"Anggelia..."
Segera kubalikkan badanku menghadap Anggelia yang memelukku dari belakang.
"Hei mengapa kau menangis?"
Aku semakin bingung mendapati Anggelia yang tengah menangis. Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah semakin memelukku dengan erat.
"Bodoh, apa kamu berniat bunuh diri hah? Mengapa kamu tadi malah menyebrang disaat kendaraan sedang berlalu lalang?"
Anggelia akhirnya berujar mengenai aksiku tadi dengan memukul- mukul badanku. Jujur, aku sendiri juga bingung mengapa aku begitu nekat menyebrang saat kendaraan sedang ramai berlalu lalang tadi.
"J-jika aku tidak ada disini, mungkin kau telah mengalami kecelakaan tadi."
Kutangkap pergelangan tangan Anggelia yang memukul dadaku dan kutatap kedua sorot matanya yang berwarna coklat gelap.
"Anggelia dengarkan aku, aku minta maaf karena kecerobohanku tadi sudah membuatmu menangis. Aku berjanji tidak akan bertindak gegabah dan mengulangi hal ini lagi, oke?"
"Semua yang berada didekatku pasti celaka, lebih baik kamu menjauhiku."
Perkataan Anggelia yang tanpa terprediksi barusan sontak membuatku membelalakkan kedua mataku. Apa-apaan maksud dari perkataan Anggelia barusan, aku sudah sejauh ini berusaha untuk mengambil hatinya, mana mungkin aku menjauhinya hanya karena hal sepele seperti ini.
"Tidak, apa pun yang terjadi aku tidak akan menjauhimu Anggelia. Ingat itu!" spontan aku menolak permintaannya yang tidak masuk akal menurutku.
"Kamu bodoh, kamu t***l! Tidakkah kamu curiga dengan apa yang menimpamu selama ini. Aku yakin kamu tahu, semua yang terjadi padamu selama ini karena kamu berusaha mendekatiku," seolah tak sanggup menanggung semua beban pikirannya, Anggelia kini mengungkapkan semua ketakutannya selama ini.
"Anggelia aku tidak peduli pada apa pun yang menggangguku. Aku tidak peduli pada teror yang selama ini menggangguku, aku tidak peduli!"
Kupegang kedua bahu Anggelia yang sedikit bergetar seusai menangis tadi, "Dengarkan aku. Meski pun kamu menyuruhku untuk menjauhimu ribuan kali, tapi tetap kukatakan bahwa aku akan tetap mendekatimu. Tidak peduli apapun yang menghalangiku Anggelia, aku peduli padamu. Aku ingin agar kamu bisa terlepas dari belenggu masa lalumu. Kecelakaan yang pernah kamu alami waktu itu bukan kesalahanmu, itu murni kecelakaan. Jadi relakanlah dia agar bisa tenang di atas sana."
"Kamu tidak mengerti. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Karena ini semua memang salahku."
"Memang aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Maka dari itu, kumohon beri tahu aku. Aku tulus mencintaimu, aku akan menerima segala masa lalumu. Jangan membuatku terlihat begitu menyedihkan karena aku mencintaimu, tapi aku tidak mengetahui apa pun tentangmu."
"Baiklah jika itu keputusanmu, ayo ikut aku."
Hari sudah beranjak gelap, tapi Anggelia malah menuntunku menyebrangi jalan raya yang kebetulan sedang sepi saat ini.
Kami kini telah menyebrangi jalan raya dan Anggelia kembali melangkahkan kakinya menuju areal pemakaman umum. Aku terus mengikuti langkah Anggelia tanpa banyak protes.
Menerka-nerka apa kiranya yang dilakukan Anggelia di tengah areal pemakaman ini. Kini langkah Anggelia telah terhenti tepat di depan sebuah makam yang terlihat rapi dan terawat bersih dengan rumput hijau di atas gundukan tanahnya.
Dengan pencahayaan yang remang, aku masih dapat melihat tulisan pada batu nisan di makam tersebut.
Dr.Hornick McLewis
'Ohh jadi ini makam Dr.Hornick.'
Kulihat Anggelia menunduk dan berjongkok di samping makam tersebut. Sementara aku tetap berdiri tegak tak jauh dari Anggelia. Mengamati tanpa banyak berkomentar.
"Nick, aku datang lagi kesini. Apa kau senang aku mengunjungimu di sini? Maaf karena aku tidak membawa bunga tulip kesukaanmu. Tadi bunganya terjatuh dan rusak, kau tak marah kan?"
Anggelia terus berbicara dengan gundukan tanah pada makam Dr.Hornick atau aku bisa memanggilnya Nick? Kuamati Anggelia yang terus berceloteh menceritakan tentang kesehariannya seolah dr.Nick masih hidup dan mendengarnya.
Akupun yang mendengarnya hanya bisa merasa miris melihat Anggelia yang seakan masih terpaku pada masa lalunya. Bagaimana bisa ia melanjutkan hidupnya jika dia selalu seperti ini.
Sebersit rasa iri muncul di dadaku mendapati kenyataan bahwa Anggelia ternyata begitu mencintai dr.Nick. Bahkan aku mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dr.Nick.
Miris. Belum apa-apa justru aku telah mengakui bahwa aku kalah dengan seseorang yang bahkan sudah tiada.
Apa kehadiranku selama ini belum mampu untuk bisa menggeser posisi dr.Hornick di hatimu Anggelia? Bahkan aku baru menyadari jika ternyata Anggelia masih memakai cincin pertunangannya dengan dr.Hornick di jari manisnya yang sebelah kiri.
Sebegitu besarnyakah rasa cintamu hingga dalam kurun waktu 3 tahun belum mampu membuatmu melupakannya? Bahkan cincin pertunanganmu masih tersemat dengan manisnya di jari manismu. Mampukah aku menggantinya dengan cincin pernikahan yang akan kuberikan padamu nantinya?
Entah sudah berapa lama Anggelia terus berbicara dengan makam dr.Hornick. Cukup, kurasa ini semua sudah cukup. Aku akan menghentikannya.
"Cukup Anggelia! Di sini sekarang hanya ada kita berdua. Jika sikapmu terus seperti ini, itu sama saja dengan kau terus mengikatnya untuk tetap di sini. Tidakkah kamu merasa kasihan? dunia kalian berbeda. Kamu tidak bisa terus seperti ini, kamu harus bisa merelakannya dan melanjutkan hidupmu."
Tak ada balasan dari Anggelia, ia hanya menunduk dengan pandangan sedih.
"Tidakkah kamu melihatku di sini Anggelia? Aku di sini dengan sigap mengulurkan tanganku untuk menolongmu. Aku tidak ingin kamu terus seperti ini Anggelia. Aku selama ini mencintaimu, aku ingin menolongmu dari belenggu masa lalu yang mengikatmu dan dia. Tidakkah kamu mengerti?"
Tetap tak ada balasan dari Anggelia. Membuatku setengah frustasi, emosiku berkecamuk. Lalu perlahan kulihat Anggelia mulai menegakkan kepalanya ke arahku dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Ingin rasanya aku berlari mendekatinya dan memeluknya erat. Tapi sebisa mungkin kutahan keinginanku dan menguatkan hatiku, aku harus melakukan ini untuk menolongnya.
"Maaf, aku tak bisa."
Tanpa kusadari sebulir bening air mata menetes di antara kedua pipiku. Kuusap secara kasar wajahku dan berbalik badan meninggalkan areal pemakaman ini.
Setidaknya aku telah berjuang sejauh ini untuk mendapatkanmu. Aku telah berusaha menolongmu dari bayang- bayang masa lalumu. Meski respon yang kau berikan membuatku kecewa. Itu sama saja dengan usahaku sia-sia selama ini. Karena di sini, hanya aku yang berjuang. Sementara kau hanya diam di tempat tanpa berusaha berdamai dengan masa lalumu.
Sekeluarnya dari areal pemakaman, kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju mobilku di seberang jalan. Lagi-lagi hanya suasana sepi dan sunyi yang kembali mengiringiku.
Ketika hendak membuka pintu kemudi mobilku, dapat kurasakan tanganku di tahan oleh seseorang hingga membuatku membalikkan badan. Ternyata Anggelia yang menghentikanku dan langsung memelukku erat, aku yang menyadari kehadirannya segera membalas pelukannya dengan tak kalah eratnya.
"Bantu aku keluar dari masa laluku."
"Tentu."
Senyum tipis seketika mengembang di sudut bibirku mendengar permintaan Anggelia. Tapi lagi-lagi sakit kepala kembali menyerangku disaat yang tidak tepat.
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak, badanmu panas dan wajahmu pucat. Apa kamu merasakan sakit?"
Anggelia memegang keningku yang terasa panas dengan sedikit panik. Sementara aku hanya mencoba tersenyum menenangkan bahwa aku baik-baik saja.
"Aku tak apa, aku masih kuat," ketika hendak menuntun Anggelia memasuki mobil, tiba-tiba pandanganku terasa kabur dan badanku sedikit oleng hingga membuatku reflek berpegangan pada pintu mobil.
"Tidak, kamu yang duduk di kursi penumpang ini, biar aku yang menyetir mobilnya."
"Baiklah," ujarku menerima keputusan Anggelia, karena jujur saja kepalaku benar-benar pusing saat ini dan aku merasa tidak akan mampu menyetir dengan benar dalam kondisiku seperti ini.
Anggelia mengantarku hingga sampai di rumahku. Aku tak menolaknya karena memang tak mungkin untukku ke rumah Anggelia.
Anggelia membantu memapahku yang tidak mampu berjalan dengan benar. Dia memapahku hingga sampai di kamarku dan merebahkan tubuhku.
Setelahnya dia melepaskan sepatuku dan mengambil air dingin untuk mengompres tubuhku yang panas.
Setelah beberapa lama kulihat Anggelia mengambil tasnya dan akan beranjak pergi dari sisiku. Sebelum Anggelia melangkahkan kakinya untuk pergi, segera kutahan pergelangan tangannya dengan jemariku yang lemas.
"Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Kulihat dia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum manis padaku. Membuatku ikut tersenyum lemah.
"Baiklah, aku akan tetap di sini. Istirahatlah." ucap Anggelia membuatku merasa lega.
"Jika kamu mengantuk, tidurlah di sisiku. Aku tidak keberatan."
Lagi, dia hanya mengangguk dan kembali mengganti kain kompresanku. Tak lama kemudian, dapat kurasakan jari-jemari Anggelia membelai pelan rambutku. Membuatku merasakan perasaan nyaman, lalu tak lama kemudian kantuk terasa mulai menyerangku dan kesadaran mulai mengambil alih tubuhku untuk beristirahat.
___
Keesokan paginya, aku terbangun dalam keadaan yang lebih baik dari kemarin. Dapat kurasakan suhu badanku tidak lagi sepanas kemarin dan berangsur normal. Sakit di kepalaku juga sudah hilang.
Mengingat kejadian semalam, membuatku senyum-senyum sendiri di atas tempat tidurku.