“Pada saat itu aku melihat seorang pria tampan di hadapanku. Rasa tertarikku begitu menggebu hanya dengan melihatnya saja. Lantas aku ingat lagi apa yang terjadi. Setelah aku terbangun, aku sudah ada di sini.”
Ian mencerna cerita Ruri. Jadi kabut hitam yang ia lihat adalah pria tampan yang Ruri lihat. Lantas bagaimana dengan Edwin? Dia tidak mungkin melihat pria tampan dan langsung menggebu, kan?
Edwin pasti melihat hal lain yang membuatnya tergugah. Semacam hipnosis membuat orang melakukan hal terduga. Namun, siapa si penghipnosis? Untuk masalah ini, Ian tak menemukan jawaban yang pasti. Semua hanya asumsi dan kebenarannya belum dapat ia pastikan.
“Begitu rupanya.” Ian bangkit dari duduknya. “Kau istirahat saja Ruri. Aku akan pulang sekarang.” Ian mengantisipasi dengan pulang lebih cepat. Kalau ia berlama-lama di sana, Ruri mungkin bertingkah seperti Edwin.
Kemudian, Ian meninggalkan bangsal. Dengan pikiran menjelajah jauh, ia berjalan lurus menuju ke lift. Tak disangka-sangka ketika pintu lift terbuka, wajah tampan Ryan Dwight didapatinya.
Melihat pimpinan tempatnya bekerja ada di rumah sakit ini, ia sudah dapat menebak kalau Ryan mengunjungi Edwin dan Ruri. Ian segera menundukkan kepala, memberikan hormat pada CEO perusahaannya.
“Oh, Ian, kau juga di sini?”
“I-iya, Pak CEO. Saya baru saja mengunjungi kedua pasien.”
“Begitu rupanya. Sayang sekali, apa kau sudah mau pulang?” Ryan bertanya kecewa.
Ian tak mengerti mengapa Ryan merasa kecewa. Mereka berdua berjenis kelamin laki-laki. Tidak mungkin, kan, Ryan memiliki ketertarikan pada Ian? Sudahlah! Dugaan Ian melayang begitu jauh.
“Kalau saja aku datang lebih cepat, mungkin kita bisa mengobrol Ian. Atau kita bisa pergi ke Bar untuk minum sebentar,” keluh Ryan.
Oh, rupanya Ryan ingin mencari kawan pria untuk menemaninya sekadar mengobrol dan minum bir?
Akan tetapi, sekarang ini Ian terlalu banyak pikiran. Lagi pula, ia hanya seorang karyawan biasa. Tidak pantas baginya untuk duduk dan minum bersama pimpinan perusahaan. Secara mereka bukan teman.
Ryan melirik arloji mewah terpasang di pergelangan tangan. Dari air mukanya, ia terlihat sedikit terkejut. “Lupakan saja apa yang aku katakan tadi. Rupanya aku masih memiliki banyak pekerjaan. Sekali lagi Ian, aku ingin mengucapkan terima kasih padamu.”
“Sama-sama, Pak CEO.”
Mengamati kepergian Ryan, netra Ian seolah menangkap sesuatu, tapi tak menangkapnya dengan jelas. Bukan aura hitam untungnya. Kalau sampai Ian temukan aura hitam itu pada Ryan, bukankah target selanjutnya adalah pria itu?
Pada saat pintu lift akan tertutup, bayangan hitam melintas bersamaan dengan Ryan yang menghilang di salah satu koridor.
“Mataku bermasalah.”
***
Ian memutuskan untuk pulang berjalan kaki, sembari menikmati udara malam. Jalanan kota yang padat kendaraan, dan polusi mengepul kadang di udara. Beruntung tersedia jalan untuk pejalan kaki. Meskipun Apartemennya Ian terbilang jauh, tak mengapa berjalan kaki, demi kelancaran peredaran darahnya.
Pada saat itu, netra ia menemukan seorang nenek tua duduk di pinggir jalan. Ian tetap berjalan santai, dan niatnya untuk melewati nenek itu. Namun, siapa sangka tatapan sang nenek terus mengikuti Ian.
“Anak muda,” ujarnya.
Mencoba untuk tak menghiraukan sang nenek tersebut. Namun, kaki Ian tak bisa melangkah maju. Sebuah keinginan entah datang dari mana, mendorongnya untuk berjalan mundur. Ian berpikir mungkin karena peredaran darah yang tidak lancar, menjadi penyebab tindakan anehnya.
“Nenek memanggilku?” tanya Ian sambil perlahan berjongkok di depan nenek.
Diamatinya wajah nenek yang tak ia kenal, keriput nampak jelas menyelimuti seluruh wajahnya. Di usianya yang mungkin sudah 70 tahunan, ia tetap berada di luar? Siapa keluarganya?
“Kau mengalami hari buruk beberapa hari ini, aku benar, kan?” tebak sang nenek.
Ian tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Nenek itu mungkin hanya menebak dari air muka Ian yang tampak bermasalah.
Ragu-ragu Ian menjawab, “Ya, belakangan ini ada beberapa masalah di perusahaan tempatku bekerja. Oh, ya, Nenek mau aku antar pulang?”
Sang nenek menggeleng lemah. Netra sayu menerawang dalam melalui mata Ian. Seolah-olah melihat sebuah kejadian di sana. Ian semakin bertambah canggung lantaran sang nenek tak berkata-kata lagi. Siapa yang tak akan canggung jika ditatap sedemikian rupa?
Inginnya pergi dari sana. Namun, lengan Ian dipegang erat oleh nenek itu. Dengan terpaksa ia harus menunggu. Bibir Ian bergerak-gerak ingin berucap. Akan tetapi, Ian telan kembali kata-katanya lantaran melihat bibir keriput nenek itu mulai bergerak.
“Kau akan tetap melihat mereka. Namun, jika kau bisa mengalahkannya, kau akan terbebas.”
Ian tak tahu harus bereaksi seperti apa, lantaran sama sekali tak mengerti ucapan nenek itu. Bagaimanapun ia mencoba mencerna ucapan tersebut, Ian tetap berada di dalam kegelapan.
“Nenek apa maksudmu? Sekarang sudah malam, aku harus pulang, Nek.”
Berusaha menjauhkan dirinya dari nenek itu, tapi tak bisa melepaskan tangannya. Keringat dingin mulai muncul di dahi Ian. Tatapan sang nenek berubah makin seram. Seolah-olah memperingatinya akan tanda bahaya.
“Ingat kata-kataku barusan. Seseorang akan membantumu menghadapinya,” lanjut sang nenek.
Meskipun Ian masih tak mengerti ucapan sang nenek. Namun, ia menganggukkan kepalanya dan berterima kasih. “Baik, Nek. Aku akan mengingat pesanmu.”
“Kau pemuda yang berhati baik,” imbuhnya. Lantas ia melepaskan tangan Ian.
Tanpa berkata-kata lagi, Ian melangkahkan kakinya. Meninggalkan nenek itu di tempatnya. Kakinya bergerak cepat, lantaran rasa getir mulai merasuki Ian. Sekilas Ian menengok ke belakang, tapi sang nenek tak ada di tempatnya.
Langkah Ian terhenti seketika. Sosok nenek tersebut sudah menghilang. Jejaknya pun tak terlihat. Padahal Ian hanya berjalan sejauh lima puluh meter saja.
Ian kembali ke tempat tadi. Benar-benar tak ada jejak sang nenek. Netranya berpendar ke segala arah. Ke mana kiranya nenek itu pergi?
Bulir-bulir keringat dingin semakin banyak di dahi Ian. Tak mau memikirkannya, Ian berjalan kembali. Akan lebih baik kalau Ian pulang ke Apartemennya.
“Hal aneh apa lagi yang mungkin aku temui setelah ini?” gumam Ian.
Pada saat Ian memasuki sebuah gang, terlihat seorang pria tengah menggenggam ponsel di letakkan di telinganya. Ian tak memedulikan pria tersebut dan terus berjalan. Namun, langkahnya kembali terhenti ketika ia mendengar sebuah benda jatuh.
Rasanya enggan untuk melihat ke belakang. Namun, Ian tetap saja perlahan menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di jalan.
“Kenapa tak diambil?!” desis Ian.
Jeritan mulai terdengar dari pria itu. Yang kini menghadap ke depan, tepat pada saat Ian menoleh padanya. Lagi-lagi Ian menemukan pria berkelakuan aneh.
Setelah melubangi pipinya, pria itu menusuk bola matanya dengan jari telunjuk. Melihat hal seram di depan matanya, Ian tak kuasa menahan mual.
Dengan kakinya yang lemas, ia berlari menjauhi tempat kejadian. Ian sudah tak mau lagi terlibat dengan kejadian aneh ini.