Semua surat-surat untuk proses akad nikah diurus oleh keluarga Lazuardi, keluarga Mahmud hanya menyerahkan berkas-berkas mereka saja. Akad nikah dilakukan di rumah keluarga Mahmud pada malam hari setelah sholat Isya, dan hanya dihadiri kedua orang tua mereka, Devita, Petugas KUA, dua orang saksi masing-masing dari pihak keluarga Lazuardi dan pihak pihak keluarga Mahmud.
Devita hanya mengenakan busana muslim berwarna putih yang modelnya cukup sederhana, juga hijab putih menutup kepalanya. Tidak ada bunga-bunga, tidak ada kue pengantin, tidak ada riasan seperti pada pengantin biasanya. Tidak ada meja hidangan, yang ada hanya hidangan biasa saja. Semua serba sederhana saja. Rama sendiri memakai satu stel pakaian berwarna putih. Meski serba putih yang melekat di tubuhnya, tapi wajahnya tetap dingin dan penuh misteri seperti saat mereka pertama kali bertemu.
Pernikahan ini sengaja dilakukan diam-diam, karena menurut Bu Radea, Rama tidak ingin ada yang tahu kondisinya saat ini.
Prosesi akad nikah berjalan lancar, tidak ada sesi kecup kening, hanya ada sesi Devita mencium punggung tangan Rama, itu saja.
Hanya Pak Zul, dan Bik Hindun yang meneteskan air mata haru untuk Devita, dan tampaknya hanya mereka berdua juga yang mendoakan agar Devita bahagia.
Devita sendiri terlihat sangat tegar, dan ikhlas menerima pernikahan yang pastinya bukanlah pernikahan seperti yang diimpikanny. Tidak ada air mata yang menetes di pipinya. Ia sangat tenang, wajahnya tanpa ekspresi yang menyiratkan isi hatinya.
Usai akad nikah, mereka menikmati makan malam yang disiapkan keluarga Mahmud. Setelah makan malam, petugas KUA pulang. Kedua keluarga terlibat obrolan sebelum keluarga Lazuardi memboyong Devita bersama mereka.
"Sebelumnya kami ingin menyampaikan, bahwa Rama dan Devita akan tinggal terpisah dari kami, karena rumah kami itukan selalu ramai dengan tamu dan keluarga yang datang silih berganti, sedang Rama perlu ketenangan dan kalau bisa tidak ingin ada orang lain yang tahu kondisinya saat ini. Jadi kami sudah menyiapkan rumah untuk mereka tempati. Sudah ada satu asisten rumah tangga dan supir yang akan melayani mereka. Rumahnya kami pilihkan agak dipinggiran kota, agar tenang suasananya" ucap Bu Radea. Bu Devina dan Devira saling pandang, itu artinya mereka tidak akan bisa keluar masuk istana keluarga Lazuardi dengan leluasa, karena kalau Devita tidak tinggal di sana, mereka tidak akan punya alasan untuk datang ke istana keluarga Lazuardi.
Pak Zul memeluk bahu putrinya.
"Tinggal di manapun sama saja, yang penting bersama suaminya, iyakan Sayang?" Pak Zul mengecup samping kepala Devita yang terbungkus hijab putih. Tampak mata Pak Zul berkaca-kaca.
"Iya, Pi" Devita menganggukan kepalanya. Ia berusaha tersenyum pada Papinya, agar Papinya tidak mencemaskannya.
"Kami ingin Vita berkonsentrasi untuk merawat Rama, agar Rama bisa segera sembuh, dengan rutin terapi, Rama pasti akan bisa berjalan lagi." Ujar Pak Malik. Devita menatap Rama yang hanya duduk diam tanpa ekspresi. Devita bisa memahami, menjadi lumpuh pasti bukan hal yang bisa diterima begitu saja, apalagi wajah Rama yang tampan itu mengalami luka bakar di bagian pipi kirinya. Pasti itu sangat mempengaruhi psikologis Rama. Devita berharap ia akan mampu memenuhi keinginan orang tua Rama.
*****
Devita sudah pergi bersama keluarga Lazuardi, Bik Hindun dan Pak Zul melepasnya dengan pelukan erat dan air mata. Sedang Bu Devina dan Devira tengah galau perasaannya, karena apa yang sudah mereka rencanakan dan harapkan gagal berantakan. Mereka tidak mungkin bisa menikmati kemewahan yang ada di rumah besar bak istana keluarga Lazuardi, karena Devita ternyata tidak akan tinggal di sana.
Devita dan Rama langsung diantarkan ke rumah mereka sendiri. Hanya butuh waktu satu jam mereka tiba di sana. Rumah mungil yang berada di pinggiran kota, jarak rumah satu dan rumah lainnya cukup jauh. Rumah itupun dipasang pagar di sekelilingnya. Devita menatap rumah itu, rumah yang akan membelenggunya, mungkin untuk seumur hidupnya. Ia akan terkucil dari orang lainnya, karena tugasnya hanya untuk mengurus Rama.
Kedatangan mereka di sambut oleh sepasang pria dan wanita yang usianya sekitar 40 tahun.
"Devita"
"Ya Tante"
"Bunda, jangan Tante lagi"
"Maaf, Bunda"
"Ini Ifin, supir merangkap tukang kebun dan jaga malam. Yang ini Arsiah, dia ini istrinya Ifin, dia yang akan membantumu di rumah ini. Mereka ini sudah cukup lama bekerja di rumah kami. Ifin, Siah, ini Devita, menantuku" Bu Radea memperkenalkan mereka.
Devita menganggukan kepalanya dan tersenyum pada keduanya. Kedua orang itupun tersenyum kepadanya. Bu Radea lalu membawa mereka masuk, Ifin membantu mendorong kursi roda Rama.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri!" Ujar Rama bernada dingin pada Ifin.
"Bawakan koper Devita masuk, Fin!" Ujar Pak Malik.
"Baik, Tuan" Ifin segera mengambil koper Devita dari tangan Seno, supir Pak Malik. Mereka masuk sampai ke ruang makan, lalu Bu Radea menunjuk sebuah pintu kamar.
"Ini kamar kalian" Bu Radea membuka pintu kamar perlahan.
"Siah, masukan pakaian Vita ke dalam lemari ya" perintah Bu Radea.
"Siap, Nyonya" Siah mengambil alih koper Devita dari tangan suaminya.
Bu Radea dan Devita masuk ke dalam kamar, sementara Rama dan Ayahnya tetap di luar kamar. Bu Radea menatap Devita, Devita tersenyum pada ibu mertuanya.
"Bunda berharap kamu bisa mengatasi sifat keras kepala Rama" ujar Bu Radea.
"InsyaAllah, Bunda"
"Kamu harus tahan banting Devita. Rama itu sangat keras kepala, dia juga jadi sangat sensitif, sejak kecelakaan itu menimpanya. Bunda menaruh harapan besar kepadamu" ucap Bu Radea. Devita menganggukan kepalanya, sudah terbayang dalam benaknya kalau kehidupannya tidak akan mudah sejak pertama kali ia bertemu dengan Rama.
Pak Malik dan Bu Radea akhirnya pergi, Siah sudah selesai memindahkan isi koper Devita ke tempat yang diinginkan Devita.
"Ada yang perlu dibantu lagi, Non?"
"Tidak Bik, terimakasih. Bibik bisa istirahat" jawab Devita.
"Baik Non, saya permisi"
"Silahkan Bik"
Siah ke luar dari kamar, Rama masuk ke dalam kamar dengan membawa kursi rodanya sendiri. Rama menutup pintu kamar dan menguncinya, Devita seperti terkunci di tempatnya berdiri.
Devita bingung dengan apa yang harus dilakukannya, ia bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Wajah dan tatapan dingin Rama membuatnya merasa sedikit gemetar, karena mereka hanya berduaan di dalam kamar. Rama seperti tidak punya niat untuk bicara dengannya, menganggap dia adapun sepertinya tidak. Rama ingin memindahkan tubuhnya dari kursi roda ke atas ranjang. Tanpa sadar, Devita bergerak mendekat, dan memegang lengan Rama untuk membantunya.
Wajah Rama mendongak, tatapannya setajam pisau pada Devita.
"Jangan sentuh aku!" Ucapnya dingin dan penuh tekanan. Mata Devita mengerjap, bulu kuduknya meremang, menerima tatapan dan mendengar suara berat Rama yang terasa menakutkan baginya.
"Maaf, aku hanya..."
"Pergi, jangan berusaha untuk mendekat, aku tidak suka dikasihani!"
Devita mundur satu langkah, perasaannya bergetar, ia merasa kehidupannya akan lebih berat dari sebelumnya. Tanpa sadar dua bulir bening meluncur membasahi pipinya, cepat ia hapus air matanya.
'Jangan cengeng, Devita. Kalau kamu cengeng bagaimana kamu bisa menghadapi Rama. Bagaimana kamu bisa meluluhkan sikap keras dan dinginnya. Air matamu tidak berguna di sini, Rama tidak akan tersentuh oleh air mata. Buatlah rumah ini penuh tawa, luluhkan hati Rama dengan gurauan dan canda, buat hati Rama luluh tanpa dia menyadarinya. Kalahkan dia, jangan menyerah. Bangkitlan semangat hidupnya'
Devita menatap Rama yang tengah melepas pakaiannya.
"Kenapa berdiri di situ? Apa kamu tidak malu menonton pria yang sedang melepas pakaiannya!?" Seru Rama tajam, Devita sempat terlonjak kaget mendengar ucapan Rama. Tapi ia berusaha menenangkan perasaannya, menahan rasa malu dan takutnya.
"Kenapa harus malu, Abang sudah jadi suamiku" jawab Devita dengan nada mantap dan senyum tersungging di bibirnya. Ditatapnya Rama setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya. Rama balas menatapnya, Devita merasa ia membeku mendapatkan tatapan dingin dari Rama. Hatinya harap-harap cemas, menunggu apa yang akan dikatakan atau dilakukan Rama kepadanya.
BERSAMBUNG