Bab 1 | Alasan Dibalik Pernikahan
“Saya terima nikah dan kawinnya, Sheya Kaikala binti Khalid Chandra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Ucapan ijab kabul itu dibaca dengan tegas dalam satu tarikan napas, seiring dengan beban yang pelan-pelan menggelayuti pundaknya, terasa sangat berat dan mengerikan, namun harus dia lakukan, demi kebahagiaan dan kelangsungan hidup putri kecilnya.
Pun wanita yang kini duduk di sebelahnya, saat ijab kabul itu terucap dengan lantang, rasanya langit runtuh menimpa dunianya, dalam diamnya, dengan kepala yang menunduk dia memejamkan mata.
Sebuah pernikahan, yang sudah tidak pernah ada dalam daftar keinginan di hidupnya, kini dia justru menjalaninya, lebih gilanya dia menjadi yang kedua.
Lalu, tatapannya bertemu dengan sosok gadis kecil dalam balutan dress putih cantik dan membuat gadis itu terlihat menggemaskan.
Tatapan mereka bertemu, dan Sheya bisa melihat anak kecil itu tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.
Ingatan Sheya justru terlempar ke hari-hari yang telah lalu. Saat pertama kali Sheya bertemu dengannya.
Tatapan matanya yang jernih dan tidak memiliki dosa mendekatinya dengan malu-malu, semakin hari anak itu justru semakin menempel padanya, hingga bibir mungil yang seharusnya memanggil Bunda pada Sheya seperti biasanya, justru memanggilnya dengan sebutan lain disertai dengan alasannya.
Kala itu ...
“Ibu, Sera sudah bisa membuat burungnya. Bagus tidak, Ibu?” Ucap anak berusia empat tahun itu dengan perasaan malu-malu, tapi tatapannya begitu mendamba dan ingin dicinta pada sosok di depannya yang dia panggil Ibu.
Dia biasa dipanggil Bunda oleh semua anak didiknya yang berada di jenjang Preschool itu atau Kelompok Bermain, biasa juga disebut Pendidikan Anak Usia Dini.
“Kak Sera kenapa memanggil Bunda Sheya dengan panggilan, Ibu, Nak?” Tanya Sheya dengan nada yang lembut.
Dia bisa melihat tatapan Sera yang berubah ketakutan, kepalanya menunduk dalam dan belum mengatakan apa pun.
“Tidak apa-apa, Kak. Kak Sera bisa bercerita pada Bunda, Bunda tidak akan marah kok, jika alasan Kak Sera bisa diterima, maka Bunda akan mempertimbangkan apa Kak Sera boleh memanggil Bunda dengan panggilan Ibu atau tidak.”
Sheya mengusap lembut kepala Sera, membuat anak kecil itu pelan-pelan mendongak, dan air matanya sudah jatuh saat menatap Sheya.
“Kata Bunda Kinan, Ibu adalah orang yang akan menyayangi kita dan akan selalu menasihati kita dengan nada lembut, akan senang bermain dengan kita dan akan selalu tertawa bersama kita. Sera … Sera merasa Bunda Sheya seperti sosok Ibu yang diceritakan Bunda Kinan, jadi … jadi Sera memanggil Bunda dengan Ibu. Sera … Sera ingin memiliki Ibu seperti Bunda Sheya.”
Tangis Sera langsung pecah setelah mengatakan itu, Sheya jadi panik sendiri, dia langsung berusaha menenangkan Sera dengan membawa gadis kecil itu dalam pangkuannya dan mengusap-usap punggungnya.
“Minum dulu, yuk, Kak. Minum dulu, baru nanti cerita lagi dengan Bunda, ya? Sera boleh bercerita apa saja pada Bunda.”
“Sera takut dengan Bunda di rumah, Sera tidak suka dengan Bunda di rumah, Ibu. Bunda itu … dia suka mencubit Sera, suka memukul Sera dan menjambak rambut Sera, Sera takut, Sera takut, Ibu.”
Hati Sheya mencelos mendengar isakan anak berusia empat tahun itu. Sera sedang mengatakan kekerasan yang dialami oleh Bundanya di rumah, kan? Ibu kandungnya, kan? Bagaimana mungkin?
“Kak Sera ingat, kan, apa yang dibilang oleh Bunda sebelum-sebelumnya? Tentang bercerita kepada Ayah atau pun Bunda di rumah, apa pun yang sedang Sera rasakan, baik itu perasaan senang, sedih, takut, marah. Semua harus Sera ceritakan kepada Ayah dan Bunda.”
Sera langsung menggeleng, anak kecil itu masih duduk dalam pangkuan Sheya dan kini posisi mereka saling berhadapan.
“Kata Bunda Giska, Sera tidak boleh cerita kepada semua orang di dalam rumah. Atau mereka semua bisa terluka seperti Bunda Giska yang melukai Poppy, dia boneka kesayangan Sera, hadiah dari Mama, tapi sekarang sudah terluka dan tidak bisa bubuk bersama Sera lagi, Ibu. Sera takut, Ibu."
Sheya menahan napasnya dan beristighfar dalam hati mendengar kalimat selanjutnya dari bibir mungil itu.
"Bunda Giska bilang tidak boleh cerita kepada semua orang di rumah, jadi, Sera cerita dengan Bunda Sheya saja, karena Bunda Sheya seperti sosok Ibu yang dikatakan oleh Bunda Kinan. Sera sayang Ibu, boleh tidak, Sera tinggal dengan Ibu saja? Ayah selalu sibuk dan pulangnya suka malam-malam.”
Kini, anak itu justru menempelkan salah satu sisi wajahnya di d**a Sheya, sedang Sheya yang mendengar itu tidak bisa menahan laju air matanya, jantungnya bertalu keras, dia menggigit bibirnya kuat.
Bagaimana bisa seorang anak yang bahkan masih dikatakan balita mengalami hal mengerikan semacam itu bahkan diancam dengan hal mengerikan supaya menutup mulutnya rapat?
Itu adalah pintu yang menjadi pembuka, bagaimana seorang Sheya Kaikala, yang tidak ada lagi hasrat untuk menikah terseret begitu jauh bahkan rela menjadi istri kedua.
Nyatanya, satu fakta yang diceritakan dari bibir mungil itu, membuka tabir demi tabir yang menuntunnya hingga sampai pada keputusannya untuk bisa memiliki hak asuh Sera sepenuhnya.
Sekali pun dia harus menerima resiko paling mengerikan, dituduh sebagai pelakor, namun, Sheya tidak lagi peduli tentang dirinya.
Dia jatuh cinta pada gadis kecil itu, dan hatinya berdarah-darah saat mengetahui jika mungkin saja jiwa kecil itu pelan-pelan hancur di tangan Bunda Giska, sosok yang ternyata baru dia ketahui bukanlah ibu kandung dari Anasera.
“Silahkan mempelai wanita mencium tangan suaminya.” Suara dari bapak penghulu menyentak Sheya dari lamunan tentang gadis kecil yang kini resmi menjadi putrinya.
Tatapannya lalu beradu dengan sosok sang suami -Raynar Arjuna Wiratama- yang rela menduakan istri tercinta demi kebahagiaan putrinya.
Saat akhirnya tatapan mereka bertemu, Sheya merasa menggigil melihat tatapan mata sekelam lautan yang tidak memiliki dasar itu.
Sheya menarik napasnya dalam saat tangan Juna sudah terulur supaya dia menyalami dan mengecupnya, tubuhnya gemetar namun coba dia sembunyikan dengan baik, keringat dingin mulai membasahi wajahnya.
'Tenang, Sheya. Kamu hanya perlu mencium tangannya dan tidak akan ada yang terjadi setelahnya.'
Sheya berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya menyambut uluran tangan itu dan dia mengecupnya dengan takdzim, pun dengan Arjuna yang menyentuh ubun-ubun kepala Sheya, alih-alih mengucapkan doa untuk sang istri, Arjuna justru membisikkan sesuatu.
“Kamu tau, kan, aku tidak akan pernah bisa ikhlas dengan pernikahan ini. Rasa cinta kamu yang menggebu-gebu di masa lalu, tidak mungkin bisa mengantarkan kamu pada bahagia dalam pernikahan ini.” Bisik Arjuna dengan nada yang sedingin es tepat di telinga Sheya.
Sheya hanya mengulum senyumnya tipis, memang siapa yang mengharapkan bahagia dalam pernikahan ini? Satu-satunya bahagia yang dia kejar adalah kebahagiaan Anasera.
“Aku tau, Mas. Mari cukup menjadi orang tua yang baik dan utuh untuk Anasera.” Bisik Sheya dengan nada yang begitu tenang.
Arjuna menatap pada manik mata yang kelewat tenang untuk ukuran seseorang yang pernah menyukainya secara menggebu-gebu di masa sekolah mereka, namun tatapan menggebu-gebu yang memuja itu tidak lagi dia lihat dalam tatapan mata Sheya.
Hingga tautan tangan mereka terlepas, selanjutnya mereka melakukan penandatangan buku nikah dan beberapa hal lain.
Acara pernikahan yang memang hanya diselenggarakan secara tertutup dan hanya akad tanpa resepsi itu langsung berakhir setelah ijab dilaksanakan, penghulu dan wali hakim berikut saksi sudah undur diri.
Sheya bisa melihat Sera yang malu-malu mendekat ke arahnya, dia mencium tangan Ayahnya lebih dahulu, lalu saat bertatapan dengannya, Sheya tidak bisa menahan senyum yang membuncah di dadanya.
Anak yang menatap dengan tatapan berbinar dengan seraut wajah bahagia itu resmi menjadi putrinya, dan tidak akan pernah Sheya lepaskan genggaman tangannya pada putrinya itu.
Tidak ada yang bisa menyakiti putrinya setelah ini, dan jika putrinya tersakiti, dia akan membalas tanpa pandang bulu, seperti induk singa yang akan mengaum dan menggigit siapa pun yang mengganggu apalagi menyakiti anaknya.
“Ibu …” Bisik Sera yang mengulurkan tangannya dengan malu-malu ke arah Sheya.
Senyum Sheya semakin lebar, dia menyambut uluran tangan itu dengan hati yang hangat dan penuh kelegaan, setelah ini, dia akan memastikan Sera hanya akan merasakan indahnya kasih sayang yang tulus dari seorang Ibu. Sheya berjanji dalam hatinya.
“Iya, Kak Sera. Kak Sera mau bilang apa? Kok malu-malu gitu.” Bisik Sheya yang mampu membuat Sera bertindak lebih berani dari yang tadinya malu-malu.
Setelah mencium punggung tangan Sheya, anak perempuan itu memeluk Sheya dan menggumam dalam pelukan hangat yang membuat Sera merasa tenang dan nyaman tanpa perlu takut apa pun lagi.
Kali ini, dia memiliki Ibu, sosok Ibu seperti yang diceritakan oleh Bunda Kinan di sekolahnya.
“Terima kasih sudah menjadi Ibu untuk Sera.” Bisik Sera dengan nada yang penuh rasa syukur dan terima kasih.
Sheya menahan napasnya, matanya memanas dan air matanya mendesak hingga tatapannya kabur karena air mata.
Ucapan seorang anak berusia empat tahun, yang sejatinya memahami rasa syukur atas apa yang dia miliki dan mengungkapkan terima kasihnya membuat hati Sheya berkecamuk.
Pun dengan Arjuna yang melihat interaksi itu, dia memejamkan matanya, melihat betapa manis interaksi antara Sera dengan Sheya.
Meyakinkan dirinya sendiri, jika apa yang dia lakukan sudah benar, ini demi kebaikan Sera, sekali pun dia harus melukai wanita yang dicintainya, namun cintanya untuk sang istri tidak akan pernah terbagi untuk sosok istri barunya yang hanya sebatas menjadi ibu asuh untuk Sera.
Lalu, tatapan Arjuna beralih pada sang istri tercinta, yang duduk di kursi roda dan menatapnya dengan tatapan memilukan berlinang air mata.
Gegas dia menghampiri istri yang dicintanya itu, lalu merengkuhnya dalam dekapan.
Reaksi Sheya yang melihat itu? Masa bodoh. Dia sedang sibuk dengan putri tercintanya yang semakin terlihat manja padanya.
“Sweetheart, kamu tau ini tidak berarti apa pun untukku, kan? Hanya kamu yang akan selalu ada di hatiku, pernikahan ini hanya demi Sera, tidak mungkin aku mengkhianati cinta kita. Aku bukan pengkhianat dan aku membenci perselingkuhan.” Bisik Arjuna yang mengusap lembut air mata di wajah Giska.
“Tapi aku takut, Ar … Aku takut kamu berpaling, aku takut kamu juga jatuh cinta padanya. Padahal … padahal dia adalah wanita jahat yang merusak rumah tangga kita, menggunakan anak kecil untuk bisa kembali mendapatkanmu, dan kenapa kamu tidak mengatakan jika dia pernah jatuh cinta bahkan menciummu saat SMA?”
Giska menangis semakin tidak terkendali, membuat Arjuna menarik napasnya panjang dan mengecupi punggung tangan sang istri.
“Yang cinta itu dia, dan tidak berpengaruh apa pun padaku. Aku hanya butuh kamu percaya padaku, ya? Aku melakukan ini juga demi kamu, cintaku. Setidaknya, ada yang membantu kita mengurus Sera dan aku bisa lebih fokus pada kesembuhanmu. Jangan khawatir, bahkan aku bisa memastikan jika aku akan pulang setiap malam dan tidur bersama kamu, jika itu yang kamu takutkan.” Ucap Arjuna yang kembali membelai-belai pipi Giska.
“Janji.” Bisik Giska dengan nada yang masih penuh kekhawatiran.
“Janji.” Arjuna lah yang menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Giska yang mati rasa dan kehilangan fungsinya sejak beberapa bulan terakhir.
“Ibu.” Panggil Sera lagi masih menggelayut manja di pelukan Sheya.
“Iya, Kak?”
“Apa malam ini Sera sudah boleh bubuk dengan Ibu?” Tanya Sera dengan tatapan yang mengerjap lucu dan penasaran menanti jawaban.
Sheya tersenyum lagi sambil membelai-belai pipi Sera, menggemaskan sekali anaknya itu.
“Boleh, malam ini dan seterusnya Ibu yang akan menemani Kak Sera bubuk, Kak Sera suka tidak?”
“Suka, Ibu. Suka sekali. Terima kasih, Ibu. Sera nanti bubuknya mau dipeluk-peluk Ibu, ya?”
Kini wajah penasaran gadis itu berubah menjadi tatapan riang dan penuh suka cita. Hal itu membuat Sheya ikut tertawa kecil dan mengangguk.
Orang tua Arjuna, yang melihat adegan berbeda dari dua orang yang baru resmi menjadi suami istri itu hanya bisa menghela napasnya panjang.
Yang satu sibuk menenangkan istrinya, yang satu, dengan status baru sebagai seorang istri itu justru sibuk bercengkrama dengan anak yang bukan darah dagingnya dan terlihat masa bodoh dengan kelakuan suaminya.
Dunia apa yang sesungguhnya sedang dijalani oleh putranya itu? Kinnas hanya bisa menghela napasnya lelah.
“Ganti dulu pakaian kamu, Sheya. Biar Sera bersama saya.” Ucap Kinnas, mama mertuanya.
Hal itu membuat Sheya langsung mengangguk, tak lupa dia juga berpamitan pada Sera.
“Ibu ganti baju dulu, ya, Kak.” Bisik Sheya membuat Sera langsung mengangguk dan beralih pada sang nenek.
“Runa, kamu tolong antar Sheya ke kamar untuk berganti pakaian.” Titah Garvi, membuat Runa langsung mengangguk dan mempersilahkan Sheya untuk mengikutinya.
Saat Sheya keluar kamar setelah mengganti pakaiannya, dia melihat Giska yang berdiri di depan pintu kamarnya, seolah memang sudah menunggunya.
Tatapannya tajam dan begitu nyalang, namun Sheya tidak merasa terintimidasi sama sekali.
“Dasar wanita jahanamm, pelakor syariah.” Desis Giska dengan tatapan yang benar-benar benci.
Sheya menarik napasnya panjang, pertama-tama, sebagai sesama wanita, Sheya tau dia harus mengucapkan maafnya.
"Sebelumnya, aku tau pernikahanku dengan suami kamu sangat menyakiti hati kamu, Mbak. Sungguh, aku minta maaf untuk itu."
Lalu, Sheya tersenyum tipis, dia menyentuh lengan Giska, dan itu membuat Giska semakin menatapnya nyalang.
Sayangnya, Giska tidak bisa menepis tangan Sheya yang dengan kurang ajar berani menyentuhnya.
“Mbak tidak perlu menganggapku sebagai ancaman yang akan menghancurkan rumah tangga kamu dengan Mas Juna. Aku tidak tertarik dengannya, sedikit pun, aku tidak akan menyentuh milikmu, suami kamu itu, Mbak.”
Senyum Sheya terlihat begitu tenang, dan itu membuat Giska sangat muak, andai dirinya tidak lumpuh, sudah pasti dia akan menampar mulut sialannya itu.
“Jadi kamu tenang saja. Dia juga tidak perlu bersikap adil kepadaku yang sama-sama berstatus istrinya, aku tidak memerlukan keadilannya dalam hak dan kewajiban dia sebagai seorang suami. Aku tidak tertarik. Milikilah dia seutuhnya, kamu tidak usah khawatir. Dia bahkan bisa pulang setiap malam dan tidur bersamamu, karena aku juga tidak sudi tidur dengannya, apa ucapanku sudah bisa menenangkan kamu?”
“Wanita j*****m! Dasar pelakorr tidak tau malu! Sudah merebut, tapi berlagak jual mahal dan sombong! Semua omongan kamu adalah sampah!” Desis Giska yang wajahnya semakin menggeram marah.
Namun, sekali lagi Sheya terlihat tidak terintimidasi sama sekali, memang apa yang bisa dilakukan oleh wanita lumpuh?
“Aku tidak akan menyentuh suami kamu, Mbak Giska. Namun, sejak detik statusku berubah menjadi istri dari suami kamu…”
Kini, Sheya menunduk dan berbisik di telinga Giska, sambil tangannya bertumpu di kursi roda Giska.
“... aku juga tidak akan membiarkan kamu menyentuh Anasera, apalagi menyakitinya. Dia milikku, dan hak asuhnya seratus persen adalah milikku. Orang tua yang diakui oleh negara adalah aku, jadi, seujung kuku pun, jika kamu ingin coba kembali menyiksanya, maka aku akan balik menyakiti kamu seribu kali lipat. Paham?” Desis Sheya dengan nada yang terdengar penuh penekanan.
Setelahnya wanita itu kembali menegakkan badannya, lalu mengulum senyum yang begitu tenang khas miliknya, dia bisa melihat jika wajah Giska terlihat pucat pasi dengan deru napas yang keras.
Mungkin wanita lumpuh itu tidak pernah berpikir jika kejahatannya diketahui oleh Sheya, hingga saat Sheya mengatakannya dengan jelas, wanita itu langsung terlihat ketakutan.
"Sekali lagi, aku minta maaf karena harus masuk di tengah-tengah keharmonisan cinta kamu dengan Mas Juna, ya, Mbak. Tapi, aku tidak akan pernah mengampuni kamu jika kamu kembali mengusik Anasera."
Lagi, Sheya mengatakannya dengan nada yang tajam dan penuh penekanan, dia menepuk-nepuk lengan Giska, lalu beranjak dari sana meninggalkan wanita itu saat melihat Arjuna mendekat ke arah mereka.