PART. 3 SABAR

1093 Kata
Elang sudah pulang, Devita membersihkan meja dari bekas minum, dan cemilan mereka. Baru saja ia ingin menutup pintu, ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahnya. Devita mengurungkan niatnya untuk menutup pintu, dilihatnya seseorang turun dari dalam mobil, lalu berbicara dengan Pak Husni, Satpam rumahnya. Pak Husni tampak menunjuk ke arah kanan rumah, orang itu mengikuti arah yang di tunjukan Pak Husni. Orang itu menatap ke arah Devita, Devita juga sempat menatapnya, orang itu menganggukan kepalanya, Devitapun mengangguk juga. Lalu orang itu terlihat membungkuk pada Pak Husni, tampaknya ia mengucapkan terimakasih karena Pak Husni sudah menunjukan alamat yang dicarinya. Devita masuk ke dalam, pria itupun masuk ke dalam mobilnya, lalu menjalankan mobilnya, menuju rumah yang dicarinya. Devita duduk di tepi ranjang, setelah menggosok gigi, mencuci tangan, dan kakinya. Ia tersenyum, mengingat obrolannya yang ngalor ngidul tapi menyenangkan bersama Elang tadi. Belum pernah ia bicara sesantai tadi, karena selama ini ia tidak punya kesempatan untuk itu. Selama ini hidupnya dikuasai oleh maunya Devira, ia tidak boleh punya maunya sendiri. Devita hanya bisa menurut, karena ia tahu pasti akan janji orang tuanya dulu. Janji saat Devira sekarat karena kecelakaan, orang tua mereka berjanji akan meluluskan semua keinginan Devira, kalau Devira bisa terbangun dari komanya. Janji itulah yang membuat Devita harus ikut memenuhinya. Devita harus merelakan hidupnya demi membantu memenuhi janji orang tuanya. Bagi Devita, apapun yang bisa membuat orang tuanya bahagia, itulah yang harus dilakukannya. Tidak perduli betapa berat apa yang harus dijalaninya. Bagi Mami mereka, mungkin hanya Devira putrinya, karena Maminya mencurahkan seluruh cinta, dan perhatian hanya untuk kebahagiaan Devira. Beruntung Papinya masih memberikan cinta dan perhatian pada Devita. Papi mereka tidak pernah lupa pada Devita, apapun yang dia beli untuk Devira, Devita akan mendapatkan hal yang sama. ***** Devita terlonjak bangun, karena suara gedoran di pintu kamarnya, dan teriakan Devira memanggil namanya. Cepat Devita turun dari atas ranjang, dan membuka pintu kamarnya untuk Devira. "Tidur, atau mati sih! Atau kamu mulai tuli, Vita!" Devira berdiri dengan bertolak pinggang di depannya. "Maaf, Kak." Devita hanya mampu mengatakan itu. "Tadi Elang ke sinikan!?" Tanya Devira dengan suara, dan tatapan tajam. "Iya" Devita menganggukan kepalanya. "Dia bicara apa?" "Hanya bicara tentang kelanjutan pendidikannya." "Hanya itu!" "Iya Kak." "Lihat aku Vita, jangan coba-coba berbohong kepadaku!" Devira mencengkeram dagu Devita dengan tangannya, wajah Devita mengarah pada Devira. Tatapan mereka bertemu. "Katakan dengan jujur, jangan bohong!" Devira masih menatap Devita dengan tajam. "Dia, Elang, hanya mengungkapkan isi hatinya," jawab Devita terbata. "Dia mengatakan kalau dia mencintaimu!?" "Iya, Kak." jawab Devita jujur, meski dengan perasaan takut. "Apa kamu menerima cintanya?" "Tidak Kak, aku menolaknya." Kepala Devita menggeleng. Mendengar jawaban Devita, barulah Devira melepaskan wajah Devita dari cengkeramannya. "Bagus, kamu tahukan, kalau aku menyukai Elang. Dan kamu tahu itu artinya apa, artinya kamu tidak boleh memiliki apa yang aku inginkan, paham!?" "Aku paham, Kak." Devita menganggukan kepalanya. "Bagus!" Devira berbalik lalu pergi dari ambang pintu kamar Devita. Devita masih tertegun di tempatnya, diusap rahangnya yang terasa sakit bekas cengkeraman Devira. Perlahan Devita menutup pintu kamar, lalu ia duduk di meja belajar, diambil buku diarinya, dituliskan curahan isi hatinya di atas kertas berwarna biru muda bergambar pelangi. Devitaselalu suka dengan pelangi, baginya pelangi simbol keindahan, simbol harapan yang akan datang, setelah redanya hujan. Meski tidak setiap hujan pelangi akan datang, tapi Devita percaya, dalam setiap penderitaan, pasti akan datang kebahagiaan di suatu saat nanti. Devita percaya, indah pasti akan datang pada waktunya, asal ia selalu sabar, dan tulus menjalani hidupnya, sesakit apapun jiwa, dan raganya. Devita percaya kalau Allah menyayanginya, dengan memberinya ujian di dalam hidup, ia yakin Allah tidak akan memberikan ujian melampaui batas kemampuannya. Devita beranjak dari kursi, lalu kembali membaringkan tubuh di atas ranjang. Ia mencoba untuk kembali tidur. ***** Usai sholat subuh, Devita membantu Bik Hindun di dapur untuk menyiapkan sarapan, sementara Mbak Janah mencuci pakaian di belakang. Obrolan ringan terjadi antara Bik Hindun dengan Devita, Bik Hindun menggoda Devita yang disebutnya di apeli Elang tadi malam. "Bibik penasaran Non, seperti apa wajahnya pacar Non Vita." "Bukan pacar, Bik. Teman sekolah." "Sekarang baru jadi teman sekolah, nanti kalau sudah lulus jadi pacar ya Non." "Bibik iih, yang suka sama Elang itu Kak Devira, Bik. Bukan Vita," sahut Vita, Bik Hindun menatap Devita, ia mendengar nada kesedihan dalam suara Devita. Bik Hindun sangat tahu, jika Devira sudah menginginkan sesuatu, maka Devita tidak akan pernah bisa memilikinya juga, Devira tidak suka disaingi, dan tersaingi oleh Devita. Jika Devira sudah bosan dengan sesuatu itu, maka ia akan memberikan apa yang menjadi bekasnya pada Devita. "Non sendiri tidak suka pada Mas Elang?" Tanya Bibik menyelidik, Bibik ingin memastikan saja tentang dugaannya. Devita menggeleng, meski bibirnya tersenyum, tapi Bik Hindun yakin, kalau Devita juga menyukai Elang. "Sabar ya Non, orang baik seperti Non, pasti akan mendapatkan cinta yang terbaik. Yakinlah Allah sudah mempersiapkan itu untuk Non." Bik Hindun mengusap punggung Devita lembut. "Aamiin, terimakasih Bik. Akupun yakin, semuanya akan indah pada waktunya, aku hanya perlu sabar, dan tabah menjalani semua ini." "Ingat Non, masih ada Allah untuk tempat Non berkeluh kesah, Allah Maha Mendengar, insyaAllah doa-doa Non suatu saat akan dijabah oleh Allah, aamiin." "Aamiin, terimakasih Bik. Terimakasih mau menyayangi, dan memperhatikan aku. Aku sayang Bibik." "Bibik juga menyayangi Non." Devita, dan Bik Hindun sama-sama menghapus air mata yang meleleh di pipi mereka. Bik Hindun tahu benar ketidak adilan yang diterima Devita dari Mami, dan Kakaknya. Hanya Papinya yang masih punya kasih sayang, dan perhatian pada Devita. "Ingat Non, orang sabar di sayang Allah." "Aamiin, doakan aku bisa selalu sabar, dan tabah ya Bik." "Insya Allah, Non. Bibik percaya Non mampu." Bik Hindun menghapus air mata di pipi Devita, Devita menyandarkan kepalanya di bahu Bibik. Ia menumpahkan tangisnya sesaat. "Masak apa kita pagi ini, Bik?" Hanya sesaat Devita larut dalam kesedihan, ia sudah kembali ceria. Dihapus air matanya, raut sedihnya sudah berganti dengan keceriaan. Bik Hindun tersenyum menatapnya. Sebait doa ia panjatkan di dalam hati untuk kebahagiaan Devita. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN