Gue geleng-geleng kepala sambil tepok jidat. Apa yang ada di pikiran Mami sama Papi? Tega-teganya mereka ngejodohin gue sama orang yang nggak dikenal. Hello! Gue ini masih 18 tahun. Masih bau kencur, makan aja masih disuapin. Suer, deh, gue pernah disuapin Mami. Pas kecil, tapi.
Mau nolak takut dosa. Entar jadi judul FTV yang lagi anget-anget taii ayam, ‘Akibat Menolak Dijodohkan, Seorang Gadis Mati Tertimpa Meteor’. Ih, serem banget, kan?
Inilah derita anak tunggal. Harus nurutin apa yang diperintah orang tua. Pengen punya saudara tapi nggak bisa, karena Mami lemah kandungan. Sedih, kan? Jadi, gue nggak bisa punya adik yang lucu-lucu.
Dan sekarang di sinilah gue, lagi nyalon sama Mami rempong gue. Padahal, nggak usah ke salon aja, gue udah cantik dari orok.
“Mi, bisa nggak yang dijodohin itu Bi Inah aja? Ale ‘kan masih kecil, masih polos dan lugu. Jadi, nggak boleh main nikah-nikah dulu. Entar aja kalo udah gede.” Oh iya, kalau kalian mau tau, Bi Inah itu pembantu gue.
“Sembarangan kamu! Nggak liat itu anak Bi Inah mau enam? Terus, suaminya mau di ke manain? Lagian ya, De, itu demi kebaikan kamu sendiri. Nanti kalo Mami sama Papi pergi-pergi, ada yang jagain kamu.”
“Tapi, Mi, Ale bisa jaga diri sendiri. Biasanya juga kalo lagi ditinggal di rumah, nggak ada kenapa-kenapa, kok.”
“Ade Sayang, pokoknya ini demi kebaikan kamu. Mami nggak mau dibantah, titik!”
Gue hanya bisa mengerucutkan bibir. Kesel! Kesel! Kesel!
***
Gue dan Mami memasuki restoran. Kami disambut pelayan, lalu dituntun menuju meja, di mana Papi sudah menunggu lebih dulu. Mami duduk di samping Papi, sedangkan gue di samping Mami.
“Lama amat ke mall-nya, Mi? Papi sampai nelpon berkali-kali nggak diangkat,” gerutu Papi.
“Biasa, Pi, perempuan kalau ke mall, ya, lama,” jawab Mami dengan santai, tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Percakapan Mami sama Papi terhenti, karena yang ditunggu sudah tiba. Buktinya Mami sama Papi berdiri menyambut dua orang yang baru datang itu.
Gue nggak ada niatan mau ikut-ikutan berdiri. Ini gue mikirin nasib gue gimana? Gue mau dijodohin. Aduh, nggak siap lahir batin! Tapi, mau ngebantah takut ngecewain Papi sama Mami.
Gue melirik lewat ekor mata, Papi berjabat tangan dan Mami cipika-cipiki khas ibu-ibu saat bertemu. Setelah itu, barulah Papi dan Mami mempersilahkan mereka duduk.
“Calon mantu aku mana, Wan?” tanya Mami, memulai pembicaraan.
“Lagi di jalan kok, May. Tadi ada sedikit urusan katanya.”
Mami ngangguk mengerti.
Kali ini giliran Papi yang bicara. “Ini, Yo, anak perempuan kami satu-satunya. Ayo, De, salam sama Tante Wanda dan Om Tio!” perintah Papi.
Gue langsung menyalami mereka satu persatu. “Alea, Om,” ucap gue sambil mencium tangan Om Tio, lalu pindah ke Tante Wanda. “Saya Alea, Tante.”
Tante Wanda memeluk, bahkan pipi gue dicubit gemas olehnya. “Aduh, Maya, anak kamu, kok, imut banget?! Jadi pengen aku bawa pulang sekarang aja,” seru Tante Wanda, sementara Mami hanya tertawa mendengarnya.
Gue tersenyum kering, agak malas sebenarnya. Setelah merasa cukup, barulah gue duduk kembali dan memainkan ponsel.
“Maaf, saya telat.”
“Oh, nggak pa-pa, Dre. Acara intinya belum dimulai,” sahut Papi, pada orang yang bernama Drew itu.
Gue masih fokus dengan ponsel, nggak berniat nengok. Tapi itu tidak berlangsung lama karena kegiatan main ponsel, scroll-scroll beranda ig gue terhenti oleh panggilan dari Mami, “De, sapa, dong, calon suami kamu. Namanya Andrew.”
Gue mengernyitkan kening. Kayak pernah denger nama orang ini, tapi, di mana, ya? Dengan cepat gue mendongak, barengan sama mengulurkan tangan. Mamamia! Gue kaget setengah mati saat pandangan kami bertemu, sampai mulut gue mangap-mangap bak ikan kekeringan. Gila! Ngapain si guru killer nongol di sini?!
Mami menepuk pelan lengan gue. “Kok, bengong?”
“Mami, ngapain DIA di sini?” Gue refleks berteriak.
“Guru killer? Siapa yang guru killer?”
“Itu,” tunjuk gue, tepat di wajah laki-laki yang duduk sudah duduk tenang, tepat di hadapan gue. “Dia itu guru BK di sekolah Ale, Mi!”
Papi mengangguk-nganggukkan kepala, santai.
“Ya bagus, dong. Kan bisa pantau kamu juga di sekolah.”
Dih, ogah banget dijagain sama si guru killer. Cukup ketemu tiap hari di sekolah, jangan sampai ketemu di rumah juga.
“Jadi, kalian berdua sudah saling kenal?” sela Om Tio.
Gue ngebuka mulut, bersiap mejawab, tapi sayangnya gue kalah cepat. “Iya, Ma. Andrew sering bertemu dia di ruang BK,” ujar si guru killer, dengan wajah angkuhnya.
Gue langsung mencebikkan bibir, mendengar pernyataan sepihak yang seratus persen benar itu.
Mami berucap, “Maafin anak Tante, ya, kalau sering bikin repot kamu di sekolah?”
“Tidak apa-apa. Itu sudah tugas saya untuk mendisiplinkan murid bandel.”
Gue kembali mencebikkan bibir, nggak suka banget dengernya.
“Sudah-sudah, kita makan dulu. Nanti makanannya dingin.” Papi menengahi kami.
Akhirnya percakapan terhenti, diganti dengan acara makan-makan. Gue, tuh, kesal lihat muka si guru killer. Gue ngambil pisau dan garpu, lalu melampiaskan kekesalan pada seonggok daging yang tak besalah. Memasukkannya ke dalam mulut dengan potongan besar, mengunyahnya dengan cepat.
Mami menegur, “De, makannya yang anggun, dong! Masa di depan calon suami dan calon mertua kayak gitu?”
Tante Wanda tersenyum. “Nggak pa-pa, Maya. Lagian, aku nggak butuh menantu yang sok anggun. Cukup kayak Ale aja,” katanya sambil mencubit pipi gue gemas.
Gue cuma ngangguk-ngangguk sambil ngunyah. Pipi gue sampe menggembung karena terlalu besar melahap steak.
Setelah makan malam selesai, selanjutnya diisi perbincangan seputar perjodohan gue sama si guru killer.
“Kamu gimana, Drew? Setuju sama perjodohan ini?” tanya Om Tio pada anaknya. Si guru killer itu cuma nganggukkan kepala.
Gue langsung melongo, karena nggak nyangka dia menerima. Ini gimana nasib gue?
Saat Om Tio menanyakan hal yang sama pada gue, gue jelas gelagapan nggak karuan.
Beberapa saat kemudian, gue mendesah pasrah saat tidak mendapati bala bantuan. Sekarang mau gimana lagi? Kalau memang ini sudah jadi takdir hidup, gue ikhlas. Gue ridho dunia akhirat, yang penting Mami sama Papi bahagia. “Ale nurut sama Papi dan Mami aja.”
Semua yang ada di situ, mengembuskan napas lega. Kecuali gue sama si guru killer. “Allhamdulillah.” Serempak para orang tua berucap, wajah mereka terlihat kentara sekali bahagianya.
Gue hanya bisa meringis, sedangkan si guru killer berekspresi datar aja. Senang enggak, sedih enggak.
“Pernikahan kalian tinggal dua minggu lagi, ya?” putus Tante Wanda.
What? Dua minggu? Ya Allah, masa remaja hamba akan habis dalam dua minggu lagi!
Apa yang bisa gue jawab selain ngangguk, ngangguk dan ngangguk? “Iya, Tante,” lirih gue pelan.
“Jangan panggil tante, panggil mama aja mulai sekarang!” ucap Tante Wanda, ralat Mama Wanda.
“Iya, Ma.”
Tragis sekali nasib gue. Di umur 18 tahun sudah dikasih suami, yang sialnya lagi guru killer di sekolah.
***