17. One And Only

2487 Kata
“Apa?!” pekik Kirana. Selena masih menangis tersedu-sedu. Saat tiba di apartemen, dia juga kaget mendapati sahabatnya berada di rumah. Tak ada jalan lain selain menceritakan semua yang telah ia alami pada Kirana. “Anj*ng!” maki Kirana. Gadis itu mendengkus lalu memalingkan wajahnya ke samping. Mulut Kirana terbuka dengan pandangan berang wanita itu mengangguk-anggukan kepalanya. “Pers*tan dengan managermu dan pers*tan juga dengan pria yang telah melecehkanmu.” Kirana tiada henti mendengkus. Juga memaki. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Seketika pikirannya berkecamuk. Dia tahu gadis seperti apa Selena itu. Selama ini Selena selalu menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita Timur. Berbeda dengan Kirana sendiri yang seolah tak peduli dengan kehormatannya. “Gak, Len. Gue gak bisa biarin ini,” kata Kirana. Gadis itu mondar-mandir di samping kursi persegi panjang tempat Selena berbaring. “Bakalan gue habisin tu laki-laki.” Lanjut Kirana. Dia mendengkus. Dengan cepat Kirana berjalan lalu meraih ponselnya yang ia titipkan di atas meja. Hidungnya kembang-kempis melepaskan napas kasar. Sementara jemarinya bergerak mengutak-atik ponselnya. Wanita itu mendesah saat mendapatkan nama Sir Edmund di bagian kontaknya. Kirana tak menunggu waktu lama untuk menekan tombol dial untuk menghubungi kekasihnya itu. “Hello, my Dear,” sapa suara bass berat di seberang sambungan telepong. Kirana kembali mendengkus. “Hai, maaf mengganggumu. Aku butuh bantuan.” “Ada apa?” Suara Mr. Edmun terdengar panik. Kirana tertawa kecil agar membuat pacarnya itu tak khawatir. “Aku perlu anak buahmu untuk membunuh seseorang.” “Why?” “Selena dilecehkan.” “What?!” pekik Mr. Edmun. “How come?” “Ceritanya panjang, Sayang. Aku akan menceritakannya saat kita bertemu, tapi sekarang aku sangat butuh bantuanmu. Ak-“ Ucapan Kirana terhenti ketika Selena menarik ponsel di dalam genggaman Kirana. Gadis itu langsung menekan icon merah. Memutuskan sambungan telepon. “What the hell!” Kirana mencondongkan wajah dengan dahi yang terlipat dan kening yang melengkung ke tengah. “Apa-apaan kamu, Ra. Kamu gak seharusnya certia ke Mr. Elliot!” protes Selena. Kirana mendengkus dan berdecak kesal. Wanita itu berkacak pinggang. “Lu pikir gue bisa tenang. Duduk dengerin curhatan lu sambil ngasih tisu buat lapin aer mata lu?” Kirana menggelengkan kepala. “Lu dilecehkan, Len. Kalau ada yang bisa gue lakuin buat membalas si bajing*n itu, bakalan gue lakuin. Sekarang kembalikan hape gue,” ujar Kirana. Dia berusaha mengambil ponselnya yang berada dalam genggaman tangan Selena, tetapi gadis itu lebih dahulu menepis tangan Kirana. “Gak!” bentak Selena. Matanya terlihat sembap. Wanita muda itu menggelengkan kepalanya. Menolak apa pun yang hendak dilakukan Kirana. “Kamu gak boleh melakukan apa-apa, Kirana. Apalagi meminta Mr. Elliot melakukan kejahatan. Apa kau bilang padanya? Membunuh seseorang?” tanya Selena dengan kening yang mengerut. “Ck!” Kirana mendelikkan matanya ke atas. “Siapa yang mau kamu bunuh, Kirana?” “Tentu saja bajing*n itu, Selena. Siapa lagi menurut kamu?!” Kirana menaikkan nadanya setengah oktaf. Selena menggeleng lagi. “Kamu gak tahu siapa dia, Kirana. Mereka menyebutnya miliarder. Kau pikir dia juga tidak punya kekuasaan seperti sir Edmun?” Kirana kembali berdecak. “I don’t fu’cking care, Selena! Selagi dia bisa mati dengan peluru, maka aku akan melakukannya. Bahkan dengan tanganku sendiri!” jerit Kirana. Selena menggelengkan kepalanya berulang kali. “No,” katanya dengan suara rendah. Dia berjalan menghampiri Kirana lalu memeluk gadis itu. Selena bisa merasakan emosi yang seakan menguar dari tubuh sahabatnya. Dia tahu wanita seperti apa Kirana itu dan betapa dia kadang impulsif. “Kamu gak bisa seperti itu, Kirana. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Dan tolong jangan libatkan orang lain,” bujuk Selena. “Aku gak bisa tahan, Selena. Kamu satu-satunya keluargaku dan aku sangat menyayangimu.” Selena mengangguk. Dia melepas pelukannya. Selena menatap Kirana dengan mata berkaca-kaca. “Aku tahu, Kirana.” Suara Selena berubah bak decitan tikus. Wanita itu menelan ludahnya. Membiarkan cairan bening keluar dari matanya yang makin terasa perih. “Selena ….” Kirana mendesah. Dia menarik tubuh sahabatnya lalu memeluknya erat. “Ya Tuhan, kenapa harus lo yang ngalamin semua ini, Selena? Gue gak pernah perduli dengan diri ini, tapi kalau menyangkut tentang lo, gue akan sangat khawatir dan ini udah keterlaluan, Len. Gue gak bisa tinggal diam.” “Ya …,” gumam Selena. Dia makin mempererat pelukan. Selena mengecup pipi Kirana lama-lama. Kirana tak dapat menahan cairan di antara pelupuk matanya yang memaksa untuk dimuntahkan. Wanita itu menangis. Hatinya bagai diremas. Selena sudah seperti saudara kandungnya. Dia bahkan masih mencari tahu tentang masalah yang dihadapi oleh keluarga Mahendra dan sekarang Selena kembali ditimpah masalah. Oh ya Tuhan, gadis batin Kirana mengerang kesakitan. “Ini gak bisa dibiarin, Len,” gumam Kiranda dengan nada lirih. “Ya …,” lirih Selena. “Tapi kita gak punya kekuatan, Kirana.” “Maka lo harus biarin gue bantu lo, Len.” Selena mengulum bibir membentuk senyum simpul. Gadis itu kembali menarik dirinya. Dia mendongak. Membawa kedua ibu jarinya menghapus air mata Kirana dan Kirana pun melakukan hal yang sama pada Selena. “Tapi aku tidak mau membalas kejahatan yang dilakukan pria itu dengan kekerasan. Apalagi kalau sampai membunuhnya.” Selena menggeleng. “Semua itu malah akan menambah masalah baru, Kirana. Apa kamu pikir membunuh pria itu akan meloloskan kita?” tanya Selena dan dia kembali menggeleng. “Tidak ada yang akan selamat dari kejahatan, Kirana.” “Lalu apa? Kamu memilih untuk diam dan menangisi kegadisanmu?” Selena makin mengulum bibirnya. Dia menunduk sekilas. Tampak menarik napasnya dalam-dalam, Selena menutup matanya beberapa detik kemudian mengangkat pandangannya lagi menatap sahabatnya. “Aku yakin jika pria itu akan mendapatkan karmanya.” Kirana terkekeh sinis. Dia memutar bola mata lalu kembali melayangkan kedua tangan ke udara. “Ayolah, Selena. Ini Amerika. Pepatah seperti itu tidak berlaku di sini,” ucap gadis itu dengan nada sarkastik sedikit mencemooh. Namun, Selena tetap memberikan senyum terbaiknya. Dia juga tahu kalau pepatah itu memang tak akan berlaku di sini. Ya. Kirana benar. Ini Amerika. Hatinya pun hancur berkeping-keping, tetapi Selena harus pura-pura terlihat kuat dan menerima semua ini agar supaya Kirana tidak melakukan tindakan gegabah. “Percaya atau tidak, aku yakin Tuhan gak akan tutup mata. Bahkan jika di Indonesia, aku juga gak bisa berbuat apa-apa. Mau lapor pun, aku gak punya bukti,” ucap Selena dan dia kembali menghela napas. Embusan yang keluar dari mulutnya terdengar berat wanita itu kembali melanjutakn ucapannya, “kamu gak bisa mengharapkan bantuan manusia, Kirana, tapi aku sangat yakin kalau Tuhanku gak akan tutup mata.” Lagi-lagi Kirana berdecak kesal. “Terserah lo deh!” celetuk gadis itu. Kirana melipat kedua tangan dengan kasar di depan d^da. Sambil mendengkus, dia memutar lutut. Berjalan menghampiri sofa dan dengan kasar dia membanting tubuhnya di sana. Selena ikut memutar tubuhnya. Dia mendesah. Dengan wajah memelas, dia menghampiri Kirana. Gadis itu memperhatikan wajah Kirana dari samping. “Apaan si!” sinis Kirana. Selena menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Dia mengangkat kedua tangan Kirana lalu ikut membanting tubuhnya. Gadis itu menaruh kepalanya di atas paha Kirana. “Usap rambut gue dong,” pintah Selena. Gadis itu berusaha mengesampingkan masalahnya. Kirana mengamuk dan itu tidak baik. Selena harus mencari cara untuk mengembalikan suasana hati sahabatnya itu. “Lu pikir gue babu!” “Dih, gitu aja marah. Ayo dong ….” “Gak ah!” “Buruan … ‘ntar gak gue masakin rendang lagi.” Kirana melempar tatapan nyalang pada temannya itu. “Lu pikir rendang lu terenak sejagad raya?!” tanya gadis itu. Selena memberengut dan mengangkat kedua bahunya. “Anj*ng,” maki Kirana. Wanita itu kembali mendengkus. “Satu … dua … tiga … emp-“ Ucapan Selena terhenti saat Kirana kembali menatapnya. Selena memberikan tatapan memelas bak seekor anak anjing yang kini tampak menggemaskan. “Anj*ng lo ya.” “Iya dong,” balas Selana. “Aku kan imut kayak anak anj*ng.” “Dih!” “Dah dih dah dih. Buruan deh ….” Kirana berdecak kesal. Sambil menelengkan wajah ke samping, gadis itu mulai menurunkan tangan. Mengelus kepala Selena dengan lembut. “Gitu dong …,” gumam Selena. Dia masih terus menatap Kirana walau gadis itu seolah tak sudi lagi menatapnya. “Ra, kamu tahu gak, seberapa beratnya masalah yang aku hadapi, saat aku cerita ke kamu aku selalu merasa lega. Tapi, kadang aku takut juga sama kamu yang impulsif.” “Apa?!” pekik Kirana. Dia menatap Selena dengan pandangan sinis. Selena mengulum bibir dan mengangguk. “Kamu kadang bertindak sesuka hati. Gak peduli dengan resiko yang bakalan kamu dapat. Bukannya aku gak suka, tapi aku lebih memikirkan keselamatan kamu, Kirana. Kamu satu-satunya yang aku miliki di sini. Kamu sudah kuanggap sebagai kakakku.” “Bullshit, Lu!” Kirana kembali memalingkan wajahnya. “Beneran, Ra. Kamu benar. Pertemanan kita sudah sangat lama dan hanya kamu satu-satunya sahabat yang benar-benar terus berada di dekatku. Sejak dulu. Aku inget dari SMP kamu paling benci sama anak-anak yang melakukan bullying. Gak semua orang berani kayak kamu dan kamu gak pernah perduli dengan semua serangan yang datang ke kamu. Waktu itu kamu juga yang deketin aku duluan dan aku sangat beruntung. Sampai kita dengan begitu berani mengambil langkah lebih jauh dengan datang ke New York, kamu tahu gak apa yang dikatakan bunda?” Kirana mengedikkan kedua bahu. Tampak tak peduli dengan ucapan sahabatnya. “Bunda gak akan khwatir kalau kamu sama Kirana. Bunda yakin dia bakalan jagain kamu,” kata Selena. Kirana mendesih sinis. “Tapi buktinya gue gak bisa jagain lu, Len. Kalau gue bisa, gak akan terjadi masalah kayak gini. Dan kalau bunda tahu gue malah sibuk ngejar laki, pasti bunda akan langsung kirim tiket pulang ke elu,” ujar Kirana. Wajahnya makin berubah masam. Selena menghela napas. Mengulum bibir lalu menarik dirinya. Gadis itu duduk menghadap Kirana. “Kadang aku merasa sangat egois. Kayaknya Cuma kamu yang peduli sama keadaan aku. Dan yang kulakukan hanya menanyakan kabarmu, kabar sir Edmun, gimana hubungan kalian.” Selena mendesah. “Kadang aku juga pengen kayak kamu, Ra.” Kirana lalu memutar wajahnya. Keningnya kembali mengerut. “Apaan? Jadi piaraan om-om?” Selena menggeleng. “Bukan itu,” katanya. Dia meraih tangan Kirana lalu menggenggamnya dengan erat. “Maksudku, aku juga ingin berani seperti kamu. Bersikap spontan dan berani mengambil resiko.” Kirana berdecak kesal. “Jangan gila-gila deh,” kata gadis itu. “Cukup gue aja yang gila. Lu jangan. Kalau kita sama-sama gila, bakalan berakhir di penjara.” “Gak apa-apa, asalkan satu sel sama kamu.” Kirana langsung memutar pandangannya. “Dih! Lu emang plin-plan. Udah plin-plan, d***u lagi. Lu bilang gak boleh berbuat jahat nanti masuk penjara. Ini malah doain biar satu sel. s***p emang!” kata Kirana. Dia menggelengkan kepala. Bicaranya memang sarkas, tetapi hanya Selena yang bisa melihat kasih yang besar di balik kalimat dan nada sarkasme itu. Walau bicaranya kasar, tapi Kirana punya kasih besar yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang selalu berbicara lembut dan menjaga perasaan lawan bicaranya. “Ya kalau kamu dipenjara aku ikut lah. Aku kan takut bobo sendiri,” ucap Selana sambil mendekatkan dirinya hendak memeluk Kirana. “Dih gila! Lu aja sono, gua mah ogah!” Kirana melawan. Dia mendorong tubuh Selena. “Pergi lu! Dih apa-apaan deket-deket. Kita putus,” ucap gadis itu dengan kedua sudut bibir yang berkedut menahan tawa. Selena tak menjawab dia terus mendekat. Gadis itu memutar tubuhnya lalu merentangkan kedua tangan. Sementara Kirana masih terus menggeram di bawah tubuh Selena. “Gue jual lu ya!” Kirana terus berucap. “Oh … dasar bangke, lu ya!” Kirana tak tahan untuk menjahili temannya. Dia membawa kedua tangan menggelitik perut Selena seketika membuat Selena menarik dirinya. “Kirana!” pekik Selena. “Bodo!” Kirana tak peduli dan dia makin asyik menggelitik perut Selena membuat gadis itu tertawa terbahak-bahak. “Ampun … ampun,” kata Selena di sela-sela tawanya. Tangannya bergerak berusaha menghalangi tangan Kirana, tapi semua itu tak mumpan. Kirana malah makin asyik. Mereka tertawa hingga terpingkal-pingkal. “Ah, gilak! Capek banget gelitikin anak beruang,” keluh Kirana. Dia menjauhi tubuh Selena lalu membanting punggungnya ke armrest. Selena ikut mengangkat tubuhnya lalu menindih tubuh Kirana sekali lagi. “Eh set^n berdiri, lu!” maki Kirana. Selena tak peduli. Dia malah terus menindih tubuh sahabatnya itu. Kirana kembali menggeram. “Terima kasih banyak, Kirana. Berkat kamu, aku udah gak sedih lagi. Kamu memang terbaik.” Kirana mendesah dan melilitkan kedua tangannya lalu menguncinya di depan perut Selena. “Kamu beneran yakin gak mau balas dendam?” tanya Kirana. “Biarkan itu menjadi urusan karma,” ucap Selena dan dia memutar tubuhnya. “Kita makan aja yuk, aku lapar abis nangis.” Kirana terkik. “Eh anak set*n, bukannya lu lagi sakit hati?” Selena menganggukan kepalanya. “Emang kalo sakit hati gak bisa lapar?” goda Selena. Kiran kembali tertawa. “Elu emang absurd, Selena.” “Tapi lu sayang, ‘kan?” “Iya,” jawab Kirana. “Saking sayangnya pengen gue kawinin lu.” Selena langsung bangkit. Gadis itu memeluk tubuhnya. Dramatis. “Gue lupa kalo lo ada kemungkinan ngidap penyakit biseksual,” kata Selena. Tawa Kirana pecah. “Anj*ng!” maki gadis itu di sela-sela tawanya. Selena bergidik lalu melesak dari tempat duduknya. “Dih! Ngeri ah,” kata gadis itu dengan sengaja. “Udah ah, buruan panasin rendang. Gue laper!” seru Kirana. Selena berjalan menuju mini kitchen. Kirana memutar tubuhnya menghadap Selena. “Oh ya, Sel, itu handuk punya siapa?” Selena memutar pandangan dengan kening yang mengerut. Wanita muda itu mengikuti arah tatapan Kirana yang menunjuk ke arah meja makan. Di situ dia melihat handuk kecil berwarna gelap. ‘Itu kan punya Jonathan,’ batin Selena. “Apa ada yang datang tadi?” Selena menggoyangkan kepalanya menarik kesadaran. Mendadak dia jadi ingat dengan pria itu. Ya. Selena bersyukur Jonathan datang di waktu yang tepat, tetapi Selena juga penasaran dengan sifat Jonathan yang seperti ingin melindungi Darren. ‘Apa mereka saudara?’ batinnya lagi. “Len?” Panggilan Kirana membuyarkan lamunan Selena. Dia kembali membawa atensi penuhnya kepada Kirana. “Itu … itu … milik supir taksi,” dustanya. Selena melihat kening Kirana yang mengerut membuatnya memaksa senyum simpul di wajah. Selena kembali memutar tubuhnya menghadap kompor. Bergegas dia menaruh wajahn lalu melesat menghampiri kulkas. Sementara Kirana menghela napasnya lalu bangkit dari tempat duduk. Dia berjalan menghampiri Selena yang tampak begitu gugup. “Beneran?” tanya Kirana. Selena bisa merasakan tatapan menyelidik dari Kirana yang seakan menusuk punggungnya. “Iya lah. Ngapain juga gue bohong,” jawab Selena. Kirana memberengut. “Kalau punya supir taksi gue buang aja ya.” “Jangan!” teriak Selena. Sudut bibir Kirana terangkat membentuk seringaian. Perlahan, dia kembali memutar tubuh. Masih sambil memegang handuk di tangannya, wanita itu memberikan tatapan penuh curiga kepada Selena. “Then talk me the truth,” kata Kirana. Selena mendesah sampai kedua pangkal bahunya ikut bergerak lalu melemas. “Nanti gue certain pas makan deh,” kata Selena. Kirana memberengut dan mengedikkan setengah bahu. “Oke, let’s move to the next story,” kata Kirana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN