Aura gelap tiba-tiba menyelimuti rekan Ian Kendrick—yang duduk di sebelahnya. Ian bisa melihat keanehan itu, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Sesekali Ian melirik pada rekannya yang masih saja dikelilingi aura gelap.
Ian bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa tiba-tiba aura gelap menyelimuti Edwin? Kemarin dia masih baik-baik saja, bahkan sangat ceria. Hari ini Edwin terlihat sangat muram dan bahkan tidak bertenaga. Merasa sangat gelisah, Ian memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Apakah kau baik-baik saja?”
“Aku?” Edwin menunjuk pada dirinya sendiri. “Aku baik-baik saja.” Imbuhnya.
Ian mengangguk canggung lantaran Edwin sudah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Jadi, Ian berhenti bertanya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Namun, Ian masih sangat terganggu akan kabut hitam yang mengelilingi Edwin. Sekali lagi Ian bertanya, “Apa kau sungguh baik-baik saja, Ed?”
Spontan Edwin menatap tajam pada Ian. Matanya yang berwarna hijau terlihat mengerikan, sehingga Ian ingin mengecilkan dirinya. “Aku baik-baik saja. Berapa kali harus aku katakan kalau aku baik-baik saja?!”
“Maaf telah mengganggumu, Ed.”
Edwin beranjak dari kursinya lalu ia berjalan keluar. Sementara itu, Ian mengerutkan kening sambil menatap curiga pada rekannya tersebut. Dengan rasa penasaran yang sudah membludak, Ian pun bangkit dan mengikuti Edwin. Ternyata Edwin pergi ke kamar mandi pria dan kabut gelap itu masih menyelubunginya. Ian semakin penasaran dan bertanya pada seseorang yang lewat.
“Apakah kau lihat kabut gelap yang menyelubunginya Edwin?”
Orang itu menggeleng sambil menatap Ian lalu beralih ke Edwin, “Kabut apa maksudmu? Tidak ada kabut. Dasar aneh.”
“Jadi hanya aku saja yang bisa lihat?” gumam Ian.
Kebetulan sekali ia juga ingin pergi ke kamar mandi lalu ia masuk dan mendapati Edwin mencakar wajahnya menggunakan kuku tangannya. Ian pun tersentak, tetapi sebisa mungkin tidak mengeluarkan suaranya.
Melihat keanehan yang dilakukan oleh rekan kerjanya—kaki Ian menjadi lemah dan ia terhuyung, sehingga tangannya meraih ambang pintu sebagai penopang badannya yang bisa merosot ke lantai kapan saja.
Sementara itu, kabut gelap yang mengelilingi Edwin semakin tebal. Semakin tebal kabut itu, semakin dalam Edwin menekan kukunya ke pipi, membuatnya berteriak kesakitan.
“Ed! Apa yang kau lakukan!” Ian berteriak nyaring memberanikan dirinya menghampiri Edwin. Seketika itu, Edwin menghentikan aksinya dan melihat dirinya melalui cermin. Edwin pingsan setelahnya.
***
Ian tidak ikut mengantarkan Edwin ke rumah sakit. Larut dalam pikirannya, jantungnya masih berdebar lantaran rasa kaget dan takut. Tangan Ian juga masih bergetar, sehingga ia tidak bisa memegang mouse.
“Ian, manajer memanggilmu,” kata seorang rekan yang memakai rok mini.
Ian memberikan anggukan lalu berterima kasih. Lantas ia bangkit—menuju kantor manajer.
Sesampainya di depan kantor manajer, tangan Ian masih gemetar sehingga ketukan pada pintu menjadi pecah-pecah. “Menyedihkan,” rutuknya.
“Masuklah. Aku tahu itu kau, Ian.”
Lantas ia masuk ke kantor manajer sambil menundukkan kepalanya. “Se-selamat siang, Manajer.” Ian tidak tahu alasannya yang dipanggil. Jika ia dipanggil karena kejadian itu; apa yang harus Ian jawab? Tidak mungkin Ian mengatakan kalau Edwin diselimuti kabut hitam lalu menjadi aneh dan mencakar wajahnya sendiri.
“Ian, kau pasti sangat kaget dengan kejadian tadi.”
Seketika itu, Ian langsung mengangguk sambil menggenggam tangannya sendiri.
“Kau pulang saja hari ini, dan tenangkan dirimu. Bekerjalah seperti biasa besok.”
Mendengar hal itu, Ian merasa lega. “Terima kasih banyak, Manajer.”
Ian menghela napasnya ketika keluar dari kantor manajer. Merasa sedikit lega karena tidak perlu bekerja setengah hari lagi. Ia membereskan tasnya lalu berpamitan pada rekan-rekannya yang lain.
Ian merupakan seorang copywriter di salah satu perusahaan periklanan ternama di New York. Sudah dua tahun Ian bekerja dan baru kali ini menemukan keanehan seperti tadi. Ia bahkan merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa ia bisa melihat kabut hitam, sedangkan orang lain tidak bisa?
Setelah keluar dari lift Ian tidak sengaja bertabrakan dengan seorang pria tinggi, berpenampilan rapi dan bersih. Rambut hitamnya disisir ke belakang dan sedikit berkilau di bagian tepi.
Ian menatap pria yang tengah memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Lantas matanya membelalak sempurna.
“Pak CEO, maafkan saya.” Ian menundukkan kepalanya sambil meminta maaf beberapa kali. Rupanya ia tidak sengaja menabrak CEO perusahaan tersebut.
“Mau ke mana kau buru-buru dan membawa tasmu juga?” tanya sang CEO.
“Saya, saya diperbolehkan untuk pulang lebih cepat karena kejadian di dalam kamar mandi tadi.”
“Ah, rupanya kau yang memanggil ambulans dan menyelamatkan rekanmu.”
Pria itu bernama Ryan merupakan CEO sekaligus putra dari pemilik NKC perusahaan iklan terbesar di negara ini. Ryan menepuk-nepuk bahu Ian dengan tangan kirinya dan tangan satunya masih dimasukkan ke saku celana.
“Pulanglah kalau begitu,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.
“B-baik, Pak CEO,” kata Ian dengan canggung. Lantas ia pergi dari sana.
Ryan menoleh ke arah punggung Ian yang semakin menjauh. Lantas senyumnya tadi berubah menjadi seringai.
“Ikuti dia,” ujarnya pada seseorang yang tidak terlihat.
Lantas Ryan masuk ke dalam lift sambil meninggikan seringainya. “Pasti akan sangat menarik.”
Di tengah perjalanan pulang Ian terus menggaruk tengkuknya dan sesekali menoleh ke belakang. Namun, tidak ada yang aneh di belakang sana.
“Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasa benar-benar ada yang mengikuti. Mengapa hari ini begitu aneh.”
Ian bergegas berjalan kaki menuju apartemennya. Ia menyewa apartemen di sebuah gedung yang tidak jauh dari perusahaannya dengan biaya yang cukup terjangkau untuk kantong Ian.
Namun, setibanya di depan gedung. Ian berhenti dan tiba-tiba teringat pada Edwin. Mungkin Ian harus mengunjungi Edwin sekarang juga agar rasa penasarannya menghilang. Jika Ian terus memikirkannya, maka kepalanya pasti akan sakit dan terasa akan pecah. Oleh karena itu, Ian berbalik dan memanggil taksi menuju ke rumah sakit.
Beberapa menit kemudian, Ian sampai di rumah sakit. Ia menanyakan kamar rawat Edwin kepada resepsionis dan setelah itu langsung menuju ke bangsal Edwin.
“Ed, aku datang menjengukmu.”
“Apa itu kau, Ian? Masuk saja,” kata Edwin dengan lemah.
Ian tidak tega melihat Edwin yang kini wajahnya diperban dengan kain.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Ian sambil berjalan pelan ke rajang Edwin.
“Amat buruk,” jawab Edwin berterus terang.
Ian kaget lantaran Edwin sangat berterus terang. Ia duduk di sebelah Edwin dan ragu-ragu untuk bertanya. Sebelum itu Ian mengembuskan napasnya dan matanya bergerak-gerak ke kanan dan kiri.
“Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan ….”
“Hm, iya, begini bukankah kejadian tadi sangat aneh? Apa yang kau pikirkan melukai dirimu sendiri?”
“Ian, aku tidak memikirkan apa pun dan bahkan aku tidak merasakan apa-apa saat itu. Ini benar-benar membingungkan.”
Ian juga bingung dengan hal ini dan tidak tahu bagaimana harus membantu Edwin.