Book 2 PART. 10 BUKAN TENTANG CINTA

1059 Kata
Arya yang datang bersama Pak Muin mendekati Aisah, Pak Kifli, Bik Asnah, dan Kahfi. "Paman dan Acil juga Kahfi bisa beristirahat di hotel, biar ulun yang menemani Aisah di sini" ucap Arya. Pak Kifli saling pandang dengan istrinya. Acil Asnah menganggukan kepala, lalu mereka berdua berdiri diikuti Kahfi. "Pak Muin bisa istirahat di kamarku, biar yang lain istirahat di kamar Abah" ucapan Arya yang menyebut Pak Ipin dengan panggilan Abah membuat semua orang yang ada di hadapannya menatap ke arahnya. Arya menyunggingkan senyum manis di bibirnya, lalu berucap. "Abahmu sudah menerima lamaranku, Aisah. Pernikahan kita akan dilakukan besok" ucap Arya menjelaskan. Kali ini semua terperangah mendengar ucapan Arya. "Besok?" Tanya Aisah bernada gumaman. "ya, aku harap Paman Kifli dan Pak Muin tidak keberatan untuk menjadi saksi" ucap Arya dengan nada memohon. Semua terdiam, masih belum yakin dengan apa yang diucapkan Arya. "Ayahmu yang akan menikahkan kita." Ucap Arya mantap. Pak Kifli dan istrinya saling pandang. "Kenapa harus begitu tergesa-gesa?" tanya Pak Kifli. "Bukankah niat baik harus disegerakan, Paman? Aku tidak ingin keberadaanku di sini jadi fitnah. Kami menikah siri dulu, setelah keadaan mama membaik, baru aku akan mengurus surat untuk meresmikan pernikahan kami" jawab Arya. Pak Kifli menarik napas panjang. "Aku siap untuk menjadi saksi" ucap Pak Kifli akhirnya. "Pak Muin?" tanya Arya pada supirnya. "Saya siap Mas" jawab Pak Muin. "Terimakasih, sekarang sebaiknya Paman sekeluarga beristirahat saja dulu, biar aku dan Aisah yang menunggu di sini" "Ya, terimakasih Nak Arya. Aisah kami pergi dulu ya" pamit Pak Kifli. "Ya Paman" "Assalamuallaikum" "Walaikum salam" Aisah dan Arya menjawab berbarengan. Mereka berdua menatap kepergian keluarga Pak Kifli dan Pak Muin. Setelah mereka menghilang, Aisah dan Arya duduk di kursi. Keduanya terdiam, tidak ada yang mencoba memulai bicara. Kepala Aisah tertunduk dalam, ada rona merah menjalari wajahnya. Arya juga hanya diam, pandangannya lurus ke depan, seakan ia tengah menatap masa depannya. "Besok pagi.. " "Jam berapa.. " Keduanya berbarengan mengangkat suara. "Aa duluan.. " "Kamu duluan.. " Kembali mereka bersamaan untuk memulai berbicara. Keduanya saling pandang, senyum mengembang di bibir keduanya. Wajah Aisah yang merah merona tertunduk dalam, dengan senyum tersipu di bibirnya. "Besok kita pergi sebentar, untuk membeli cincin dan mahar. Kamu ingin maharnya apa, Aisah?" Arya menatap Aisah yang kepalanya masih tertunduk. "Mukena dan sajadah saja Aa" jawab Aisah dengan suara lirih. Arya memperhatikan jemari Aisah yang terjalin di atas pangkuan. Sikap tenang Aisah membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya. Arya tidak bisa menebak apa yang tengah dipikirkan ataupun dirasakan Aisah saat ini. Meski ia sempat melihat rona merah di wajah Aisah, tapi sorot mata Aisah dan sikapnya tidak menunjukan isi hatinya, apakah Aisah sedih ataukah bahagia, Arya tak mampu menyelaminya. "Aku harap kamu tidak menyesali keputusanmu untuk menerima lamaranku, Ais. Karena kamu pasti tahu, meski ini bukan pernikahan sesungguhnya, tapi kita tetap harus menghadapi kedua orang tuaku. Aku minta padamu, bantu aku menghadapi mereka" ujar Arya. Aisah mengangkat wajahnya, ditatapnya Arya yang tengah menatapnya. "Kalau ulun boleh tahu, sampai kapan perjanjian pernikahan ini? Apakah ada batas waktunya? Maaf kalau ulun menanyakan hal ini." Arya membalas tatapan mata Aisah, Aisah membuang pandangannya ke depan. "Apa ada seseorang yang kamu harapkan untuk menjadi teman hidupmu, Aisah?" Pertanyaan Arya membuat tatapan Aisah kembali pada Arya. Tapi wajah Aisah kembali tertunduk dalam, ia hanyalah gadis biasa, yang juga punya suami impiannya. Yang taat pada agamanya, yang akan bisa menjadi imam bagi dirinya dan anak-anaknya kelak, yang bertanggung jawab dan akan mencintai sepenuhnya. Sosok itu ada di dalam hidupnya, namun ia tahu sulit untuk menggapainya. Ahmad Zakir namanya, kakak dari Ainun Zakiah, teman sekolahnya. Ada kekagumam yang disimpan Aisah pada Zakir, pria 22 tahun yang saat ini masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin. Tapi Aisah hanya menyimpan dalam-dalam perasaannya, ia sadar siapa dirinya, siapa Zakir yang merupakan anak orang terpandang di kampungnya. "Aisah" panggilan Arya membuat Aisah kembali dari lamunannya. "pun (ya) " "Kamu punya pacar?" Aisah cepat menggelengkan kepalanya. Ia memang tidak punya pacar. "Lalu kenapa kamu bertanya soal tadi?" Aisah mengangkat wajahnya, ditatapnya Arya, pandangan mereka bertemu. "Jika Aa merasa pernikahan ini hanya perjanjian antar manusia, ulun rasa pasti ada masa kadaluarsanya. Berbeda jika Aa menganggap pernikahan ini adalah janji pada Yang Maha Kuasa. Maka akan ada usaha untuk mempertahankannya. Jujur saja, meski nantinya Aa hanya akan menganggap pernikahan ini bukan sesungguhnya, dan tidak melakukan tugas dan kewajiban Aa, tapi ulun akan tetap berusaha menjalankan kewajiban ulun sebagai istri Aa. Ulun tidak ingin berdosa karena sudah mempermainkan pernikahan. Tapi semua ulun kembalikan kepada Aa, apakah Aa mau menerima bakti ulun sebagai istri, ataukah tetap kukuh pada niat Aa yang menganggap pernikahan ini hanya sebagai sebuah perjanjian" ucap Aisah panjang. Arya terperangah mendengar ucapan Aisah. Arya menatap lekat wajah Aisah, wajah polos itu terlihat datar saja, tidak menyiratkan isi hatinya. "Apa kamu tidak keberatan disentuh oleh pria yang tidak mencintaimu, dan tidak kamu cintai, Aisah?" Tanya Arya bagai sebuah gumaman. "Bukan cinta yang memberi hak pada seorang pria untuk menyentuh seorang wanita, Aa. Tapi sahnya sebuah pernikahanlah yang memberikannya hak untuk itu." jawab Aisah dengan suara lembut namun mantap. Tatapan Arya semakin dalam, ucapan Aisah terdengar sederhana, namun membuat Arya merasa malu pada dirinya. Aisah yang begitu muda dalam usia, yang pasti tidak berpengalaman dalam hubungan antara pria dan wanita. Tapi memiliki pemikiran yang mendalam dalam hal itu. 'Bukan cinta yang memberi hak pada seorang pria untuk bisa menyentuh seorang wanita. Tapi pernikahan yang sahlah yang memberikannya hak itu. Saat banyak orang selalu berpikir dan bertindak atas nama cinta, tapi Aisah justru tidak meletakan cinta di atas segalanya. Apakah Allah memang sudah memilihkan Aisah untuk menuntunku kembali ke jalanNya. Tapi, apakah Aisah akan bisa menerimaku jika tahu seperti apa aku sebenarnya." "Apakah cinta tidak penting bagimu, Ais? Apa kamu tidak ingin menyerahkan dirimu kepada pria yang mencintaimu dan kamu cintai? Aku kira setiap gadis punya impiannya sendiri bukan?" Tanya Arya menyelidik. "Disaat ulun memutuskan untuk menerima lamaran pian. Disaat itu juga ulun sudah harus siap melupakan impian apapun tentang pria lain. Setelah menikah, di dalam hati ulun, di dalam kehidupan ulun, hanya boleh ada suami ulun. Tapi semua ulun kembalikan pada pian, akan dibuat seperti apa pernikahan ini nantinya." jawab Aisah dengan suara lembut namun bernada datar saja. Arya menatap mata Aisah, mencoba menyelami hati Aisah, namun sorot mata Aisah yang terlihat teduh, tidak menyiratkan apa-apa, selain hanya kelembutan yang membuat Arya merasa terhanyut di dalamnya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN