Di sekeliling Ian terdapat banyak makanan dan juga minuman ringan. Pikiran Ian tertuju pada hal lain, tepatnya setelah melihat dua insiden tersebut membuat Ian menjadi lebih sering kehilangan fokus. Entah apakah Ian menyukai makanan ringan yang diambilnya, karena ia tidak melihat pada makanan ringan tersebut. Sebuah tangan terjulur dari samping Ian, menaruh kembali makanan ringan itu pada tempatnya. Pria di sebelahnya itu tidak kuasa mendaratkan tatapan heran pada Ian, hingga ia tidak sadar kalau keningnya saat ini sudah terlipat.
“Jangan mengambil makanan ringan yang tidak kau sukai.”
Suara pria itu membuat Ian tersentak dan hampir menjatuhkan keranjang belanjaannya. Namun, Ian mengusap dadanya ketika melihat wajah familier yang baru saja mengagetkannya. Di lantai, Ian melihat salah satu snack kentang yang ia ambil tanpa sadar tadi, lalu membungkukkan badannya guna mengambil snack tersebut.
“Sudah lama tidak bertemu, Jeffrey. Bagaimana kabarmu?” tanya Ian pada teman lamanya yang bernama Jeffrey.
“Iya, sudah lama kira-kira sudah 5 bulan kita tidak bertemu. Ngomong-ngomong apa yang kau pikirkan sampai gagal fokus?” Jeffrey menekuk lengannya sehingga nampak seperti segitiga sama kaki, lalu menyikut lengan Ian. Sebelum pria itu tertawa nyaring. “Sahabatku, kau masih saja tampak lembek seperti perempuan.”
Mendengar ejekan Jeffrey membuat Ian memutar bola mata malas. Hanya karena ia takut dengan darah bukan berarti ia seperti perempuan. Jika pria di sebelahnya itu bukan sahabatnya, maka Ian akan menyumpal mulut pria itu dengan snack lalu kabur. Bukankah hal itu akan sangat mengasyikkan andai Ian bisa melakukannya?
“Aku tahu kau sedang memikirkan hal jahat.” Tanpa izin Ian, Jeffrey mengambil semua makanan ringan di keranjang belanja lalu menaruh semuanya pada tempatnya semula.
“Kenapa kau menaruhnya lagi?” Ian mendengus kesal lalu mengambil makan ringan itu lagi. Ia cukup dibuat kesal dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Singkirkan tanganmu!” Jeffery dengan tidak sabar memukul punggung tangan Ian. Lantas kembali menaruh makanan ringan pada tempatnya. “Ikut aku, dan aku akan menjadikanmu pria sejati.” Ia berbicara sambil mengedipkan sebelah matanya, yang membuat Ian bergidik ngeri dan membayangkan hal-hal lain yang membuatnya jijik.
Ekspresi jijik itu sudah sangat jelas tampak di wajahnya, tetapi Jeffrey masih tidak mengerti juga. Pria yang mengenakan jaket parka itu menarik tangan Ian dan membawanya keluar dari mini market seraya mengangkat tangannya pada kasir, “Kami tidak jadi berbelanja.”
Sesampainya di luar, Ian menghempaskan tangan Jeffery. Tindakan sahabatnya itu membuatnya risi. Ian pria normal dan jika perempuan yang menarik tangannya adalah hal yang wajar. “Jangan menarik tanganku sembarangan. Itu menjijikkan,” Ian berkata terang-terangan tanpa menghiraukan bagaimana perasaan sahabatnya.
“Ah! Kau pikir aku tidak normal? Aku pria normal yang hampir setiap hari pergi ke bar. Aku tidak lembek sepertimu.” Jeffery memberikan jeda sambil membuang muka. “Aku hanya kasihan padamu yang terlihat murung. Lalu apa salahnya jika ingin mengajakmu ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Bar.”
“Ya sudah ayo pergi. Aku ingin mabuk saja malam ini.”
Kedua sudut bibir Jeffery terangkat. Selain senang, ia juga merasa bingung karena pertama kalinya Ian tidak menolak diajak ke bar. Ya, walaupun sampai di sana mereka hanya akan minum saja. Banyak perempuan cantik sebagai host di bar, tetapi Ian tidak pernah menggubris mereka. Para perempuan itu hanya bisa mereka pandangi saja, tanpa bisa dinikahi. Perkataan Ian tetap sama pada siapa pun yang bertanya padanya.
Suara musik mengalun melewati indera pendengarannya. Samar-samar suara anggur yang dituangkan oleh tangan indah itu, dapat ia dengar. Tatapan Ian menembus keramaian orang-orang yang tengah menggerakkan badannya. Mereka menari dan melepaskan semua beban yang sudah menumpuk seharian. Baginya, pelampiasan untuk menghilangkan jenuh adalah tempat ini. Namun, Ian tidak pernah mau pergi sendirian lantaran ia tidak tahu bagaimana harus menikmati suasana itu jika sendirian. Jeffery memanggil teman-temannya yang lain. Jadi mereka saat ini berkumpul bersama. Di sofa melingkar itu ada lima pria yang duduk sambil menyesap anggur, sambil menyesap rokok. Asapnya dapat tercium sampai ke hidung Ian, yang menyebabkannya terbatuk.
“Kau masih tidak terbiasa dengan rokok?” Jeffery bertanya seraya bergantian menatap Ian dan Edison yang tengah merokok. Ian menggeleng lalu menenggak anggur pada gelasnya.
Edison tersenyum menyeringai lalu mengulurkan tangannya yang memegang rokok. Menantang Ian agar mengambil satu buah rokok. “Ambil dan cobalah.”
Tatapan mata Ian jernih dan tegas mendarat pada iris mata biru milik Edison. “Aku tidak bisa merokok. Minum anggur saja sudah cukup. Mari mabuk malam ini,” ujar Ian sembari mengangkat gelas anggur yang sudah terisi.
Mereka mengikuti gerakan Ian dan mengangkat gelas masing-masing lalu mendentingkan kelima gelas itu, dan setelahnya meneguk anggur tersebut. Suasana sangat meriah karena musik yang dimainkan oleh DJ semakin bersemangat. Tarian orang-orang semakin energik seiring dentuman musik yang semakin keras. Botol-botol anggur yang sudah kosong berderet di atas meja. Seorang host membawakan satu botol anggur lagi. Ian sudah merasa mual, dan wajahnya memerah. Sementara keempat temannya masih baik-baik saja, belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan mabuk.
“Kalian tidak akan mabuk malam ini? Curang sekali.” Ian mendengus kesal.
“Jangan menyalahkan kami. Kau sendiri tidak kuat minum. Oh ya, bagaimana pekerjaanmu? Kau senang bekerja di sana?”
Samar-samar Ian menatap Edison yang bertanya padanya, lantaran Ian sudah agak mabuk, ia berkata jujur, “Senang? Ya! Awalnya aku senang bekerja di sana. Bayarannya juga cukup tinggi daripada aku harus menjadi pengangguran lagi.” Ian berhenti memberi jeda sambil mengusap hidungnya. “Belakangan ini ada kejadian aneh yang tidak masuk akal. Mereka sudah tidak waras karena menyakiti diri sendiri. Kalian tahu aku melihat mereka melakukannya sendiri,” Ian berkata lebih pelan lagi—tangannya mencakar-cakar pipinya—memperagakan hal tidak waras yang dilakukan rekannya.
“Aku sudah dengar hal itu. CEO-nya bernama Ryan Dwight—dia lulusan Harvard dan memiliki IPK tinggi. Dia pasti bisa mengatasi masalah itu.” Edison mendekatkan dirinya ke depan, menyuruh yang lainnya untuk merapat. Mereka mengikuti isyarat Edison lalu membentuk lingkaran. “Kalau dugaanku benar, hal ini terjadi pasti karena kesengajaan.”
“Maksudmu? Apa mereka tidak waras?”
“Kau tidak mengerti persaingan bisnis. Zaman sekarang, demi uang apa pun bisa dilakukan.”
Ian tampak menimang-nimang ucapan sahabatnya. Meskipun agak mabuk, tapi ia mengerti ucapan tersebut. Jika memang begitu adanya, maka Ian harus bertanya pada Edwin. Lantas siapa yang bisa menjelaskan kabut hitam yang ia lihat? Dengan tenang Ian menenggak anggur dalam gelas sampai habis. Ia merasa kepalanya berputar-putar dan badannya menjadi terasa ringan.
“Aku mengambang.”
“Mengambang kepalamu! Lain kali jangan menyusahkan orang lain. Harusnya aku tidak mengajaknya ke bar.” Jeffery mendengus lantaran ia sendirian menggendong Ian di punggungnya.