu membawa satu tangannya mengusap dahi. “Jika ada sedikit rasa kasihan darimu untukku, maka semestinya kau tidak membawaku kemari, Dylan. Apa yang ingin kau buktikan padaku, hah?” Dylan kembali mengangkat wajahnya. Pria itu menoleh ke belakang. “Aku ingin kau buktikan kalau kau tidak lemah, Darren,” ujar Dylan. Darren tersenyum kecut. Pria itu menggeleng lalu mendorong pintu mobil. “Hei!” pekik Dylan. “Sial!” Dylan bergegas membuka sabuk pengaman melesak keluar dari mobil. “Darren!” teriak Dylan. Darren terus berjalan. Dia menggeleng dan mengayunkan tangan kanannya ke udara, tanda menyerah. “Darren, wait!” teriak Dylan. Namun, Darren tetap tak mendengar. Akhirnya Dylan memutuskan untuk berlari dan mengejar adiknya. Dylan memanjangkan tangannya meraih pundak Darren. “Hei, Darren!” Dylan berhasil. Pria itu langsung memutar tubuh Darren dengan satu tangannya. Darren menatap Dylan dengan pandangan nanar. Kedua netra berlapis air bening itu semakin memerah. Bergerak ke kiri dan kanan seakan tengah menahan desakan air yang memaksa untuk dimuntahkan. Pandangannya teralih bersamaan dengan satu kedipan yang meruntuhkan aliran panas dari matanya. “Aku menderita, Dylan. Demi Tuhan …,” lirih Darren. Pria itu mengubur wajahnya di dalam telapak tangan. Membiarkan air mata mendesak keluar tanpa ampun. Dylan merih pundak Darren dengan kedua tangannya. Lelaki itu memeluk adiknya. “Maafkan aku, Dar. Kumohon. Bukan ini maksudku. Ya Tuhan!” Dylan mengulum bibirnya. Mengerjap lalu menengadahkan wajahnya ke atas. Pria itu bersih keras menahan gumpalan cairan bening yang telah mengumpul di pelupuk matanya. “Darren, aku hanya ingin kita berkumpul sebagai keluarga. Duduk di satu meja yang sama sambil menyantap makan malam di hari Thank’s Giving.” Darren menggeleng lalu dia menarik wajahnya dari dalam dekapan sang kakak. Dengan mata nanar, manik biru itu kembali menatap pria di depannya. Sekali lagi menggeleng. “Kita tak pernah benar-benar menjadi keluarga yang utuh, Dylan. Pria itu tak punya kasih sayang dan tak pernah berniat membina keluarga yang utuh. Jika kau ingin ke sana, maka pergilah. Tapi biarkan aku pergi dari sini,” ujar Darren. Dylan meletakan kedua tangan di atas pangkal bahu Darren. Pria itu menghela napas lantas memutar pandangannya. Memandang si pria yang sedang bersedekap sambil menyandarkan tubuhnya pada mobil. Jonatahan mendengkus kemudian menelengkan wajahnya ke samping. Pria itu menangkap gesture yang barusan dikirimkan Dylan. Sambil mendesah, Jonathan menarik dirinya. Suasana hatinya sebenarnya sedang tidak bagus. Pikiran Jonathan seperti meninggalkan raganya. Dia tersesat. Memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya memikirkan seseorang. Namun, demi sebuah ikatan yang disebut hutang budi, maka dirinya harus bersedia mengikuti apa pun permintaan McKenzie brother padanya. Seperti saat ini. Sambil memasang wajah datar, lelaki itu tetap melangkah menghampiri kedua kakak-beradik McKenzie di depannya. “Dar-“ Ucapan Jonathan terhenti saat Darren melemparkan tatapan membunuh padannya. Pria itu hanya mampu menepuk bahu Darren. Lantas Jonathan memindahkan pandangannya pada Dylan. “Dylan, kurasa Darren belum siap. Traumanya tak bisa disembuhkan dan dia lebih memilih untuk tenggelam dalam rasa sakit itu. Jika itu pilihan hidupnya, maka tak ada seorang pun yang bisa mengganggu gugat. Apa pun alasanmu. Bahkan jika niatmu baik. Kau tetap salah di mata seseorang yang punya trauma yang tak pernah kau alami,” ujar Jonathan. Dylan mendesah lalu melempar tatapannya ke bawah. Kedua lengannya yang panjang melemas dan terlempar pada kedua sisi tubuhnya. Dylan menganggukkan kepalanya lambat-lambat. “It’s okay,” gumam Dylan. Perlahan-lahan, dia kembali mengangkat wajahnya. Bibirnya mengerucut memandang Darren dengan pandangan lembut. “I’m sorry, Dar.” Dylan menepuk pundak adiknya. Mulut Darren terbuka. Dia memalingkan wajahnya ke samping untuk melepaskan desahan panjang. “Maaf telah menyakiti perasaanmu,” ucap Dylan. Darren kembali membawa atensi penuhnya kepada Dylan. Sang kakak mendelikkan kepalanya menunjuk mobil sport miliknya. “Kalian boleh pergi,” ucap Dylan. Darren tak menunggu lama. Wajahnya masih tampak menyimpan amarah. Dengan napas kasar, pria itu memutar tubuh. Melangkah dari tempatnnya. “Ayo Jo,” ucap Darren. Jonathan tak langsung memutar lutut. Pria itu memilih untuk menatap Dylan sekali lagi. Dylan mengangguk. Memberikan izin. Jonathan maju lalu menepuk sebelah bahu Dylan. “I’m sorry, Bro!” Dylan mengangguk singkat. “It’s okay. Bukan salahmu. Pergi dan hibur dia.” Sambil mengulum bibir membentuk senyum simpul, Jonathan menganggukkan kepalanya. “JO!” Teriakan itu membuat Jonathan memutar tubuhnya dan melesat dari sana. Jonathan masuk ke dalam mobil dan tepat di samping kursi kemudi, ada Darren yang sedang duduk dalam posisi tak tentram. Hidungnya kembang-kempis melepaskan napas kasar. Jonathan hanya bisa mendesah. Entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang seolah ingin berteriak pada Darren. Pria itu masih tak terima kalau Darren melecehkan Selena. Setelah kejadian malam itu, Jonathan tak bisa tertidur nyanyak. Setelah pulang dari kelab malam, Jonathan tak bisa memejamkan matanya dan semalaman merutuki dirinya di samping tempat tidur. Sejak saat itu, Jonathan terus uring-uringan dan dia mulai tidak betah berada di dekat Darren. “Darren, bisakah aku langsung pulang setelah mengantarmu ke apartemen?” tanya Jonathan. Darren memutar pandangannya. “Kau sakit?” tanya pria itu. Jonathan menggeleng singkat. “Aku hanya ingin istriahat,” kata Jo. Darren menghela napas lalu memalingkan wajahnya keluar jendela. Pria itu tak menyahut. Suasana hatinya masih sangat kacau. Namun, sebenarnya ada sedikit perasaan yang tersisa di sana. Memikirkan wajah seorang gadis. “Berhenti!” pekik Darren. Jonathan langsung menginjak pedal rem lalu memutar pandangan kepada Darren dengan mata lebar. Tampak wajah Darren menegang. Kedua matanya membesar. “Ada apa, Dar?” tanya Jonathan, panik. Darren memutar wajahnya dan memandang Jonathan dengan mata nyalang. “Putar balik!” titah Darren. “What?” “Kubilang putar balik, Jo!” Jonathan mendengkus. “Kau yakin?” tanya pria itu. Sedikit ragu. Darren mengangguk. “Putar balik sekarang!” titahnya. Jonathan melakukan apa yang diperintahkan Darren. Pria itu kembali menyalakan mesin dan memutar kemudi. ‘Tak akan kubiarkan kepar^t itu,’ batin Darren. Seketika dia merasakan nyala api yang seperti membakar seantero tubuhnya. ‘Tidak. Kalian harus diberi pelajaran.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN